Memutus akar "kegilaan menular" adalah memisahkan mereka dari kelompoknya, memberi paradigma berbeda, dan memenuhi kebutuhan dasar psikologisnya.
Sekali waktu seorang klien datang berkonsultasi. Perempuan, usia menjelang 30 tahunan, pekerja keras dan belum menikah. Ia mengeluhkan sikap ibunya yang tidak masuk akal baginya. Di sisi lain, ia jengkel pada dirinya sendiri karena tanpa disadari ia melakukan hal yang sama di tempat kerja dan teman-temannya.
Kok bisa ya? Ibunya didiagnosa psikiater dengan gangguan schizofrenia. Gejala yang ia alami juga antara lain curiga pada orang lain, cara berpikir yang berbeda dari orang lain, seolah-olah mendengar suara yang menyuruhnya melakukan sesuatu, dan sebagainya.
Saya menyarankan padanya untuk secepatnya pindah ke tempat lain dan menjalani terapi psikologi secara intensif. Klien saya setuju dan sisa sesi pertemuan kami habiskan untuk merancang tempat barunya. Dia bertanya mengapa dia bisa mengalami gejala yang sama dengan ibunya, padahal ia tahu ibunya "sakit". Saya jelaskan bahwa ia mengalami fenomena yang disebut gejala psikosis menular atau folie a deux.
Dalam bahasa sehari-hari biasa disebut kegilaan menular, meski tidak tepat juga.
Folie a deux terjadi ketika dua orang atau lebih berbagi pandangan atau keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Mereka berbagi delusi bersama.
Bila seseorang menganggap bahwa dirinya adalah seorang pemimpin dan pantas menjadi pemimpin suatu negara, maka orang-orang yang dekat dengannya bisa memiliki keyakinan yang sama. Akibatnya mereka selalu memaknai setiap tindakan orang lain sebagai sesuatu yang menghambat keinginan mereka untuk menjadi pemimpin.
Makin banyak orang yang masuk dalam lingkaran pertemanan mereka, maka keyakinan tersebut akan diterima oleh banyak orang. Mereka mengembangkan suatu pemahaman bersama dan bereaksi secara sama pula. Misalnya ada orang yang terobsesi untuk menjadi raja di suatu negara. Ia pernah dekat dengan keluarga kerajaan dan sekarang berada di luar istana. Orang itu memiliki keyakinan bahwa hanya dirinya yang layak menjadi raja (delusi).
Dalam lingkaran pertemanan dan keluarga dekat, delusinya diterima dan diyakini. Mereka lalu merencanakan serangkaian tindakan untuk merebut kembali istana yang dianggap adalah miliknya.
"Kegilaan" ini menular pada sekelompok orang yang makin lama makin banyak bergabung dengan mereka. Mengapa orang-orang mau bergabung? Karena delusi itu menjanjikan harapan hidup lebih baik dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kata mereka, "Gue ikut aja deh, udah bosen miskin. Raja gue kaya, dia janji ngasih uangnya buat kita semua".
Fenomena ini tampaknya sedang terjadi di negara kita saat ini. Folie a deux sedang bergerilya untuk mengumpulkan anggotanya. Dan efektif. Karena faktor pendukung antara lain kemajuan teknologi (media sosial adalah kendaraan paling pas untuk menularkan 'virus' delusional), mentalitas berkekurangan, dan kurangnya tujuan hidup bernegara. Paling tidak 3 faktor itu yang saya amati.
Mentalitas berkekurangan dialami orang-orang yang memaknai hidupnya dengan sudut pandang negatif. Mereka sesungguhnya merasa inferior. Merasa ada pihak lain yang lebih unggul, misalnya negara barat adalah lambang kemajuan dan modern. Segala sesuatu yang berasal dari dunia Barat itu pasti bagus. Keren. Layak diikuti. Kalau tidak ikut, artinya konsenvional. Kolot. Kaku. Kuno. Mereka bangga bila diidentikkan dengan peradaban Barat.
Mereka beranggapan nasib sial dan kurang beruntung yang dialami adalah kesalahan orang lain. Kesalahan negara. Sebagaimana layaknya orang miskin, maka mereka butuh bantuan dan figur yang kuat untuk menariknya dari jurang kemiskinan. Masyarakat seperti inilah yang mudah dijangkiti virus delusional tadi.
Mereka tidak lagi berpikir jangka panjang dan menelisik motif di balik ajakan untuk bergabung. Maka bentuk ajakan yang paling mudah adalah dengan bahasa-bahasa afeksi. Bahasa orang kalah misalnya: rebut kembali, tundukkan, curang, kalah, rezim, dan sebagainya. Tanda bahwa sebetulnya mereka tidak berdaya.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mantap dengan dirinya, memiliki mentalitas berkelimpahan, dan tahu bilang cukup. Mereka punya kesadaran dan kemandirian untuk menentukan ke mana mereka memberikan dukungannya. Mereka memilih dengan cermat apa dan bagaimana komunitas yang hendak diikuti.
Apakah hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan? Ya jelas tidak. Ini masalah tentang kebutuhan psikologis mendasar manusia. Sekalipun S3 tapi kalau tidak memiliki mentalitas berkelimpahan ya akan berenang dalam fenomena folie a deux.
Faktor ketiga adalah kurang tujuan hidup bernegara.
Secara garis besar, tanpa adanya tujuan hidup bernegara yang jelas dan konkrit maka nasionalisme masyarakat menjadi tidak terarah. Mereka mudah terpengaruh dengan gelombang budaya asing yang dipandang lebih keren, lebih mewakili 'gue', dan lebih mendapatkan pengakuan.
Prinsip hidup bernegara di Indonesia yang sudah lama terbukti mengikat semua warga negara menjadi kurang menarik. Apalagi ketika dibenturkan dengan keyakinan spiritual. Religi. Wah.. sudah jelas mana yang akan mereka pilih. Apapun bentuk religi yang ditawarkan akan dilahap habis tanpa seleksi dan berpikir kritis lagi.
Secara perlahan rasa cinta pada negara ini luntur. Mudah digantikan dengan faham-faham dari luar yang tampaknya lebih sesuai dengan harapan mereka akan hidup lebih baik. Rasa diri kebangsaan memudar. Berganti dengan rasa diri identitas kelompok dan berpandangan bahwa kelompok merekalah yang paling benar.
Di sini bisa masuk berbagai kajian sosial budaya lainnya. Dengan adanya kelompok terombang ambing inilah, para pembawa virus delusi mudah mendapatkan tempatnya.
Cara Mengatasi Folie a Deux
Di balik orang yang delusional, ada figur lain yang mengendalikannya. Orang yang mampu menjaga dirinya untuk tidak tertular. Objektif. Mereka, para pengendali, mempunyai power yang dibutuhkan para delusional tersebut. Entah dukungan finansial, sosial, jaringan, atau apa saja sesuai dengan keyakinan palsu itu. Merekalah yang sesungguhnya menggerakkan orang-orang berdelusi untuk bertindak lebih jauh.
Agak sulit untuk membuat orang-orang dibelakang layar tersebut berubah. Selama kebutuhan dan kepentingannya belum terpenuhi ya mereka akan terus menggerakkan 'puppetnya'.
Bila kita bertemu dengan salah satu atau salah dua anggota kelompok, kita akan gemas plus gregetan karena mereka tidak bisa diajak ngomong. Seolah-olah ada dinding pembatas di pikirannya yang sudah tertutup untuk segala informasi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Mengapa bisa begitu? Karena kita berkomunikasi pada tingkat frekuensi yang berbeda.
Komunikasi pada level rasio tidak akan mempan untuk mereka. Ingat, bahasa mereka adalah bahasa afeksi. Bahasa emosi. Bahasa ketidakberdayaan. Maka masuklah dari sana. Singkirkan perdebatan panjang dengan data terkini. Tapi masuklah pada ranah paradigma ketidakberuntungan hidupnya. Hal ini cukup efektif kok. Saya sudah pernah coba pada beberapa orang baik itu klien maupun driver taxi online yang sering saya temui.
Kedua, berbagilah hal-hal positif dengan mereka yang dimulai dari diri mereka sendiri. Jangan heran mereka akan menanggapi dengan kata favorit : tapi... lalu diikuti sejumlah kisah atau celaan negatif. Tahan diri sejenak. Jangan ikutan emosi. Konsisten dengan share positive attitude. Kalau perlu, ajak mereka masuk bergabung dengan komunitas yang Anda miliki.
Memutus akar folie a deux adalah memisahkan mereka dari kelompoknya. Memberikan paradigma berbeda. Dan memenuhi kebutuhan dasar psikologisnya akan penerimaan dan penghargaan.
Selamat mencoba. Semoga berhasil. Tidak penting berapa banyak orang yang Anda temui, yang penting kualitas pertemuan itu. Satu orang pun berarti untuk menarik mereka dari 'kegilaan' menular tersebut.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews