Ia lihai memanipulasi pikiran masyarakat, seolah-olah apa yang diucapkan adalah kebenaran yang bersumber dari nilai filsafat.
Dalam bahasa daerah yaitu Jawa ada istilah "Koplak". Bahkan kosatakata ini sudah diserap menjadi bahasa yang familiar di media sosial.
Tetapi tahukah atau apa arti sebenarnyanya istilah "Koplak" itu?
Saya dari kecil atau waktu SD terbiasa melihara ayam, menthok (entog), burung dara atau merpati. Dari situ saya paham,berapa hari atau minggu telor unggas itu akan menetas.
Jadi, karena berdasarkan pengalaman pribadi, bukan tahu dari buku pelajaran waktu SD atau SMP. Seperti kalau ayam butuh waktu 21 hari untuk bisa menetas, bebek dan entog butuh waktu 28 hari dan burung dara atau merpati dan burung lainnya butuh waktu 14 hari.
Dalam menetaskan telor ayam atau telor bebek yang dierami oleh induk ayam tidak semua telor yang dierami itu akan menetas semuanya. Misal, dari 14 telor ayam atau bebek yang berhasil menetas mungkin hanya 10 telor dan sisanya gagal menetas.
Penyebab gagal menetas ada beberapa kemungkinan, pertama-karena telor-telor itu tidak dibuahi dan kedua-telor itu dibuahi tapi dalam proses pengeraman oleh induk ayam, panasnya tidak merata. Sehingga gagal menetas. Makanya ayam yang mengerami sering membolak-balik telor atau menggeser dengan paruhnya. Semua itu biar panasnya telor merata.
Nah, telor-telor yang gagal menetas itu kalau diambil dan digoyang-goyangkan didekat telinga akan berbunyi "oplak-oplak" dan nyaring. Itulah yang dinamakan "telor koplak" dalam bahasa Jawa.
Dan telor koplak itu kalau dipecahkan bau busuknya sangat menyengat. Makanya kalau ingin menimpuk kepala orang harusnya pakai "telor koplak" (dalam bahasa Sunda disebut "endog kacingcalang"). Dijamin akan pada kalang kabut karena bau busuknya itu.
Akhir-akhir ini banyak kalangan dari akademisi yang notabene kalangan intelektual di mana sudah seharusnya jika berpendapat berbasis "data atu riset". Tapi dalam prakteknya malah jauh dari itu.
Sering tidak menunjukan seorang akademisi atau intelektual. Malah terkadang berita yang sumbernya tidak jelas menjadi berita rujukannya. Bukan mencari sumber yang shahih, malah mencari sumber berita yang sumbernya "abal-abal". Bahkan terkadang mereka malah gagal paham tak ubahnya seperti "telor koplak" atau gagal menetas.
Ada lagi muncul filsuf abad ini yang rumornya tidak lulus secara akademisi tapi bisa memberikan pencerahan dan mengajar di kampus. Bahkan juga mengisi ceramah di Pesantren yang sangat terkenal di Jawa Timur. Juga menjadi narasumber wajib di televisi yang setiap mingguan tayang. Ia menjadi narasumber termahal karena gelar filsufnya itu. Tapi ya itu, ia "filsuf koplak".
Sang filsuf ini pandai menyusun kata-kata menjadi kalimat yang menarik dan bisa membuat publik terkesima atau tertarik akan kata-katanya atau kalimatnya. Ia pandai berargumentasi dengan bahasa seperti filsuf beneran padahal aslinya "filsuf koplak".
Sang filsuf koplak pandai dan lihai memanipulasi pikiran masyarakat, seolah-olah apa yang diucapkan lewat mulutnya adalah kebenaran yang bersumber dari nilai filsafat. Padahal sang filsuf koplak tahu, ia hanya memainkan kata-kata atau kalimat. Bukan menyampaikan suatu kebenaran.
Makanya sering kali ia menuduh pihak lain atau orang lain dengan sebutan "dungu". Padahal ia sendiri "filsuf Koplak".
Ia tak ubahnya seperti tukang sulap. Hanya karena punya keterampilan atau kelihaian dan kecepatan tangan, ia bisa memanipulsi mata para penonton dan penonton pun terkagum-kagum. Padahal semua itu trik yang mengandalkan kecepatan tangan dan manipusi mata penonton. Begutilah sang "filsuf koplak" itu mengelabui pemirsa.
Banyak masyarakat sekarang seperti telor yang gagal menetas atau koplak. Bahkan kalangan akademisi pun juga banyak yang mengindap seperti telor gagal menetas atau koplak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews