Tentang Kembulan, Bancakan, dan Rahayan (1)

Selasa, 2 Agustus 2022 | 06:41 WIB
0
485
Tentang Kembulan, Bancakan, dan Rahayan (1)
Tradisi kembulan (Foto: dok. Pribadi)

Bila ukurannya Indonesia, mungkin budaya Jawa termasuk yang menyediakan diri istilah-istilah yang sedemikian kaya hanya untuk menyebut satu teks. Sama kosa katanya, namun sangat berbeda maknanya bila sudah menyangkut konteks. Apalagi bila sudah menyangkut persoalan sosial, yang memang menjadi acuan dasar hidup orang Jawa.

Hubungan antar manusia selalu dianggap sama pentingnya dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maupun hubungan manusia dengan alam lingkungannya. 

Alam lingkungan, manusia, dan Tuhan adalah sejenis Trinitas atau Tritunggal atau Tridarma. Atau apa pun penyebutannya. Angka tiga sendiri adalah angka minimal yang paling "dipuja", dianggap penting.

Bahwa urip kuwi ora pareng genep, hidup itu tidak boleh genap. Harus selalu ganjil. Sebab yang genap, atau lebih tepatnya yang bertugas menggenapinya adalah Tuhan. Dari sinilah kemudian muncul istilah yang paling legendaris dan paling diidamkan: Manunggaling Kawula Gusti.  

Ketika sesorang sudah manunggal, ia sudah genap. Wis genep. Sudah mencapai kesempurnaannya....

Dalam konteks "berbagi", di masa lalu juga mengenal banyak istilah yang menarik untuk dikaji. Sayangnya di hari ini, istilah2 itu "dicuri" oleh bahasa Indonesia dalam konteks yang paling buruk. Jatuh harga untuk menggambarkan perilaku negatif. Tidak semulia dulu di masa lalu. Kali ini, saya ingin membahas tentang kembulan, bancakan, dan rayahan.

Kembulan makna dasarnya adalah "berbagi". Penekanannya adalah kenikmatan (atau menikmatinya) bersama. Gampangnya ini adalah bagaimana seseorang menikmati keterbatasannya dengan orang lain. Kalau dalam bahasa paling pop, digambarkan sebagai "makan sepiring berdua".

Dulu sekali, ketika seorang ibu harus menyuapi dua orang anak. Maka ia akan mengatakan pada anaknya: "rene dik maem kembulan karo mbakyumu". Artinya si kakak adik akan makan dari satu piring yang sama.  

Bahwa kemudian, saat tak disuapi lagi. Mereka akan tetap makan dari satu piring. Itu hanya proses menuju pendewasaan, tanpa meninggalkan keterikatan dan kebersamaan...

Di dunia orang dewasa sendiri, muncul istilah dahar kembul. Ini merupakan tradisi yang masih hidup di beberapa desa untuk menandai suatu peristiwa tertentu. Ciri utamanya adalah makan bersama, menyantap hidangan yang disajikan di atas daun pisang atau sebuah tambir atau nampan besar. Perbedaan media saji, itu menunjukkan siapa yang "punya gawe". Kalau di atas daun pisang memanjang, berarti penyajinya adalah tunggal. Ia yang sedang berhajat. Tak jarang justru itu bersifat "institusional" apakah lembaga desa, atau perusahaan, atau pabrik. 

Sangat jarang juga sebuah keluarga, karena hal tersebut dapat dianggap tidak menghormati para tetamu...

Sedang penggunaan tambir atau tampah lebih bersifat individual, dalam arti dalam hajatan bersama, masing-masing keluarga mengirimkan hidangan sendiri-sendiri. Perbedaan kedua jenis wadah tersebut, lebih pada bentuk sisi penahan samping. Walau sama-sama terbuat dari bambu. Tambir penahan sisinya lebih kecil, dan biasanya diikat oleh tali keliling. Sedang tampah dilapit dengan bambu utuh yang diikat pada ujungnya. Tampah dalam keseharian sering digunakan untuk menampi beras, agar kotoran-kotoran yang tersisa setelah ditumbuk hilang.  

Di daerah Temanggung atau lebih tepatnya mereka yang tinggal di daerah lereng Gunung Sumbing. Tampah digantikan dengan tenong, sejenis rantang bersusun yang terbuat dari bambu. Bisa bersusun dua atau tiga bergantung ukuran. Lucunya, bukan para ibu yang menggendong membawanya ke tempat acara, tapi justru para bapak. Menunjukkan pembagian kerja antar suami-istri secara tradisional itu indah dan berakar sejak masa lalu. Tak perlu dengan ikatan sebuah perjanjian pra-nikah yang menyebalkan sebagaimana terjadi di hari-hari ini. 

Si Ibu yang bertugas memasak bisa jadi ikut ke acara, dan hanya menonton. Karena ini biasanya adalah acara bapak-bapak, walau dalam beberapa tradisi lain para ibu bisa juga membentuk lingkaran sendiri bersama-sama menikmatinya sesama kaumnya. 

Di desa saya di Selosari, Magetan sana. Dulu sebelum tradisi seperti ini dianggap musyrik dan dilarang oleh sekolompok penganut agama garis keras. Acara Sholat Idul Fitri akan ditutup dengan acara dhahar kembul ini. Disajikan di atas nampan enamel bermotif bunga-bunga atau bagi yang sedikit lebih makmur dalam nampan lingkaran yang terbuat dari tembaga. Ada dua kemungkinan cara menikmatinya.

Yang pertama, sebagian dinikmati di tempat. dari hnaya beberapa nampan. Selebihnya dibawa pulang dengan cara bertukar nampan.  

Karena itu biasanya di masing-masing nampan sudah ditulisi dengan cat siapa nama pemiliknya. Siapa mendapat nampan siapa, itu dilakukan secara acak. Dan yang jelas tidak akan pernah nampan yang sama akan kembali ke si pemiliknya. Kenapa? Karena, orang tersebut wajib mengembalikan nampan tersebut sesuai dengan nama pengirimnya dengan menyertakan isian yang lain.

Apakah itu makanan kecil, seperti madu mongo, rengginang, atau kue-kue tradisional. Atau sekedar beras, gula, teh. Atau kalau mau sedikit kerepotan ya masakan tertentu. 

Demikianlah silaturahmi di desa dulu kami jaga dan rawat bersama. Entah apa penyebabnya tradisi ini kemudian dianggap sesat dan menyimpang. Tak ada satu pun argumentasi yang masuk akal. Yang jelas tradisi ini menghilang, seiring perubahan gaya berpakaian dan cara-cara bersosialisasi di nantara warga yang makin tegang, penuh kepalsuan, dan kehilangan ketulusan. 

Saat ini, kembulan muncul lagi. Tapi lebih sebagai "gaya hidup eksotis" yang merupakan cara rumah makan menyajikan menu dagangannya. Nyaris plek ketiplek, baik menu maupun cara menggelar lapak daun pisang yang masih tetap sama. Nasi gudangan atau sebagian menyebutnya urap. Gudangan atau urap memiliki cara masak yang sama yang jauh lebih sehat, yaitu dengan cara direbus. Gudangan sendiri mempunyai makna yang sangat filosofis, bukan saja dari masing2 bahan mentah yang digunkannya. Tapi intinya bisa terbaca dari kata "urab" atau diberkati. 

Pun demikian dengan lauk pauknya baik telur, maupun ayam juga dengan cara dikukus. Dulu telur disajikan dengan tetap mempertahankan cangkang kulitnya. Tujuan tentu saja, bila berlebih bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh anak istri. Atau kalau pun sudah dikupas, biasanya dibelah menjadi empat bagian. Yang dimaknai berbagi untuk sedulur papat, yaitu para kakang kawah lan adi ari-ari. Sebuah penghargaan yang sangat mendalam, bahwa kita selalu ingat, tansah eling kepada saudara-saudara kita baik di dunia nyata. Maupun yang tak tampak, tapi selalu mengikuti kemana pun kita pergi sepanjang hidup kita. 

Kita bisa memaknai, perubahan situs "kembulan" ini sebagai tradisi berbagi secara sosial, menjadi trend kuliner yang melulu bermakna bisnis. Sebagai sesuatu yang melenceng jauh dari spirit awalnya. Untungnya, sisi baiknya bisa tetap terjaga, bahwa inilah cara membangun kebersamaan, toleransi, dan solidaritas. 

Mungkin kalau meminjam istilah Karl Marx adalah cara makan yang komunal sekaligus egaliter: sama rata, sama rasa....

(Bersambung)

NB: Kembulan adalah salah satu frasa yang dalam tradisi keluarga nyaris hilang. Awalnya kembulan adalah cara praktis "ndulang anak", menyuapi si anak. Sebagai bagian dari bagian membangun interaksi dan ikatan emosional antar generasi. Vertikal antar orang tua dan anak, horizonatl antar sesama saudara: adik dan kakak. Saat ini, pola parenting bergaya modern menuntut si anak sudah dimandirikan untuk bisa makan sendiri sedini mungkin. Si ibu (atau baby sitter kalau ada) tak mau repot, atau ditambahi banyak pekerjaan yang dianggap tak perlu dan bisa digantikan. 

Kembulan akhirnya menemukan tempatnya pada pasangan romantis yang baru jadian. Ketika mereka lagi seneng-senengnya memadu kasih. Mungkin ini juga tak terlalu original. Karena hanya meniru salah satu bagian dari tradisi pernikahan Jawa, dimana ada satu scene dimana si pasangan pengantin, saling menyuapi di depan publik. Inilah satu-satunya momen yang dulu diperkenankan untuk kedua-dua pengantin menunjukkan diri bahwa mereka boleh makan minum di atas singgasana. Selebihnya ya menunggu acara selesai, sebuah adab yang menghargai tetamu. 

Di hari ini, pengantin malah sering asyik makan minum sendiri. Sementara para tetamu harus menunggu untuk memberi ucapan selamat. Demikianlah adab dan peradaban yang makin bergeser. Menggeser hal2 baik atas nama kepraktisan, keterburuan, dan keekonomisan.

***