Kisah Negeri Bertakwa

Kesadaran pemerintah daerah akan pentingnya reforestrasi di wilayah hulu sungai, nyaris tidak ada. Makanya, bencana kekeringan di musim kemarau, banjir besar yang disertai lumpur dan bebatuan di musim hujan, makin sering terjadi.

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:48 WIB
0
155
Kisah Negeri Bertakwa
Bencana banjir (Foto: facebook.com)k

Jumat, 15 Juli 2022, hampir di seluruh wilayah Indonesia diguyur hujang dalam waktu yang panjang, sekitar 10 am. Akibatnya, di banyak daerah terjadi banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. 

Nilai kehilangannya sangat besar, harta benda yang rusak atau hilang, rumah ambruk atau hanyut, dan lahan pertanian yang hancur. Dan yang paling besar, jatuhnya korban manusia yang jumlahnya tidak sedikit. 

Peristiwa seperti itu entah yang keberapa ratus kali terjadi dalam 20 tahun terakhir. Kalau ditarik lebih jauh lagi ke belakang, mungkin sejak tahun 1980an, di mana penggundulan wilayah hutan dilakukan secara masif. Kenapa terus berulang? Karena tiap kali bencana terjadi diyakini sebagai kehendak Tuhan.    

Sejatinya, ada bencana lebih fatal yang telah terjadi jauh bencana alam itu terjadi, yaitu di dalam kepala manusia, ketika setiap bencana disimplikasi menjadi dua kata: azab dan ujian. 

Seolah-olah bencana itu turun langsung dari Tuhan, tanpa proses sebelumnya. Seolah bencana itu terjadi atas keinginan Tuhan, untuk menghukum orang-orang yang berlumur dosa, dan menguji mereka yang beriman dan bertakwa. Tidak ada bencana yang lebih buruk dari itu. 

Banjir, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran, kecelakaan transportasi, dan lain-lain, terjadi karena ada sebab yang memicunya. Ingat, kita hidup dalam ruang sebab akibat. Makanya, perintah pertama dari Tuhan adalah “Baca ...!” Baca, pelajari, terapkan, agar hidupmu lebih baik.  

Spektrumnya kita persempit. Penyebab bencana alam banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, adalah rusaknya ekosistem lingkungan hidup di wilayah-wilayah hulu (atas) yang seharusnya mampu menahan air hujan. 

Perbukitan, pegunungan, dan dataran tinggi yang seharusnya dijaga agar tetap hijau dengan pepohonan, sehingga bisa menyimpan air di musim hujan, digunduli dan dibiarkan gundul. 

Penyebabnya sudah jelas, ulah buruk manusia. Maka untuk mengeliminasi risiko banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, adalah ulah baik manusia. Apa? Ya mengembalikan lahan-lahan kritis di ketinggian itu menjadi hijau kembali: menanam pohon. 

Orang-orang Afrika, sudah sejak ribuan tahun lalu punya pepatah, “Waktu yang tepat untuk menanam pohon adalah dua puluh tahun lalu. Tapi jika waktu itu anda tidak melakukannya, maka sekaranglah waktunya.” 

Setiap kali datang kemarau, hampir setiap hari media memberitakan bencana kekeringan. Sawah yang kering tanahnya retak-retak, dan pasti akan gagal panen. Atau potret antrean panjang orang-orang antre memegang ember dan jerigen sedang menunggu giliran mendapat air bersih dari mobil tanki. 

Kemarau menjadi identik dengan kekeringan. Tapi anehnya, itu tidak pernah menyadarkan siapapun untuk menanam pohon. Begitupun banjir dan tanah longsor, jadi bencana rutin di musim hujan.

Coba baca ... sepanjang tahun 2021 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.092 kejadian yang sebagian besar adalah bencana hidrometeorologi. Bencana yang paling sering terjadi yaitu banjir dengan 1.298 kejadian, disusul cuaca ekstrem 804, tanah longsor 632, kebakaran hutan dan lahan 265. Ingat, semua bencana itu pemicunya adalah ulah manusia.  

Bencana banjir, tanah longsor, atau kombinasi keduanya adalah bencana alam yang merupakan konsekuensi dari deforestasi di wilayah hulu sungai dan dataran tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, bencana itu sudah menjadi agenda tahunan di musim hujan.

Di sisi lain, pemerintah-pemerintah kabupaten – kota yang mengalami bencana dipastikan sudah mengetahui buruknya kondisi lingkungan di hulu sungai-sungai yang ada di wilayahnya. Tapi mereka tidak melakukan penghijauan di daerah-daerah tersebut.

Setelah terjadi tanah longsor di Banjarnegara yang menelan puluhan hingga ratusan korban jiwa serta harta masyarakat, apakah Bupati Banjarnegara menjadi sibuk dengan gerakan menanam pohon di wilayah hulu sungai dan dataran tinggi di daerahnya, agar bencana serupa tidak terulang? Tidak.

Apakah setelah bencana banjir bandang di Garut, Bupati Garut giat melakukan penghijauan di daerah hulu Sungai Cimanuk? Tidak. Apakah setelah bencana Ponorogo, Bupati Ponorogo menjadi sibuk dengan reboisasi? Belum terlihat.

Apakah Bupati Kabupaten Bogor dan Gubernur DKI pernah mengagendakan penghijauan besar-besaran di kawasan hulu Sungai Ciliwung, untuk mengatasi banjir yang sering menerjang Jakarta? Tidak pernah.

Bencana kekeringan atau banjir plus longsor, hanya soal musim saja. Karena penyebabnya sama: hilangnya pepohonan di area hulu sungai dan dataran tinggi. Sudah, itu gak usah diperdebatkan lagi. 

Sekarang yang harus dilakukan adalah gerakan masif menanami area gundul di lahan itu dengan pepohonan berkayu keras. Jika itu dilakukan, dalam tiga tahun ke depan, anggaran untuk penanganan bencana dalam APBD bisa dikurangi.

Caranya? Begini. Di Indonesia, sepanjang tahun berlangsung musim buah-buahan yang pohonnya berkayu keras. Mangga, Nangka, Durian, Rambutan, Duku, Manggis, Lengkeng, dll. Nah, apa gak bisa, Bupati ‘memaksa’ rakyatnya mengumpulkan biji-bijian itu? Lalu ditampung oleh aparat desa. Bagus kalau bisa ditanam di polybag.

Nanti, di awal musim hujan, biji-bijian itu ditanam di lahan yang gundul itu. Kalau males menanamnya dengan baik, dilemparin begitu saja pasti akan tumbuh. Dari sepuluh biji atau bibit yang ditanam, satu tumbuh menjadi pohon yang besar, itu sudah bisa mengurangi kemungkinan terjadinya bencana banjir dan longsor di kemudian hari.

Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan kekayaan alam berlimpah. Sumber daya alam yang merupakan kebutuhan hidup manusia, mulai dari peradaban primitif hingga peradaban modern, semua ada di Indonesia. Tentu saja, kekayaan alam itu harus dijaga dan dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Faktanya, berdasarkan perkiraan para ahli, kekayaan yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, sudah berkurang sangat banyak tanpa memakmurkan rakyat. Wajar saja karena eksploitasi kekayaan alam Indonesia berlangsung selama puluhan tahun, dan nyaris tidak terkontrol.

Dapat dipastikan bahwa eksploitasi itu dilakukan secara tidak bertanggungjawab, meskipun aspek legal formalnya sudah dipenuhi. Bukti bahwa para pelaku eksploitasi itu tidak bertanggung-jawab, untuk kekayaan alam yang bisa diperbaharui, yaitu hutan, dari tahun ke tahun luasannya makin menyusut.

Dalam 50 tahun terakhir, 72% dari 162 juta hektar hutan asli Indonesia telah musnah. Kini, luasan hutan Indonesia hanya 98 juta hektar. Artinya, Dari 98 juta hektar hutan Indonesia saat ini, 54% atau 52,5 juta di antaranya adalah hutan hasil reboisasi.

Sebagai catatan, data yang dipublikasikan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, tidak kurang dari 40 juta hektar lahan eks hutan, dibiarkan terlantar begitu saja. Memang relevan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa lebih dari 70% bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah banjir, tanah longsor, atau kombinasi keduanya.

Deforestasi yang terus berlangsung secara masif, stiap tahun sekitar tiga juta hektar hutan rusak, dipastikan akan menghancurkan ekosistem di dalamnya. Selain menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga menurunkan daya serap tanah terhadap air.

Khusus di Pulau Jawa, deforestasi lebih banyak disebabkan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Sebagian besar alih fungsi lahan justru terjadi di daerah pegunungan yang merupakan daerah hulu sungai. Hal ini menurunkan daya resap lahan terhadap air hujan. 

Tidak mengherankan jika di provinsi-provinsi di Pulau Jawa, frekuensi bencana kekeringan, banjir, dan tanah longsor terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, kesadaran pemerintah daerah akan pentingnya reforestrasi di wilayah hulu sungai, nyaris tidak ada. Makanya, bencana kekeringan di musim kemarau, banjir besar yang disertai lumpur dan bebatuan di musim hujan, makin sering terjadi.

Yakinlah, untuk mengatasi kekeringan, banjir dan tanah longsor, orang-orang yang menanam pohon lebih disukai Tuhan, ketimbang mereka yang tiap tahun hanya berdoa meminta hujan saat kemarau, dan mereka yang berkeluh kesah menyalahkan alam ketika banjir melanda.

Berhentilah berdoa, jika anda tidak atau belum melakukan usaha apapun. Kapan kita menanam pohon?

***