Seperti Embun Pagi Tersiram Mentari

Hidup ini seperti embun pagi yang tersiram mentari. Ia bagaikan ilusi. Jangan membangun kebahagiaan di atas ilusi. Temukan yang sejati di dalam diri. Ia hanya perlu dikenali, dan kemudian dipeluk sepenuh hati.

Sabtu, 30 Oktober 2021 | 14:00 WIB
0
199
Seperti Embun Pagi Tersiram Mentari
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Sejak kecil, kita sudah salah asuh. Kita diajarkan untuk meraih sesuatu. Baru setelah itu, kita bisa bahagia. Kita diajarkan, bahkan dipaksa, untuk menjadi sesuatu yang palsu, supaya mendapat pengakuan dari keluarga.

Kita diajarkan untuk mendapatkan uang banyak. Katanya, dengan uang, kita menjadi bahagia. Kita dihormati oleh masyarakat luas. Kita mengharumkan nama keluarga.

 Jika tak bisa punya uang banyak, kita diajarkan untuk menjadi terkenal. Kita harus berbuat sesuatu yang heboh. Hanya dengan begitu, kita bisa dikenal. Pengakuan dari masyarakat luas pun disamakan dengan kebahagiaan.

Lewat berbagai iklan dan acara televisi, kita juga diajarkan untuk mengejar kenikmatan. Belanja barang-barang mewah, bercinta dengan pria ganteng atau gadis cantik sampai dengan berkeliling dunia, semua dijanjikan untuk memberikan kebahagiaan kepada kita.

Jika tak menjalani itu semua, kita dianggap ketinggalan jaman. Di Jakarta lebih aneh lagi, menjadi radikal dan konservatif dalam beragama kini justru menjadi trend. Begitu terbelakangnya ibukota Indonesia ini.

Namun, kita tak diberi tahu, bahwa semua itu akan berakhir pada rasa hampa. Kesenangan sesaat muncul. Namun, ia begitu rapuh. Ia cepat pergi, seperti embun pagi tersiram mentari pagi.

Rasa hampa akan menciptakan keterasingan. Bagi Karl Marx, pemikir Jerman, keterasingan muncul, karena hubungan sosial ekonomi yang tak adil. Ini tentu benar, tapi tak lengkap. Keterasingan juga muncul dari sikap yang mengejar ambisi sesaat yang berujung rasa hampa.

Tak heran, orang bisa sukses secara ekonomi, namun amat menderita dalam hati. Kekayaan dan nama besar justru menjadi siksaan batinnya. Batin menjadi begitu rapuh. Karena sedikit masalah, panik mencekik, bahkan niat untuk bunuh diri muncul ke depan.

Mengapa Hampa Terasa?

Mengapa hidup terasa hampa, bahkan setelah semua keinginan menjadi nyata? Mengapa hidup terasa kosong, bahkan setelah agama dan Tuhan jatuh dalam dekapan? Jawabannya sederhana, yakni karena segala hal berubah. Karena berubah, segala hal tak mampu membawa kepuasan sempurna.

Apa yang sebelumnya memuaskan bisa menjadi menyiksa beberapa saat kemudian. Andaikan kita mendapatkan semua yang kita inginkan, rasa hampa bisa lenyap sementara. Namun, tak lama kemudian, ia akan kembali berkunjung. Bahagia, yang berpijak dari pemuasan keinginan, itu hanya sementara.

Jika tak mendapatkan yang kita inginkan, kita menderita. Kita merasa gagal. Kita merasa belum bisa membuat keluarga kita bangga. Kita merasa belum bisa mengharumkan nama keluarga.

Betapa sia-sianya semua ini. Ini seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri. Tak akan selesai, dan justru akan menciptakan rasa frustasi. Hidup pun terasa sia-sia.

Keluar dari Lingkaran Setan

Bagaimana keluar dari lingkaran setan ini? Di dalam tradisi Dharma Asia, ini disebut sebagai Samsara, yakni sesuatu yang berulang percuma. Bahagia datang sebentar. Namun, seperti embun pagi tersiram mentari, ia pergi dengan begitu cepat.

Ada dua cara untuk keluar dari lingkaran setan ini. Pertama, kita perlu melakukan pembedaan antara apa yang tetap, dan apa yang berubah. Di dalam tradisi Dharma, ini disebut sebagai Viveka, yakni menimbang dengan akal sehat. Ini merupakan syarat untuk terbebaskan dari lingkaran setan kehidupan.

Yang berubah tidaklah layak untuk dikejar. Itu seperti angin yang datang dan pergi. Segala yang berubah itu begitu rapuh, seperti embun pagi tersiram mentari. Jika kita menyandarkan hidup kita pada hal-hal yang berubah, seperti uang, nama besar, kenikmatan dan agama, maka kita akan kecewa pada akhirnya.

Kita perlu menemukan yang tak berubah di dalam diri kita. Ada sesuatu yang mengamati semua pengalaman batin, pikiran dan emosi kita. Sesuatu itu tetap, damai dan stabil. Ia adalah kesadaran murni (pure awareness), atau “Sang Hidup” yang mengamati segala hal yang terjadi, tanpa campur tangan.

Kesadaran murni ini berada di dalam diri kita. Ia tidak ada di luar. Ia tidak ada di tempat suci. Ia tidak ada di rumah ibadah, apapun agamanya.

Kita perlu mengenali kesadaran murni ini. Ini terkait dengan langkah kedua, yakni melepas hal-hal yang berubah. Di dalam tradisi Dharma, ini disebut sebagai Vairagya, yakni sikap melepas segala yang sementara. Biarkan yang berubah terus berubah. Sementara, kita tetap bersandar pada “Sang Hidup” di dalam diri, yakni kesadaran murni.

Uang, harta, nama besar, cinta dan agama datang dan pergi. Semuanya berubah. Namun, kita tetap tenang dan damai di dalam kesadaran murni. Kita menemukan kedamaian yang sejati.

Dunia adalah Aku

Pada dasarnya, dunia adalah cerminan kesadaran murni di dalam diri. Kita mengalami dunia di dalam kesadaran murni yang kita miliki. Semuanya adalah bagian dari dari kesadaran murni tersebut. Menyadari ini berarti kita telah mencapai pengetahuan hidup yang tertinggi.

Tidak ada yang dikejar. Tidak ada yang ditolak. Semua adalah aku, dan aku adalah semua. Inilah jantung hati dari Yoga.

Tentang segala yang berubah, kita menggunakannya seperlunya. Ketika ia ada, kita menggunakannya. Kita ia pergi, kita merelakannya. Inilah kebebasan batin yang sesungguhnya. Inilah inti dari kebahagiaan yang sejati.

Kita harus sadar juga, bahwa hidup ini seperti embun pagi yang tersiram mentari. Ia bagaikan ilusi. Jangan membangun kebahagiaan di atas ilusi. Temukan yang sejati di dalam diri. Ia tak jauh. Ia hanya perlu dikenali, dan kemudian dipeluk sepenuh hati. Tunggu apa lagi?

***