Semoga Nusantara Indonesia bisa kembali menjadi Rumah Dharma yang membawa damai bagi semua ciptaan yang ada.
Sekitar 1.000 tahun yang lalu, Indonesia adalah rumah ilmu. Beragam orang dari berbagai bangsa datang dan belajar di sini. Tentu saja, waktu itu, belum ada Indonesia. Pada masa itu, Indonesia adalah kumpulan beberapa kerajaan yang memiliki pengaruh politik, budaya maupun ekonomi yang luas.
Bisa dibilang, pada masa itu, Nusantara kita, Indonesia, adalah negara Dharma. Hukum-hukum alam yang abadi diuraikan dengan jelas, dan diterapkan di dalam kehidupan. Manusia mencapai pencerahan moral, spiritual dan intelektual yang mengagumkan. Nusantara kita menjadi magnet bagi para pencari kebijaksanaan.
Dharma bukan hanya soal teori. Ia adalah pandangan hidup yang mesti menjadi laku sehari-hari. Ia tidak hanya melahirkan pemahaman, tetapi juga kebijaksanaan dan kebahagiaan yang sejati. Ia membawa orang sampai pada pembebasan dari derita dan nestapa dunia.
Segalanya Sementara
Namun, Dharma juga menyatakan, bahwa tak ada yang abadi. Keluhuran pun harus berakhir, jika waktunya tiba. Kejahatan pun harus berkembang, ketika saatnya sudah datang. Kerajaan-kerajaan besar nusantara runtuh ditikam perang saudara dan penjajahan selama lebih dari 500 tahun. Nusantara menjadi negara Adharma, yakni negara, dimana kebodohan dan kejahatan merajalela, sampai saat ini.
Pantha Rei, segala sesuatu itu mengalir. Begitu kata Herakleitos, salah seorang pemikir Yunani Kuno. Kebodohan dan kejahatan adalah bagian dari alam. Maka, ia punya hak untuk hidup dan berkembang. Semesta punya tempat untuk semua, termasuk untuk yang dianggap bobrok dan menjijikan.
Namun, di 2021, kita sudah muak dengan kebodohan dan kejahatan. Kita lelah melihat politik yang diisi para koruptor dan kaum radikalis agama. Kita sedih melihat agama diturunkan menjadi alat untuk membenarkan kebodohan dan konflik antar manusia. Di abad 21 ini, terutama di 2021, Indonesia darurat Dharma: kita butuh Dharma sesegera mungkin.
Mengembalikan Dharma ke Nusantara
Unsur terpenting dari Dharma adalah hidup sejalan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Ini kental di dalam tradisi pemikiran Asia, terutama dari India dan Cina. Untuk itu, dua hal menjadi sangat penting, yakni akal sehat serta kejernihan nurani. Manusia Indonesia perlu untuk mengasah akal sehat dan menyimak nuraninya dengan jernih, supaya bisa hidup bersama secara adil dan beradab.
Dua hal kiranya perlu untuk dilakukan. Pertama, pandangan-pandangan Dharma harus disebarkan seluas mungkin. Kita beruntung, karena kita hidup di era perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Kita bisa mencari data, dan menyebarkannya dengan segera. Disini, Dharma harus menjadi prioritas utama.
Dua, Dharma bukan hanya teori, melainkan laku hidup. Maka, komunitas berlatih Dharma harus dibuka seluas mungkin. Komunitas-komunitas ini haruslah didukung dengan berbagai cara, supaya bisa menanamkan benih-benih Dharma tidak hanya di nusantara, tetapi juga di seluruh dunia. Benih-benih Dharma adalah melatih kesadaran, mengasah kebijaksaaan, mengembangkan cinta kasih, akal sehat serta nurani yang bersih.
Di tengah negara yang ditikam kebodohan dan kejahatan, tantangan menyebarkan Dharma memang besar. Pun jika bisa dilakukan, buah keberhasilan tidak bisa dipetik segera. Apa yang ditabur sekarang mungkin baru bisa dipetik di generasi ke depan. Namun, disini dan saat ini, kita yang masih hidup harus mengusahakan yang terbaik. Semua demi keselamatan semesta.
Kita harus tetap ingat, bahwa mengembalikan Dharma ke Nusantara adalah tugas yang sulit, namun sangat mulia. Secara pribadi, kita juga harus terus mengembangkan wawasan dan melatih kesadaran dalam payung Dharma. Terkadang, kita gagal, dan hanyut dalam kemarahan maupun kebodohan sesaat. Kita hanya harus kembali ke saat ini, dan mulai kembali, tanpa pernah berhenti.
Semoga Nusantara Indonesia bisa kembali menjadi Rumah Dharma yang membawa damai bagi semua ciptaan yang ada.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews