Nurdin Abdullah dan Kita

Mari kita dengan legawa kembali kepada realitas bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT KPK. Perkara bersalah atau tidak, mari kita kawal prosesnya dan kita tunggu saja hasilnya.

Selasa, 2 Maret 2021 | 07:55 WIB
0
330
Nurdin Abdullah dan Kita
Nurdin Abdullah (Foto: Detik.com)

Tentu publik Indonesia sama sekali tak berharap bahwa yang akan terkena Operasi Tangkap Tangan(OTT) oleh KPK adalah Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan yang digadang-gadang telah berbuat banyak bagi kemajuan di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan selama dua periode kepemimpinannya. Dan, tak lupa pula ketokohan Nurdin yang juga akrab dengan simbol antikorupsi di level daerah selama dia menjadi Bupati Bantaeng.

Persepsi yang didorong oleh harapan terkadang memang harus berhadapan dengan kekecewaan. Dan saya yakin, itulah yang dirasakan banyak tokoh di Indonesia saat mengetahui bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT oleh lembaga rasuah. Tapi perasaan serupa bukanlah hal baru. Kita pernah dikejutkan di masa lalu dengan penangkapan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman, yang terkesan sangat charming di depan kamera awak media, dan lembut dalam bertutur kata. Ketika itu, Irman juga digadang-gadang kala sedang menikmati popularitas positif layaknya seorang Nurdin Abdullah.

Tapi kita tentu sepakat bahwa KPK tidak bekerja seperti persepsi publik bekerja. KPK memang semestinya bekerja atas bukti hukum yang ada. Jika barang bukti mengatakan bahwa tokoh A terindikasi tindakan korupsi, KPK memang harus mengesampingkan tetek bengek yang tidak terkait dengan logika hukum yang ada, seperti popularitas atau persepsi publik terhadap seseorang.

Dari peristiwa OTT tersebut, di satu sisi kita perlu mengapresiasi kinerja KPK yang tidak terpengaruh dengan nama baik atau popularitas positif yang sedang melekat pada seseorang. Dan di sisi lain, publik pun harus belajar menerima bahwa hukum memang tak harus berbanding lurus dengan politik. Jika seorang tokoh politik selalu dielu-elukan baik dan antikorupsi yang membuat perjalanan politiknya selalu tercium harum, maka tidak serta-merta berarti bahwa yang bersangkutan terjauhkan dari perbuatan tak baik dan perbuatan korupsi. Karena bagaimanapun, berurusan dengan politik dan kekuasaan, baik dan buruk, pribadi dan sistem, berinteraksi dalam dinamika yang sulit kita pahami.

Pecu

Baca Juga: Pecuniam Caeca Est

Sebaik apapun seorang tokoh politik, tetap saja ia berdinamika di dalam arena politik yang penuh dengan kompromi dan ketidakpastian itu. Jadi, ini adalah perkara interaksi lingkungan dengan pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Bisa bermula dari lingkungan di luar diri pribadi, bisa juga berawal dari pribadi yang kekuasaannya cukup besar, sehingga menyeret semua manusia yang ada di bawah payung kekuasaannya. Yang jelas, selama ada peluang, maka pribadi-pribadi yang dianugerahi peluang tersebut harus berjibaku luar biasa, apakah akan menyesuaikan diri dengan peluang-peluang korupsi yang ada, mengakali peluang-peluang tersebut, atau justru tegas menutup dan membasminya.

Untuk itu, ada logika kekuasaan yang harus tetap kita ingat di saat memandang sosok yang baik di dalam sistem yang belum tentu baik. Pertama, di semua lembaga negara akan selalu ada peluang korupsi karena ada kekuasaan dan ada anggaran publik di sana, termasuk di lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sekalipun, apalagi di kantor gubernur dan wali kota/ bupati.

Kedua, peluang tersebut bisa dimanfaatkan secara amatiran lalu tertangkap, seperti kasus Irman Gusman, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, pun Nurdin Abdullah. Atau ketiga, malah peluang tersebut juga bisa ditutup sama sekali alias dibersihkan dengan mekanisme dan rekayasa kontrol yang ketat di bawah keteladanan kepemimpinan yang kuat. Atau keempat, bisa juga ditutup-tutupi peluangnya, agar pemanfaatannya tidak terdeteksi oleh aneka rupa kontrol dan pengawasan, baik dengan cara main kucing-kucingan atau ditutup dengan cara politik alias aktifitas korupsinya dibawa keluar jauh dari radar publik.

Yang jelas, logika awalnya tetap bermula dari kekuasaan yang sedari dulu memang cenderung korup.

Apalagi dalam konstelasi ekonomi politik Indonesia yang rentan terhadap aksi rente, mulai dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif --di semua level kekuasaan pemerintahan yang ada. Di mana ada alokasi uang rakyat untuk dikelola oleh berbagai jenis kekuasaan, apalagi yang memiliki diskresi, di sana berpeluang untuk hadirnya konstelasi rente yang siap siaga untuk menghancurkan sisi-sisi kejujuran dan kebaikan seorang pejabat yang mengelolanya, jika tidak benar-benar diduduki oleh orang-orang yang benar-benar baik dengan niat dan karakter yang juga baik.

Dengan kata lain, pribadi-pribadi yang baik adalah potensi modal politik yang baik, tapi itu saja belum cukup terbukti untuk mengatakan seorang tokoh politik adalah tokoh yang baik, bisa dikatakan baik hanya jika berhasil menyingkirkan "anak haram" kekuasaan bernama korupsi dengan kekuasaan yang ia punya.

Dengan landscape yang demikian, kita sebenarnya tak benar-benar mengetahui apakah tokoh seperti Nurdin Abdullah, bersama dengan pejabat-pejabat lainnya yang telah berompi oranye, adalah sampel dari populasi dan puncak dari gunung es gurita korupsi nasional, atau memang segelintir kotoran yang digunakan untuk menyucikan populasi korupsi. Untuk itu, mari kita dengan legawa kembali kepada realitas bahwa Nurdin Abdullah terkena OTT KPK. Perkara bersalah atau tidak, mari kita kawal prosesnya dan kita tunggu saja hasilnya.

Dr Jannus TH Siahaan pengamat sosial politik

***