Wabah

Saya teringat ucapan seorang pakar virologi Indonesia yang mengatakan bahwa kasus covid-19 ini merupakan hyper-realita. Suatu kenyataan, namun kenyataan yang dilebih-lebihkan.

Selasa, 13 Oktober 2020 | 10:10 WIB
0
180
Wabah
Ilustrasi pandemi (Foto: gesuri.id)

Dalam sejarah peradaban manusia, belum pernah terjadi suatu "outbreak" (wabah) menyebabkan kelumpuhan ekonomi masif justru karena tindakan manusia untuk memerangi wabah itu. Baru pada covid-19 ini terjadi.

Suatu wabah dalam skala terbatas memang mengakibatkan disrupsi pada sektor ekonomi, tapi "biang kerok"nya adalah kuman penyakit itu (yang menyebabkan banyak orang sakit), bukan karena serangkaian protokol yang dibuat manusia unutk menelikung (contain) kuman tersebut menyebar lebih luas.

Konsep karantina di dalam menghadapi wabah memang sudah lama diadopsi manusia. Kapal yang dicurigai bermuatan orang yang terjangkit wabah akan dikarantina, dilarang mendarat dan menurunkan penumpang dan harus dikucilkan di dalam kapal di lepas pantai selama 14 hari (masa inkubasi rata-rata kuman penyakit).

Konsep dasar karantina ini adalah mencegah kuman penyakit ini disebarkan oleh orang-orang yang bepergian (traveling) baik dengan moda transportasi darat, laut maupun udara.

Di dalam perkembangan epidemiologi, konsep karantina ini terus diperluas cakupannya oleh pakar-pakar sehingga dikenal dengan istilah karantina wilayah. Seberapa luas wilayah yang dikarantina, ternyata bisa hanya seukuran desa sampai provinsi bahkan negara!

Dan seperti konsep awal karantina kapal, manusia pada karantina wilayah juga dipasung, tidak boleh ke mana-mana, bahkan lebih ketat lagi diharuskan mendekam di dalam rumah (stay at home), tidak boleh bekerja, tidak boleh bersekolah. Semuanya demi memutuskan rantai penularan.

Pertanyaan besarnya adalah apakah upaya ini "applicable" (dapat diterapkan)?

Dan seperti masyarakat dunia melihat sendiri buktinya, upaya lockdown (atau PSBB atau apalah namanya) sama sekali tidak applicable. Karena apa? Karena manusia harus bekerja untuk mencari nafkah. Tidak mungkin manusia disuruh berdiam diri di dalam rumah dalam jangka waktu lama.

Pertanyaan besar lainnya adalah apakah kebijakan lockdown ini berdaya guna dan berhasil guna untuk menghambat penyebaran covid-19? Bukti setelah manusia menjalani wabah covid-19 selama 8 bulan, menunjukkan bahwa karantina wilayah sama sekali tidak berhasil. Kuman covid-19 tetap saja merebak tidak terkendali di semua negara.

Ada sesuatu yang ganjil pada kasus covid-19 ini. Yaitu penetapan covid-19 sebagai pandemi oleh WHO. Padahal waktu ditetapkan sabagai pandemi pada awal Februari penyakit ini cuma ada di Wuhan dan segelintir lagi di beberapa negara lain. Dari mana WHO bisa menetapkan covid-19 ini sebagai pandemi?

Bukan itu saja, WHO juga mengeluarkan berbagai protokol seperti testing, tracing, karantina (lockdown) yang seperti titah raja harus diikuti oleh semua negara. Seperti kita saksikan, data kasus covid-19 yang meroket secara mengerikan adalah "berkat" titah WHO untuk melakukan testing secara masif. Seolah WHO ingin sesumbar "Pan gua udah bilang covid ini pandemi. Lu semua pada gak percaya. Sekarang lihat sendiri buktinya".

Belum pernah dalam sejarah lab test dipakai sedemikian masif sepertt sekarang ini. Lab test sejatinya hanya dipakai secara terbatas di rumah sakit sebagai penunjang diagnostik untuk membantu dokter menentukan jenis penyakit pada pasien.

Apakah di sini sedang dipaparkan teori konspirasi? Atau mencari kambing hitam (scapegoat)? Bukan. Ini semata-mata karena arogansi intelektual dari pemangku bidang kesehatan spt WHO. Karena terlalu pintar, mereka bisa meramal covid menjadi pandemi.

Karena terlalu pintar mereka menyatakan karantina wilayah (lockdown) mutlak harus dilaksanakan kalau ingin memutus rantai penularan. Mereka mempersetankan dampak lockdown bagi ekonomi. Karena terlalu pintar mereka mengharuskan testing, tracing yang sangat mahal dan berat untuk dilaksanakan.

Saya teringat ucapan seorang pakar virologi Indonesia yang mengatakan bahwa kasus covid-19 ini merupakan hyper-realita. Suatu kenyataan, namun kenyataan yang dilebih-lebihkan. Akhirnya, kita tidak sanggup lagi memilah-milah mana kenyataan yang beneran dan mana kenyataan yang dibesar-besarkan.

***