Skala rating di Indonesia ada SU (Semua Umur), 13+ (13 tahun ke atas), dan 17+ (17 tahun ke atas). Sila tafsirkan sendiri arti rating-rating tersebut.
Seorang murid Pak Guru Doel Kamdi bercerita bahwa ia akan nonton film Joker nanti malamnya. Sang Guru Tanpa Sertipikat tidak berkomentar apa-apa, hanya kemudian mengatakan pada murid-murid lainnya di kelas mengenai film mana yang pantas ditonton anak-anak dan mana yang tidak.
Kemudian, saat pelajaran selesai, Pak Guru Doel Kamdi segera mencari nomor telepon orang tua murid yang bersangkutan, dan menelepon untuk memberitahukan bahwa Joker bukanlah film yang pantas untuk anak-anak.
Jelas, Pak Guru Doel Kamdi harus melakukan itu. Lha, Pak Guru Doel Kamdi ngajar anak SD kelas 5, je! Orang dewasa saja belum tentu bisa mencerna film Joker dengan baik, apalagi yang masih anak-anak. Pak Guru Doel Kamdi sampaikan baik-baik bahwa sebaiknya murid yang bersangkutan tidak diajak nonton film Joker apabila memang orang tuanya mau nonton.
Eh, beliaunya membantah. "Kami ini nggak pernah nonton film lho! Kok sekalinya ada film bagus mau nonton malah dilarang to, Pak? Hitung-hitung hiburan keluarga!" ucap sang emak setengah membentak dan menutup telepon. Ya sudahlah.
Besok paginya, Pak Guru Doel Kamdi bangun dan sambil ngantuk-ngantuk mengecek grup WA kelas yang agak ramai. Ternyata, ortu murid yang tadi itu, mengeluh bahwa film Joker ini tidak layak tayang.
Terlalu banyak adegan kekerasan yang tidak cocok ditonton anak-anak, dan bahwa film tersebut terlalu kasar. "Pemerintah ini bagaimana sih, film seperti ini tidak sesuai dengan jatidiri bangsa, kok boleh tayang? Anak saya trauma berat nontonnya!" tulisnya jengkel.
Pak Guru Doel Kamdi yang langsung melek melihat itu kemudian shalat subuh dan menelepon si emak tadi. "Bu, kemarin kan saya sudah bilang, ini film tidak cocok untuk anak-anak. Ibu bisa lihat rating-nya di website IMDB, atau sumber informasi lain, ini film ratingnya R, restricted, tidak semua orang bisa nonton. Sekarang kenapa baru mengeluh dan menyalahkan pemerintah? LSF saja sudah kasih rating 17+ cuma orang berusia 17 tahun ke atas yang boleh nonton," ucap Pak Guru Doel Kamdi sebelum telepon terputus karena si emak menutupnya.
Murid yang bersangkutan pun hari itu tidak masuk sekolah, sepertinya masih tidak kuat karena habis menonton film yang mengerikan.
Rating film ini bukan perkara main-main. Menonton film dengan rating yang tidak sesuai, bisa menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan mental anak. Dikutip dari Tirto, Dimitri Christiakis, direktur Seattle Children's Research Institute, mengatakan bahwa kekerasan di layar mampu meninggalkan perasaan traumatis untuk anak.
Dalam artikel yang sama dikutip pula penelitian L. Rowell Huesmann yang menyebutkan bahwa dampak jangka pendek film kekerasan bagi anak-anak adalah bahwa anak-anak dapat meniru konten kekerasan tersebut. Jangka panjangnya, sisi emosional anak akan berubah.
Rating film sudah cukup menjelaskan siapa saja yang boleh menonton itu film. Dalam skala rating yang berlaku di Amerika ada G (General/Umum), PG (Parental Guidance Suggested/Bimbingan Orang Tua Disarankan), PG-13 (beberapa adegan tidak cocok untuk anak di bawah 13 tahun), NC-17 (anak di bawah 17 tahun tidak boleh menonton), dan R (Restricted/terbatas, banyak konten dewasa).
Skala rating di Indonesia ada SU (Semua Umur), 13+ (13 tahun ke atas), dan 17+ (17 tahun ke atas). Sila tafsirkan sendiri arti rating-rating tersebut.
Sebaiknya orang tua ketika mau mengajak anaknya menonton film, meninjau terlebih dahulu sinopsis dan rating film tersebut. Kemudian, orang tua menilai apakah film ini layak ditonton atau tidak oleh anak, dan jika memerlukan pembimbingan orang tua, apakah sebagai orang tua sudah siap memberikan pembimbingan atau tidak.
Kalau belum siap, JANGAN NONTON. Jangan rusak anak-anak Anda hanya karena ingin nonton film yang ngetren.
Tertanda,
Abdul Hamid Fattahillah, Doel Kamdi, Pak Guru Tanpa Sertipikat
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews