Jembatan Suramadu (3): Mohammad Noer, Pencetus Gagasan Pembangunan

Jumat, 2 November 2018 | 06:01 WIB
0
1025
Jembatan Suramadu (3): Mohammad Noer, Pencetus Gagasan Pembangunan
Jembatan Suramadu (Foto: Kabar Riau)

Sejarah mencatat, mantan Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer menggagas pembangunan Jembatan Suramadu, yang menghubungkan dua pulau, Jawa dan Madura, sejak ia menjabat sebagai Patih (Wakil Bupati) Kabupaten Bangkalan.

Dengan adanya jembatan tersebut, Pak Noer berharap akan adanya percepatan perkembangan ekonomi di Madura yang ia ketahui sangat kering dan gersang. Pak Noer memprediksi akan terjadi kepadatan di Surabaya yang berdekatan langsung dengan Bangkalan.

Tiang pancang pertama dibangun semasa Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 melalui Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003 tentang Pembangunan Jembatan Suramadu dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009.

Pada 1950, Pak Noer yang saat itu menjabat Patih (Wakil Bupati) Bangkalan mencetuskan gagasan pembangunan Jembatan Suramadu. Pada masa itu, gagasan ini dianggap banyak orang sangat obsesif.

Ia memang sangat terobsesi dengan pembangunan Jembatan Suramadu. Latar belakangnya, ketika menjabat Patih (Wakil Bupati) Bangkalan pada 1950, ada kerja sama antara Bupati Bangkalan dan Walikota Surabaya. Pak Noer menjadi sekretaris.

Kemudian setelah menjabat gubernur, Pak Noer mejadi ketua. Saat itulah, Pak Noer sudah membayangkan akan terjadinya kemacetan di Surabaya.

Pak Noer punya gagasan agar Kamal di ujung Bangkalan menjadi kota satelitnya Surabaya. Tetapi hubungan Surabaya-Kamal saat itu dimonopoli oleh PJKA. Angkutan lautnya dikuasai PJKA. Dari Kamal-Ujung ada bus dan kapal ferry.

Waktu itu pelabuhan Ujung-Kamal hanya diizinkan oleh TNI AL boleh dipakai dari pukul 6.00 sampai 18.00 WIB.
Ketika menjadi gubernur, Pak Noer mengubah pelabuhannya, tidak di Ujung, tetapi di Perak agar bisa terbuka 24 jam. Monopoli PJKA pun dihapus, terbuka untuk semua. Tetapi hal itu belum memuaskan.

Karena itu Pak Noer punya ide membangun sebuah jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Ia pernah menyatakan akan merenangi Selat Madura jika jembatan tak juga kunjung dibangun.

Kemudian, ide ini diwujudkan Presiden RI kelima (2001-2004) Megawati Soekarnoputri dengan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003 tentang Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura.

Megawati menancapkan tiang pancang pada 20 Agustus 2003. Jembatan sepanjang 5,4 km itu diresmikan Presiden RI Keenam (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juni 2009.

Sebelumnya, Pak Noer kepada TokohIndonesia.com bercerita tentang rencana pembangunan jembatan Suramadu, yang pernah disampaikannnya kepada Gubernur Jatim dan para Bupati. Ia melihat ada dua soal.

Pertama, Pelaksana pekerjaan pembangunan harus ditender secara internasional dan terbuka. Konsultannya mesti mengetahui masalah teknis dan keuangan. Kedua, kalau nanti jembatan Suramadu sudah selesai, akan dibuatkan jalan tol.

“Nah, tol yang dimaksud ini adalah jalan yang menuju pantura Madura yang rencananya akan dibangun pelabuhan dan bandara,” ungkap Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Madura (ICM) Harun Al Rasyid kepada Pepnews.com.

Di Madura juga akan ada kawasan industri dan bandar udara yang sudah tentu memerlukan tenaga-tenaga terdidik. Pak Noer ingin melihat kekayaan Indonesia diimbangi oleh SDM yang berkemampuan, lewat pendidikan.

Dengan demikian sumber daya alam (SDA) tidak dikeruk oleh orang asing, tetapi oleh tenaga sendiri. Pak Noer ingin pembangunan tidak hanya bertumpu di darat saja, tapi laut juga harus diutamakan.

Sudah berapa ton ikan, dan berapa triliun rupiah yang dikeruk orang lain dari laut Indonesia. “Pokoknya, negara kita kaya-raya,” kata Pak Noer dengan nada yang selalu optimis. Semasa hidupnya, Pak Noer tak pernah berhenti berpikir dan berkarya.

Tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan sumber daya manusia. Sebab, tujuan kemerdekaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan membuat wong cilik biso minggo kemuyu (orang kecil bisa sejahtera).

Di Madura, bencana datang silih berganti. Rakyat menjerit lantaran tertindih kesulitan demi kesulitan ekonomi. Kenyataan pahit ini mengingatkan Pak Noer yang bergelar bangsawan Raden Panji pada kemiskinan masyarakat Madura pada1926.

Kemarau panjang di Madura berlangsung setiap tahun dari Juli sampai Oktober, kekeringan yang menggoreskan paceklik berpuluh-puluh tahun. Pak Noer yang menjabat Gubernur Jawa Timur (1967-1976) memang seorang pamong abdi rakyat.

Pria kelahiran Sampang pada 13 Januari 1918 itu, baru berhenti setelah dipanggil Allah SWT dalam usia 92 tahun di Surabaya, Jumat 16 April 2010, pukul 08.50 Wib. Mantan Duta Besar RI untuk Perancis ini sempat dirawat selama 7 bulan di RS Darmo, Surabaya.

Pamong Rakyat

Semasa hidupnya, Pak Noer mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat. Putra Madura ini memulai karir pangreh prajanya pada 1939. Begitu tamat dari MOSVIA, ia magang di Kantor Kabupaten Sumenep.

Sejak itu sampai menjadi gubernur, Pak Noer mengabdikan dirinya sebagai pamong praja. Ia pernah menjadi anggota MPR dan DPA. Pada 1976-1980, Pak Noer mendapat tugas menjadi Duta Besar RI di Prancsis.

Hingga usia senja, Pak Noer tak pernah berhenti berpikir dan berbuat untuk memakmurkan, tak hanya masyarakat Madura, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tujuan kemerdekaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebagai Ketua Penguasa Daerah, Pak Noer, dalam sebuah forum resmi di pada 1970, dengan lantang mengatakan bahwa tujuan kemerdekaan: membuat wong cilik biso minggo kemuyu (orang kecil bisa sejahtera).

Pak Noer, dari 1939 hingga 1980, menjadi abdi rakyat. Ia telah berkeliling dunia, kecuali Rusia dan Afrika Selatan, membandingkan negara-negara lain dengan Indonesia. Negara ini kaya dan besar. Di tanahnya, lautnya, semuanya ada. Tetapi, kenapa rakyatnya miskin?

“Inilah yang betul-betul tidak kita pahami,” kata Pak Noer dalam sebuah pidato menyambut rombongan Pendiri dan Syaykh Al-Zaytun  pimpinan Panji Gumilang, di Surabaya, Sabtu (17/9/2005).

Pada kesempatan itu, Panji Gumilang mengangkat Pak Noer sebagai anggota Dewan Kurator Universitas yang diresmikan pada Agustus, 2005. Ia juga menjadi anggota Dewan Kurator pelbagai perguruan tinggi di Surabaya.

Yaitu: Universitas Airlangga, ITS, Pendiri Muhammadiyah 1912, Universitas Bayangkara, dan UBN. Padahal pendidikannya hanya setingkat SMA. Pak Noer dilahirkan di Kampung Beler, Desa Rong Tengah, pinggiran kota Sampang, 13 Januari 1918.

Menurut Pak Noer, deraan kemiskinan dan ancaman kelaparan setiap musim kemarau semasa itu mendorong rakyat Madura mencari sesuap nasi di tanah seberang. Meninggalkan Pulau Madura menyeberang ke tanah Jawa dan Kalimantan.

Eksodus masyarakat Madura saat itu: dari Sampang ke Probolinggo atau Pasuruan, dari Bangkalan ke Surabaya sampai Malang, dari Pamekasan ke Probolinggo, Jember dan Lumajang, dari Sumenep ke Situbondo, Panarukan, dan Bondowoso, sedangkan yang ke Kalimantan dari Madura bagian Tengah.

Kenangan di masa kecil ini melekat erat dalam kehidupannya. Dari sini timbul obsesinya untuk memakmurkan Madura. Ia ingin mendalami bidang pertanian untuk memperbaiki nasib masyarakat Madura yang daerahnya gersang.

Pak Noer putra ketujuh dari 12 anak pasangan Raden Aria Condropratikto dan Raden Ayu Siti Nursiah, dua-duanya keturunan bangsawan Madura. Ia menikahi Mas Ayu Siti Rachma, tahun 1941. Mereka dikaruniai empat putri dan empat putra.

Meski melihat kenyataan yang sangat bertolak belakang, ia tetap berdoa bagi keselamatan para pemimpin bangsa, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat dan ulama agar mereka terus berbuat untuk menyejahterakan rakyat.

Inilah cita-citanya, mulai dari Kepala Desa di Sampang sampai menjadi Gubernur Jatim dan Dubes di Prancis. Empat tahun bertugas di sana, ia berupaya keras meningkatkan hubungan Indonesia dan Prancis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ia bertekad untuk bisa mengamalkan ilmunya, bersyukur karena dikaruniai umur panjang dan kesehatan. “Sebab umur panjang, tapi kalau tidak sehat tidak ada artinya. Yang penting umur panjang, sehat dan berguna. Untuk apa? Ya, untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara,” kata Pak Noer kepada TokohIndonesia.com.

Ketika menjabat Gubernur Jatim (1967-1976), Pak Noer selama 20 hari berada di desa-desa, hanya 10 hari dikantornya, untuk melihat keadaan rakyat. “Saya berorientasi ke desa karena saya abdi rakyat,” katanya kepada Berita Indonesia.

Ia selalu dekat dengan rakyat karena ingin tahu apa yang mereka rasakan, dan apa kekurangan, kebutuhan, keluhan dan keinginan mereka. Mungkin mereka masih ada yang buta huruf, tapi tidak buta hati. M. Noer sadar bahwa sebagai gubernur atau kepala daerah yang meniti karir sebagai pamong praja, tetap menjadi abdi rakyat.

Ia tidak bisa hanya memerintah dari kantornya, tetapi selama 20 hari berada di desa-desa, berkeliling dari satu ke lain kabupaten. "Saya perioritaskan desa-desa miskin,” kata Pak Noer dalam percakapan dengan TokohIndonesia.com di Surabaya, Sabtu (17/9/2005).

Apa yang ia lihat, dilaksanakan dengan mekanisme yang benar melalui cara-cara administrasi dan birokrasi. Pak Noer memberitahu para pejabat di lingkungannya mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan.

Bila ada laporan, ia langsung melakukan cek dan ricek, apakah perintah atau petunjuknya, dilaksanakan atau tidak, oleh para pelaksana di bawah. Pak Noer punya tim khusus yang akan melakukan pengecekan.

Karena itu, Pak Noer menekankan sikap jujur kepada para bawahannya, tidak mengecoh dan mengabaikan kepentingan rakyat.  Ketika duduk di kursi gubernur, Pak Noer melaksanakan tugas-tugasnya dengan jujur, sungguh-sungguh dan disiplin.

Masyarakat harus sama-sama diajak berpartispasi, baik di dalam membangun desa maupun kota. Jika ada SD sampai kelas empat tapi hanya punya ruangan tiga kelas, maka masyarakat harus diajak berpartisipasi untuk membangun kelas tambahan, bahkan untuk pengadaan guru.

Pak Noer membanggakan provinsinya karena pertama kali mendapatkan penghargaan “Prasamya Karya Nugraha”. Daerah Jatim dinilai berhasil memajukan ekonomi, bukan semata-mata hasil prestasi sang gubernur, tetapi juga rakyatnya.

Ia membandingkan dengan keadaan sejak reformasi 1998. Para pemimpin saling mengejek. Korupsi malah makin meluas. “Saya tidak akan bilang harus begini dan begitu. Mohonlah pada Allah, semoga ada kejujuran di tingkat pimpinan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata Pak Noer.

Ini masalah moral, dan untuk memperbaikinya harus lewat doa dan dakwah menyadarkan para pemimpin. Pak Noer selalu menomorsatukan pendidikan. Ketika menjadi Bupati, Pak Noer melaksanakan program Tiga-P. Pendidikan menuju tauhid, Percaya kepada Allah, dan Perhubungan.

Dengan pendidikan, masyarakat menjadi melek huruf agar bisa membaca dan pintar. Jika seseorang sudah percaya kepada Allah SWT diharapkan hatinya bersih. Dan, perhubungan yang dimaksud agar tak ada lagi daerah terpencil, makanya harus dibuat jalan. (Bersambung)

 

***