Predator Seks Berkedok Boarding School

lembaga pendidikan kesetaraan pesantren, dengan embel-embel Salafiyah. Bagaimana mungkin bergerak dengan mengatasnamakan ‘salafiyah’ tetapi di sisi lain dituding syiah?

Senin, 13 Desember 2021 | 07:34 WIB
0
302
Predator Seks Berkedok Boarding School
Tersangka Pemerkosa belasan santriwati (Foto: kumparan.com)

Mengelabui adalah lema yang dalam semua kelas kata, memiliki arti untuk banyak hal. Ia bukan hanya bermakna sebagai membohongi atau menipu. Melainkan juga mengecoh, mengakali, mengelirukan, menarik (perhatian), memikat, memperdaya, mendustai.

Di Indonesia, kini ada istilah baru munculnya beberapa lembaga pendidikan dengan istilah ‘boarding school’. Namun yang paling menakjubkan, istilah ini banyak dipakai oleh lembaga-lembaga dengan label pendidikan, wabil khusus lembaga-lembaga dengan bendera keagamaan tertentu.

Tertentu itu apa? Ya, tertentu, mongsok terkentu. Maka dalam kasus Herry Wirawan kemarin, ada bantahan bahwa itu kasus bukan berkait pesantren, tetapi boarding school. Celakanya, tak susah mencari data di jaman digital ini, di mana jejak digital mudah dilacak, hingga tak bisa menyembunyikan data mengenai siapa Herry Wirawan ini.

Bahkan, uapaya Kepolisian Bandung menutupi kasus ini dari publik, juga pembelaan MUI dalam hal ini, pun juga menjadi sia-sia. Karena jauh sebelum teknologi digital ditemukan, manusia Jawa sudah punya sesanti ‘becik ketitik ala rupamu!’. Bahkan yang lebih dahsyat, kita juga mengenal mantra; Gusti Allah Ora Sare. Merga nek sare, nganu…

Cuma pengetahuan (atau tepatnya keyakinan itu), tak bisa diformulasikan menjadi ilmu, untuk kemudian dikembangkan menjadi teknologi, dan lebih-lebih kemudian dioperasionalisasikan. Mangkanya ketika gubernur seiman kinerjanya amburadul, tetap sesantinya Cuma ‘gusti allah ora sare’ dan ‘becik ketitik ala rupamu’ itu. Tidak mendekati pokok persoalan, apalagi jika ‘memecik ke muka sendiri’, maka kemudian yang terjadi adalah pengelabuan.

Bikin boarding school biar dibilang modern dan sesuai pangsa pasar dari kaum pengidap inferiority complex. Bahkan yang lebih gila lagi, menuding pelaku pemerkosaan sebagai penganut syiah.

Memang Herry Wirawan ini bukan ‘wong pesantren’, tetapi dia punya lembaga dan berposisi sebagai ketua pengurus nasional dalam Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan Pesantren Salafiyah (FK-PKPS).

Di situ jelas, lembaga pendidikan kesetaraan pesantren, dengan embel-embel Salafiyah. Bagaimana mungkin bergerak dengan mengatasnamakan ‘salafiyah’ tetapi di sisi lain dituding syiah?

Setahu saya, dengan mengaji kitab google, kata "Salafiyah" digunakan kalangan NU dengan menyebut "pesantren salaf/Salafiyah", yang maknanya pendidikan dengan model sorogan, menggunakan kitab kuning, dengan metode dan tatacara klasik. Tidak menggunakan kurikulum modern, tidak ada bangku atau kelas sebagaimana lembaga pendidikan berpapan ‘boarding school’, yang dalam promosinya selalu bilang ‘pesantren modern’, untuk membandingkannya dengan pesantren salaf/Salafiyah.

Pusing ‘kan melihat model-model pengelabuan kek gini, yang sangat strategis dan taktis untuk majoritas penduduk muslim yang majoritas awam? Dan karena awam, maka supaya kelihatan modern tapi juga agamis, dititipkanlah anak-anak keluarga modern religius awam ini (kebanyakan keluarga baru, yang pada tahun 2010-an menjadi kelas menengah baru).

Sudah begitu, media massa (apapun) makin longgar dalam rekrutmen SDM-nya, sehingga jurnalisme kutip mengikuti karakter media yang cuma bisa me-record. Alih-alih mampu sebagaimana permintaan Aristoteles tentang kebenaran, kebaikan, kegunaan. Apalagi menyodorkan latar belakang masalah atas munculnya sebuah peristiwa.

Jadinya kita sibuk dengan kasus demi kasus, tapi tak pernah (sebagai media massa melakukan enlightment pada masyarakat untuk) memahami akar masalah. Metharsen, dan jangan baperan hanya karena majoritas maupun minoritas. Agar tak mudah dikelabui, kecuali memang pantas.

Diiming-imingi sorga, ngasih DP untuk rumah murah muslim yang warohmah, taunya dikadalin. Terus nangis-nangis meminta tuhan untuk menghukum si pengelabuh.

***