lembaga pendidikan kesetaraan pesantren, dengan embel-embel Salafiyah. Bagaimana mungkin bergerak dengan mengatasnamakan ‘salafiyah’ tetapi di sisi lain dituding syiah?
Mengelabui adalah lema yang dalam semua kelas kata, memiliki arti untuk banyak hal. Ia bukan hanya bermakna sebagai membohongi atau menipu. Melainkan juga mengecoh, mengakali, mengelirukan, menarik (perhatian), memikat, memperdaya, mendustai.
Di Indonesia, kini ada istilah baru munculnya beberapa lembaga pendidikan dengan istilah ‘boarding school’. Namun yang paling menakjubkan, istilah ini banyak dipakai oleh lembaga-lembaga dengan label pendidikan, wabil khusus lembaga-lembaga dengan bendera keagamaan tertentu.
Tertentu itu apa? Ya, tertentu, mongsok terkentu. Maka dalam kasus Herry Wirawan kemarin, ada bantahan bahwa itu kasus bukan berkait pesantren, tetapi boarding school. Celakanya, tak susah mencari data di jaman digital ini, di mana jejak digital mudah dilacak, hingga tak bisa menyembunyikan data mengenai siapa Herry Wirawan ini.
Bahkan, uapaya Kepolisian Bandung menutupi kasus ini dari publik, juga pembelaan MUI dalam hal ini, pun juga menjadi sia-sia. Karena jauh sebelum teknologi digital ditemukan, manusia Jawa sudah punya sesanti ‘becik ketitik ala rupamu!’. Bahkan yang lebih dahsyat, kita juga mengenal mantra; Gusti Allah Ora Sare. Merga nek sare, nganu…
Cuma pengetahuan (atau tepatnya keyakinan itu), tak bisa diformulasikan menjadi ilmu, untuk kemudian dikembangkan menjadi teknologi, dan lebih-lebih kemudian dioperasionalisasikan. Mangkanya ketika gubernur seiman kinerjanya amburadul, tetap sesantinya Cuma ‘gusti allah ora sare’ dan ‘becik ketitik ala rupamu’ itu. Tidak mendekati pokok persoalan, apalagi jika ‘memecik ke muka sendiri’, maka kemudian yang terjadi adalah pengelabuan.
Bikin boarding school biar dibilang modern dan sesuai pangsa pasar dari kaum pengidap inferiority complex. Bahkan yang lebih gila lagi, menuding pelaku pemerkosaan sebagai penganut syiah.
Memang Herry Wirawan ini bukan ‘wong pesantren’, tetapi dia punya lembaga dan berposisi sebagai ketua pengurus nasional dalam Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan Pesantren Salafiyah (FK-PKPS).
Di situ jelas, lembaga pendidikan kesetaraan pesantren, dengan embel-embel Salafiyah. Bagaimana mungkin bergerak dengan mengatasnamakan ‘salafiyah’ tetapi di sisi lain dituding syiah?
Setahu saya, dengan mengaji kitab google, kata "Salafiyah" digunakan kalangan NU dengan menyebut "pesantren salaf/Salafiyah", yang maknanya pendidikan dengan model sorogan, menggunakan kitab kuning, dengan metode dan tatacara klasik. Tidak menggunakan kurikulum modern, tidak ada bangku atau kelas sebagaimana lembaga pendidikan berpapan ‘boarding school’, yang dalam promosinya selalu bilang ‘pesantren modern’, untuk membandingkannya dengan pesantren salaf/Salafiyah.
Pusing ‘kan melihat model-model pengelabuan kek gini, yang sangat strategis dan taktis untuk majoritas penduduk muslim yang majoritas awam? Dan karena awam, maka supaya kelihatan modern tapi juga agamis, dititipkanlah anak-anak keluarga modern religius awam ini (kebanyakan keluarga baru, yang pada tahun 2010-an menjadi kelas menengah baru).
Sudah begitu, media massa (apapun) makin longgar dalam rekrutmen SDM-nya, sehingga jurnalisme kutip mengikuti karakter media yang cuma bisa me-record. Alih-alih mampu sebagaimana permintaan Aristoteles tentang kebenaran, kebaikan, kegunaan. Apalagi menyodorkan latar belakang masalah atas munculnya sebuah peristiwa.
Jadinya kita sibuk dengan kasus demi kasus, tapi tak pernah (sebagai media massa melakukan enlightment pada masyarakat untuk) memahami akar masalah. Metharsen, dan jangan baperan hanya karena majoritas maupun minoritas. Agar tak mudah dikelabui, kecuali memang pantas.
Diiming-imingi sorga, ngasih DP untuk rumah murah muslim yang warohmah, taunya dikadalin. Terus nangis-nangis meminta tuhan untuk menghukum si pengelabuh.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews