Begitu Anda membaca buku ini Anda akan merasakan kesegaran jiwa dan merasa terbebaskan oleh pemahaman-pemahaman keliru yang ternyata membuat kita terbelenggu olehnya.
Apakah menurut Anda trauma, atau peristiwa menyakitkan yang pernah Anda alami di masa kecil atau remaja mempengaruhi kehidupan Anda saat ini? Apakah perlakuan buruk atau peristiwa mengerikan yang pernah Anda alami pada masa lalu mencengkram Anda sehingga Anda tercekik tidak bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup Anda?
Jika ‘ya’ maka bersiaplah menerima tamparan dan ‘tuduhan’ dari buku ini bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Andalah yang memutuskan untuk tidak berbahagia dan tidak berdamai dengan memanfaatkan peristiwa traumatis Anda di masa lalu sebagai alasan.
Trauma itu hanyalah alasan Anda untuk mengasihani diri agar hidup Anda tidak berbahagia. Bersiaplah untuk terguncang membaca buku ini. Saya sendiri sudah diguncang oleh buku yang aslinya berjudul “The Courage To Be Disliked” yang ditulis bersama oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga.
Buku setebal 323 halaman ini sungguh layak menjadi ‘International Bestseller’ karena telah menginspirasi begitu banyak orang dan telah terjual sebanyak 3,5 juta eksemplar. Saya sungguh merekomendasikan buku ini untuk Anda baca sebagai penyegar jiwa Anda. Harganya lebih murah dari biaya sekali nongkrong di café kok!.
Buku ini berisikan penjelasan mengenai pandangan hidup berdasarkan teori psikologi Alfred Adler−seorang psikolog, dokter dan terapis sezaman dengan Sigmund Freud dan Carl Jung yang disampaikan dengan apik oleh seorang filsuf, Ichiro Kishimi. Sang filsuf dengan tegas mengatakan, “Trauma itu tidak ada.”
Tentu saja pernyataan ini menghantam saya karena selama ini saya mengikuti pemikiran Sigmund Freud yang menyatakan bahwa karakteristik dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh masa lalunya, jadi trauma itu jelas ada. Trauma itulah yang membentuk kehidupan setiap orang sehingga kita harus mati-matian mencegah seseorang mendapatkan trauma dalam kehidupannya.
Jika dulu kita diperlakukan dengan sangat buruk oleh orang tua kita atau siapa pun maka hal itu akan terulang karena kita akan meniru apa yang telah terjadi pada diri kita. Begitulah yang saya percayai selama ini. Tapi buku ini menjungkirbalikkan apa yang saya percayai itu (because we are mostly Freudian).
Menurut Adler, tidak ada pengalaman yang dengan sendirinya menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita. Dalam teori psikologi Adler “Traum” secara definitif tidak diterima. Dalam teori ini tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bisa melakukan sesuatu hal karena mengalami trauma apa pun di masa lalu.
Psikologi Adler tidak menganut Aetiologi (studi tentang hubungan sebab-akibat), tetapi menganut Teleologi (studi yang mempelajari dan menitikberatkan pada tujuan dari suatu fenomena, ketimbang penyebabnya). Alfred Adler berpendapat bahwa kita memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apapun yang ingin kita lakukan. Kita tak perlu menjadi manusia yang selalu didikte oleh rasa trauma kita.
Menurut Teleologi, masa lalu tidaklah mendefinisikan diri kita saat ini, dan kita selalu memiliki kesempatan untuk menjadi seseorang yang kita inginkan, tidak peduli bagaimanapun masa lalu kita dahulu. Jadi berhentilah menyalahkan masa lalumu atas apa yang kamu lakukan hari ini. Tak peduli apa pun yang telah terjadi dalam hidupmu sampai ke titik ini, itu seharusnya tidak ada hubungannya dengan caramu hidup mulai saat ini.
Berhentilah mengasihani diri karena pernah mengalami trauma. Putuskan saja apakah kamu mau berbahagia atau tidak dalam hidupmu lepas dari apa pun kehidupan yang kamu peroleh di masa lalu. Diri kita bukan ditentukan oleh pengalaman kita sendiri atau apa yang kita alami dalam hidup tapi oleh MAKNA yang kita berikan pada pengalaman kita. Sungguh keren…!
Gagasan dari Adler ini jelas sangat kontroversial di jamannya bahkan gagasan-gagasannya masih terasa mengejutkan bila kita bawa hingga masa kini karena tidak jarang bertentangan dengan pemahaman umum yang ada selama ini. Gagasan-gagasannya tersebut tidak begitu mudah dipahami bahkan oleh filsuf itu sendiri. Bahkan sang filsuf, tokoh dalam buku ini berkata seperti ini.
“Untuk memahami betul teori psikologi Adler dan menerapkannya untuk benar-benar mengubah cara hidup seseorang, orang membutuhkan “separuh tahun kehidupannya”. Dengan kata lain kalau mulai mempelajari pada usia empat puluh tahun, kau butuh dua puluh tahun, yaitu sampai kau menginjak enam puluh tahun. Kalau kau mulai belajar pada usia dua puluh tahun, kau butuh waktu sepuluh tahun, yaitu sampai kau menginjak usia tiga puluh tahun. (Ichiro Kishimi).
Tapi percayalah, begitu Anda membaca buku ini Anda akan merasakan kesegaran jiwa dan merasa terbebaskan oleh pemahaman-pemahaman keliru yang ternyata membuat kita terbelenggu olehnya.
Menurut Adler, semua permasalahan adalah tentang hubungan Interpersonal, semua permasalahan, tidak terkecuali. Ini salah satu gagasan yang membelalakkan mata saya. Gagasan ini menjadi topik pembahasan yang menarik karena dijelaskan dengan sangat baik dan runtut dengan metoda dialog antara Sang Filsuf dengan Sang Pemuda.
Tokoh pemuda dalam buku ini terus menerus membantah gagasan yang mengusik logikanya. Sang Filsuf dengan sabar menjelaskan bahwa permasalahan yang kita anggap pribadi seperti kepercayaan diri kita, kualitas kerja kita, bahkan permasalahan permasalahan yang lebih pribadi lagi tidak lepas dari permasalahan di hubungan interpersonal kita dengan orang lain.
Dusta Kehidupan
Salah satu pandangan Adler yang sangat revolusioner menurut saya adalah ketika ia menyatakan tentang adanya Dusta Kehidupan. Dan Dusta Kehidupan yang terbesar adalah tidak hidup di sini pada saat ini. Kita Justru menghabiskan energi untuk memandang pada masa lalu dan masa depan, mengarahkan sinar temaram pada seluruh kehidupan, dan percaya bahwa kita berhasil melihat sesuatu.
Padahal justru pada saat itu kita melupakan “sesuatu yang terpenting” yaitu hidup di sini pada saat ini. Masa lalu sudah berlalu dan ia tidak perlu menjadi perhatian terpenting kita. Masa depan juga bukan sesuatu yang bisa pastikan karena bukan milik kita. Yang kita miliki dengan pasti adalah HARI INI DAN DISINI.
Inilah seharusnya yang menjadi perhatian utama dan terbesar kita. Yang penting adalah bukan dengan apa kita dilahirkan, tapi bagaimana kita memanfaatkan apa yang ada dalam diri kita.
Saya langsung terhenyak dan menahan napas setelah membacanya.
Judul buku ini saja sudah memantik rasa penasaran kita. Siapa yang mau tidak disukai? Rasanya kita semua ingin hidup menjadi bintang dan disukai oleh semua orang. Tak ada orang mau tidak disukai.
Apa yang kita tampilkan dan citrakan di kehidupan nyata dan dunia medsos menunjukan keengganan kita untuk tidak disukai. Kita bahkan selalu memilih-milih mana foto diri kita yang paling menarik untuk kita unggah di medsos. Kita mengembangkan citra diri kita untuk disukai dan menjadi budak dari ekspektasi disukai orang lain.
Di saat kita semua takut untuk tidak disukai, Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menganjurkan kita untuk menjadi diri sendiri meski dengan risiko tidak disukai. Toh menjadi disukai atau tidak itu bukan tugas kita. Itu adalah tugas orang lain yang kita tidak ingin campuri.
Menyukaiku atau membenciku adalah tugas orang lain dan di luar tugasku. Saya punya tugas lain yang berada dalam kendali saya. Apakah orang-orang menyukaiku atau membenciku ada di luar kendali diriku.
Bab yang paling penting bagi saya adalah bab terakhir yang membahas tentang memberi makna pada kehidupan yang terlihat sia-sia. Di sini dijelaskan bahwa kebermaknaan hidup kita itu justru ketika kita berkontribusi bagi orang lain. Jika kita bermanfaat bagi orang lain maka itulah sebenarnya kebahagiaan yang harus kita tuju.
Ini sungguh cocok dengan hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Buku ini bahkan menjelaskan bahwa orang yang tidak melakukan apa pun sebenarnya bisa memberi makna bagi orang lain.
Beli dan bacalah buku ini dan dapatkan wawasan baru yang sungguh menyegarkan.
Surabaya, 5 September 2021
Satria Dharma
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews