Model sitasi ini hanya memperlihatkan pertumbuhan eksponensial dari karya ilmiah yang dikutip, tetapi dengan derajat/kualitas substansi yang sama atau setara.
Belakangan ini, media massa cetak/elektronik Kembali diramaikan oleh berita tentang praktik plagiarisme di kalangan perguruan tinggi (PT) di sejumlah kota besar di Indonesia. Fenomena plagiarisme ini menghentak dunia PT yang selama ini selalu dinisbatkan sebagai penjaga tradisi dan marwah akademik. “Benteng Pencegahan Plagiarisme".
Berita tentang plagiarisme muncul pertama kali 2010 di sebuah PTS di Bogor, dan Yogyakarta. Peristiwa ini membuat Majelis Guru Besar (MGB) dan Dewan Guru Besar (DGB) dari enam perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) turun tangan dan melakukan koordinasi di kampus UGM. Kemendiknas pun akhirnya mengeluarkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi (2010). Disusul kemudian dengan edaran Dirjen Dikti tentang validasi karya ilmiah (2011).
Ikhtiar yuridis-formal dengan sanksi tegas kepada setiap pelanggarnya, tidak dengan sendirinya mengurangi atau menghentikan praktik plagiarisme. Tragedi demi tragedi plagiarisme masih saja terjadi. Secara berturut-turut, sejak 2014 hingga saat ini, setidaknya ada enam berita plagiarism di sejumlah PT terkenal di Bandung, Jakarta, Aceh, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Bogor, Kendari, Banda Aceh, Semarang, dan Medan. Bahkan di antaranya melibatkan Rektor dengan dugaan "persekongkolan akademisi dan politikus" (Kompas.com, 02/10/2017; Tempo.co, 04/02/2021).
Apapun penyelesaian akhir kasus-kasus plagiarisme tersebut, hal ini merupakan mendung kelabu, tragedi yang menyelimuti dunia akademik dan intelektualitas kita. Tak salah, jika Damanik (Kompas.com, 19/02/2010) menyebut plagiarisme sudah mewabah sebagai "pandemi" yang tidak hanya terjadi di PT di Indonesia, tetapi juga di PT besar dan tersohor di berbagai negara seperti Amerika dan Inggris. Tragisnya, di antara para plagiatnya adalah guru besar (profesor).
Plagiarisme dan Kebaruan
Plagiarisme, kata Riyanto merupakan “tindakan pencurian kreativitas intelektual, mencuri hak-hak kebebasan orang lain, dan memiliki konsekuensi etis-deontologis sebagai perbuatan cela" (Kompas.com, 24/02/2010). Self-plagiarisme kata pengamat politik Gerung "membuat ilmu pengetahuan tidak tumbuh, tidak berkembang" (Kompas.com, 24/02/2010).
"Kebaruan" (novelty) atau keaselian (originality) merupakan salah satu kata kunci mengapa praktik plagiarisme merupakan "forbidden area" yang tidak boleh dilanggar oleh setiap insan akademik. Kebaruan terkait dengan adanya "temuan baru" yang memiliki kontribusi baik bagi keilmuan maupun bagi kehidupan. Novelty/originality dalam makna "Novum Organum" Francis Bacon (1629) bisa diperoleh dari tiga aspek, knower, knowing, dan known.
"Knower" atau subjek yang mengetahui atau meneliti terkait dengan apakah subjek baru atau tidak, dalam pengertian personal, akademik atau profesional. "Knowing" atau proses mengetahui atau meneliti terkait dengan apakah perspektif, point of view, teori, metode/model/paradigma penelitian yang digunakan berbeda, baru, atau belum pernah digunakan. "Known" atau objek yang diteliti (formal atau material) terkait dengan apakah masalah yang dikaji atau diteliti baru atau belum pernah diteliti.
Novelty/originality tidak melarang penulis untuk merujuk karya-karya ilmiah sebelumnya. Dalam sejarah keilmuan, tidak ada satupun karya ilmiah yang tidak merujuk atau mengutip karya-karya ilmiah sebelumnya. Bahkan, merujuk atau mengutip merupakan sebuah "kewajiban, keniscayaan" untuk menjaga kesinambungan tradisi keilmuan, dan untuk menunjukkan kepada sidang pembaca ada/tidaknya "state of the art" disiplin ilmu dari setiap karya ilmiah yg ditulis.
Plagiarisme dan Model Sitasi
Untuk memperoleh ketiga aspek novelty/originality, sangat penting bagi setiap penulis untuk melakukan kajian intensif atas aspek knower, knowing, dan known melalui analisis kesenjangan (gap) yang ada pada teori (theory gap), hasil-hasil penelitian (research gap), dan fenomena di lapangan (phenomena gap) sebelum menetapkan fokus atau masalah penelitian melalui penelusuran referensi.
Dalam kaitan ini, sitasi merupakan salah satu aspek penting terkait dengan plagiarisme dan novelty/originality. Melalui sitasi seorang penulis bisa menemukan rumpang utuk diisi temuan baru. Sebuah ilmu tidak berkembang dari sesuatu yang sama sekali tidak ada atau baru, melainkan dibangun dari dan atas dasar ilmu yang sudah ada. Karenanya, tidak ada satupun karya ilmiah yang sama sekali baru, terlepas dari karya-karya ilmiah sebelumnya.
Ilmu/sains berkembang "in a co-constitutive environment of organizations and networks (of scientific citation) that is shaped by social, technical, and economic changes” (Shwed & Bearman, 2010:820). Berdasarkan etika akademik yang harus dipatuhi agar tidak terindikasi plagiarisme.
Dalam konteks kebaruan dan pengembangan iptek, sitasi tidak hanya dimaknai sebatas mengutip atau merujuk karya ilmiah orang lain secara beretika. Sitasi dalam karya ilmiah merupakan sebuah jaringan struktural-fungsional dari beragam argumen teoretik-substantif yang dibangun secara konsensual dalam pemikiran penulis dengan tujuan untuk menerima (recieve), mengukuhkan (confirm), memverifikasi (verify) dan/atau menolak/membantah (refute) perspektif, point of view, teori, metode/model/paradigma yang digunakan penulis di dalam karya ilmiah yang disitasi.
Menggunakan model struktur temporal formasi konsensus akademik dari Shwed & Bearman (2010), ada tiga model formasi sitasi yang bisa dilakukan oleh penulis, yaitu spiral, cyclical, dan flat.
Model spiral. Sitasi model ini menghasilkan sebuah jaringan sitasi yang secara struktural-fungsional dibangun oleh penulis secara konsensual dari perspektif, point of view, teori, metode/model/paradigma yang memiliki substansi jawaban, penjelasan atau deskripsi yang sama atas pertanyaan atau masalah yang juga sama, tetapi derajat/kualitas substansinya berbeda dan berjenjang.
Artinya, derajat/kualitas substansi suatu karya ilmiah yang dikutip lebih baik, lebih tinggi atau merupakan hasil revisi/perbaikan dari karya ilmiah yang lain. Sitasi spiral ini lazim digunakan dalam pengembangan ilmu model verifikasi dan justifikasi Bacon.
Model cyclical. Sitasi model ini menghasilkan sebuah jaringan sitasi yang secara struktural-fungsional dibangun oleh penulis secara konsensual dari perspektif, point of view, teori, metode/model/paradigma yang memiliki substansi jawaban, penjelasan atau deskripsi yang berbeda, bahkan bertentangan atas pertanyaan atau masalah yang secara substantif sama. Sitasi cyclical ini lazim digunakan dalam pengembangan ilmu model dialektika-kritis Hegel dan Marx, falsifikasi Popper, atau revolusi ilmu Kuhn.
Model flat. Sitasi model ini menghasilkan sebuah jaringan sitasi yang secara struktural-fungsional dibangun oleh penulis secara konsensual dari perspektif, point of view, teori, metode/model/paradigma yang memiliki substansi jawaban, penjelasan atau deskripsi yang sama atas pertanyaan atau masalah yang juga sama, tanpa ada perbedaan sama sekali dalam derajat/kualitas substansinya.
Model sitasi ini hanya memperlihatkan pertumbuhan eksponensial dari karya-karya ilmiah yang dikutip, tetapi dengan derajat/kualitas substansi yang sama atau setara. Sitasi flat ini juga lazim digunakan dalam pengembangan ilmu model verifikasi dan justifikasi Bacon.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews