Mengapa Najwa Shihab Mewawancarai Kursi?

Dalam periode ke-dua kursi kepresidenan Jokowi, posisi Najwa memang berbeda dengan dulu. Ketika itu, hingga punya hotline dengan Jokowi, berakrab dengan Gibran.

Senin, 5 Oktober 2020 | 09:02 WIB
0
293
Mengapa Najwa Shihab Mewawancarai Kursi?
Kursi kosong (Foto: Grid.id)

Sesungguhnya, Najwa Shihab tak berniat mewawancarai kursi. Kursi-lah sesungguhnya yang sudah lama menunggu. Kapan giliran diwawancarai Najwa Shihab, host paling cantik dan paling pinter, tapi paling sedang gundah-gulana hari-hari ini.

Sebagai kursi, Kursi sangat tahu situasi batin Najwa Shihab itu. Makanya, ia ingin sekali diwawancarai. Sudah berkali-kali kursi mengajukan surat permohonan, juga lewat whatsapp, email, berbagai platform media yang dimiliki Najwa Shihab, atau orang menyebutnya Nana, agar diketahui publik punya tingkat keintiman tertentu. Intim dengan selebritas, itu sesuatu banget. Dan acap dipamerkan publik. Cara mudah untuk populer. Makin populer makin banyak job.

Kegelisahan Najwa Shihab, ini menurut informasi Kursi yang disampaikan pada saya secara pribadi (artinya tak akan saya publikasikan); Popularitas Najwa Shihab menurun akhir-akhir ini. Senyampang itu, Rosiana Silalahi dengan acara tak jauh beda, Mata Rosi, eh Rosi doang ding, perlahan mendapatkan simpati publik. Padal, karakter wajah Najwa Shihab lebih familiar, humble, ramah, dibanding Rosi yang tampak angkuh. Bagus kalau acaranya berjudul; Lidah Rosi. Cuma perlahan akan terus terbuktikan, konten berkaitan dengan majoritas passion masyarakatnya.

Meski kontennya tampak gagah, seperti Indonesia Lawyer Club, toh senyatanya kualitas acaranya hanya sebatas penyinyiran. Karena ILC hanya medan terbuka yang mempertarungkan pihak berbeda kepentingan. Tampak moderat, tapi titik berat pada ‘kepentingan’ itu yang membuat ILC tak banyak berguna, kecuali sebagai industri informasi. Tidak sangat mendidik dalam pengertian hanya bermanfaat bagi yang bisa mengambil jarak.

Untuk masyarakat dengan tingkat literasi yang belum menggembirakan, ILC hanyalah alat untuk mempertajam perbedaan, dan mengeraskan kepentingan para pihak.

Karni Ilyas, sebagai host dengan suara basah berlumpur, hanya lebih memperlihatkan ahli dalam jualan. Tak peduli dengan nilai jualan. Seperti pedagang umumnya. Moralitasnya hanyalah keuntungan. Tentu saja, karakter jurnalisme seperti dikembangkan JO, dinilai tidak patriotik.

Kenapa Kursi ingin diwawancarai Najwa Shihab? Lebih karena Kursi ingin menghibur kegelisahan Najwa Shihab. Anak Pak Quraish Shihab itu, seolah sedang tak percaya, bahwa daya tekannya kini melemah. Jika dulu orang takut atau menghindar di kursi panas Mata Najwa, kini banyak orang ingin duduk di kursi itu. Tapi, yang ingin ialah orang yang berbeda.

Saat ini, ada beberapa orang butuh media. Najwa kesel karena justeru pihak yang dulu friendly, kini jaga jarak. Mungkin karena protokol kesehatan, physical distancing itu. Atau, paling miris, nganggep Najwa kini adalah bagian tak berguna. Toh kini orang macam Refly Harun juga bisa membangun media sendiri, berangkat dari jealousy.

Sebagai jurnalis, atau wartawan yang selalu bangga dengan sebutan ‘ratu dunia’, Najwa Shihab merasa hancur reputasinya. Gagalnya mengundang Kemenkes itu, meski dengan alasan paling rasional karena kesibukan, di sisi lain tetap saja artintya penolakan, tidak diterima, ketidakberhasilan. Gamblang di situ betapa verbal pesannya; Apa sih pentingnya Najwa Shihab, dalam kontek bencana nasional bernama pandemi Covid-19 ini? Itu menyangkut kredibilitas Najwa Shihab.

Bukan saja sebagai personal, tetapi juga lembaga atau institusi. Jika pun Menkes sedang kena tangkal-bicara, justeru makin menunjukkan Najwa Shihab memang hanya bermanuver untuk mendapatkan efek mediasi, bukan berdasar passion orang yang ber-empati.

Baca Juga: Mata Najwa dan Kebebasan Pers

Itu analisis Kursi. Karena saat ini, Kursi adalah sesuatu yang penting. Ingat, dari tukang bikin kursi bisa jadi Presiden. Kursi menjadi pusat segalanya. Tak mau ketinggalan, atau karena merasa ditinggalkan kursi, Najwa Shihab pun mewawancarai kursi. Dengan mewawancarai kursi, Najwa Shihab telah memakai mahkota kegagalannya. Sama persis dengan media (seperti Tempo, misalnya), yang bangga menuliskan; “narasumber bersangkutan sudah kami hubungi melalui ponsel tapi tidak diangkat, atau kami kirim pesan melalui WA, tapi masih centang satu’. Padal, intinya, ia gagal mendapatkan informasi pembanding, tapi ingin tetap disebut profesional. Profesional yang gagal.

Wartawan mengejar waktu, seolah harus menuliskan saat itu juga. Siapa yang mengharuskan? Gaji atau honornya? Fungsinya makin turun hanya menjadi pusat pemberitaan, namun makin oleng dalam fungsi sosial-politik sebagai media enlightment. Lihat saja, banyak media (apalagi media online), hanya sebagai media press-release. Satu berita satu narasumber.

Jika menganggap kursi sebagai simbol, kenapa tidak mewawancarai Donald Trump, atau Putin? Tentu saja Najwa Shihab bukan Oriana Fallaci (dengan Interview with History), atau jika mau detail, bukan pula Christianto Wibisono (wawancara imajiner dengan Sukarno). Dalam periode ke-dua kursi kepresidenan Jokowi, posisi Najwa memang berbeda dengan dulu. Ketika itu, hingga punya hotline dengan Jokowi, berakrab dengan Gibran. Kini kursi intimitas itu merenggang. Makanya perlu mewawancarai kursi. Kursi itu merah Jenderal, eh, Nana, eh, Najwa ding! |

@sunardianwirodono

***