Asal Muasal Kompas [36] Kisah Totok Poerwanto dari Singapura

Telepon satelit masih merupakan barang baru saat Timtim di ambang keruntuhan dan kemudian berpisah dari Indonesia tahun 1999.

Sabtu, 1 Januari 2022 | 08:41 WIB
0
175
Asal Muasal Kompas [36] Kisah Totok Poerwanto dari Singapura
Timor Leste (Foto: tribunnews.com)

Kalau wartawan tulis sudah menikmati kecanggihan komputer sejak Olimpiade Seoul 1988, Kartono Ryadi (alm) dan rekan-rekan wartawan foto masih tetap “berjuang” ke bandara setiap ada liputan. Mereka baru menikmati kecanggihan peralatan setelah lima tahun kemudian, pada arena SEA Games Singapura 1993.

Menjelang SEA Games Singapura itu, Kompas memiliki peralatan kirim-terima foto canggih sekelas kantor berita AFP. Lisensi penjualan ada pada Kantor Beria Antara dan tidak mudah mendapatkannya. Namun atas perjuangan Mas Swantoro yang kala itu tengah sibuk mengikuti Lemhanas, Kompas akhirnya bisa memiliki satu set perangkat pengiriman dan penerima foto jarak jauh. TPK yang ikut dalam tim SEA Games  memberikan kisahnya kepada saya.

Saat itu Tim liputan Kompas untuk SEA Games sudah beberapa hari di Singapura, sementara saya sendiri berangkat agak belakangan, karena menunggu peralatan foto yang dijanjikan Antara baru bisa diterima Kompas tiga hari menjelang pembukaan SEA Games. Janji Antara ternyata meleset dan di tengah-tengah kesibukan Lemhanas, Pak Swantoro turun tangan menghubungi Antara dan minta kepastian besok barangnya sudah ada di Kompas. “Mas TPK, batalkan berangkat malam ini. Tunggu sampai peralatan foto datang dan pelajari penggunaannya,” pesan Pak Swan.

Keberangkatan saya batalkan dan sore harinya peralatan foto itu datang. Langsung dibongkar dan belajar kilat dengan pelatih dari Antara. Saya belajar pengiriman, sementara JB Suratno, wartawan foto, belajar dengan alat penerimanya. Kursus kilat dua jam. Saya dan Mas Ratno sama-sama mencatat tindakan demi tindakan untuk mengoperasikan alat foto ini.

Sore hari berikutnya saya  nyaris tertinggal pesawat Garuda ke Singapura, gara-gara peralatan foto ini. Kantor Bea Cukai di Bandara Soekarno-Hatta tidak meloloskan peralatan ini karena harus didaftarkan dulu. Prosesnya berbelit-belit, padahal koper sudah masuk perut pesawat, dan waktu keberangkatan pun makin dekat. Beruntung …., lagi, lagi beruntung, pesawat Garuda jurusan Singapura mengalami gangguan teknis, sehingga keberangkatan diundur dua jam. Saya pun naik pesawat dengan tersengal-sengal, karena harus berlari menenteng beban 30 kilogram peralatan foto.

Malam harinya di Singapura, peralatan foto dioperasikan. Semua prosedur dilakukan dan Jakarta siap menerima, tetapi tidak sekali pun foto bisa terkirim. Baru jalan 30 persen, saluran putus. Baru jalan 20 persen, putus lagi, Sudah jalan 80 persen, putus lagi.  Arloji menunjukkan pukul 23.00, saya grogi dan merasa salah. “Jangan-jangan ada pelatihan kemarin yang lolos, sehingga pengoperasian tombol-tombolnya tidak pas,” pikir saya.

Lelah dan putus asa karena terus gagal hingga empat jam, saya pun mengajak Kartono makan “Kamu saja yang turun, saya titip bawakan nasi,” jawab Kartono. Dengan langkah lunglai saya turun dari hotel, melewati lobi dan kebetulan telinga saya mendengar suara sirene kecil, ngik ..ngik ... ngik, seperti suara yang ada di kamar tadi. Suara-suara yang membuat saya stres, karena pengiriman foto berulang kali gagal.

Saya mencari sumber suara itu, ternyata dari ruang operator hotel yang kebetulan pintunya terbuka. Saya berdiri sejenak dan suara-suara itu hilang, ganti suara operator haloo, halooo ….., klik. Muncul lagi suara sirene, ngik .., ngik, ngik …., dan hilang lagi ditelan suara haloo, haloo, klik dari operator.

Saya masuk ruang operator dan bertanya suara apa itu, dan dikatakan suara telepon dari salah satu kamar tamu. Saya minta pada operator agar sambungan telepon ke kamar itu jangan diganggu atau dipotong. Namun dikatakan bahwa ia harus tahu kode-kode apa yang dikirim, karena ini tidak biasa. Saya katakan ini alat pengiriman foto, sama dengan peralatan komputer atau faksimil dan bukan kode atau sandi-sandi.

“Coba Anda tanyakan pada Telkom Singapura, apakah peralatan ini boleh beroperasi di sini,” kata saya. Petugas itu pun menghubungi kantor Telkom Singapura dan mendapat jawaban bahwa peralatan bisa digunakan selayaknya komputer, atau perangkat faksimil melalui jaringan telkom. “Silahkan pakai dan saya tidak potong lagi,” jawab operator.

Saya segera mengontak Kartono agar kembali mengirim dan saya tetap menunggu di ruang operator untuk memastikan aman. Ternyata setelah tidak diutak-atik operator, pengiriman berlangsung mulus. Ampuuuunn … dan lagi-lagi pelajaran berharga.

Sejak itu, pengiriman foto mulus dan foto-foto kejadian tengah malam bisa cepat sampai Jakarta. Wartawan media lain dari Jakarta terheran-heran dan bertanya: pakai kargo udara apa, kok foto kejadian  pukul 23.00 bisa dimuat Kompas?

Kartono  hanya tersenyum-senyum. Mulai SEA Games Singapura 1993, wartawan foto tidak lagi ngos-ngosan berlari ke bandara.

TPK sejak kejadian di atas secara tak resmi dinobatkan sebagai ahli teknologi redaksi. Dialah yang kemudian merintis penggunaan telepon satelit dan saluran radio untuk keperluan Kompas. Sebelum saya pensiun ia membagikan kisah penggunaan telepon satelit kepada saya.

Telepon satelit masih merupakan barang baru saat Timtim di ambang keruntuhan dan kemudian berpisah dari Indonesia tahun 1999. Mas August Parengkuan yang membaca situasi, meminta saya untuk segera mencari telepon satelit. “Secepatnya yaa dan malam ini juga kita sudah punya,” kata Mas August suatu siang.

Saya pun segera menghubungi Mas Yos Tanubrata dari Radio Sonora yang punya banyak relasi bisnis telepon satelit. Mas Yos segera menghubungi temannya dan malam itu juga sudah ada kepastian bahwa barang itu ada berikut nomornya. “Asalkan pembayaran cash malam ini juga yaa,” kata supplier-nya.

Mbak Roesilah, Pimpinan Perusahaan, malam itu juga menyediakan dananya, 4.000 dollar AS. Perangkat pun datang dan malam itu kembali belajar mengoperasikannya, mencatat langkah demi langkah. “Kirim peralatan segera dan besok sudah bisa diterima mBak Rien Kuntari di Dilli,” kata Mas August, setelah tahu peralatan siap pakai.

Malam itu langsung menghubungi Indra Setiawan (Direktur Operasional Merpati, terakhir mantan Dirut Garuda). “Nggak ada lagi pesawat Garuda dan Merpati ke Dilli. Namun nanti saya kabari lagi,” ujar Setiawan. Satu jam kemudian ia menginformasikan bahwa pada pukul 05.00 ada satu-satunya pesawat Merpati menuju ke Dilli. “Nanti titip pilot saja dan harus diambil sendiri, karena crew darat Merpati dan Garuda sudah diungsikan dari Dilli,” kabar dari Setiawan.

Saya kontak Rien Kuntari yang tengah bertugas di Dilli dan dia bersedia mengambil langsung dari pilotnya, karena pesawat akan secepatnya kembali mengudara setelah menurunkan penumpang. Mas Dudi Sudibyo, wartawan yang banyak meliput kedirgantaraan mendapat giliran tidak tidur, karena harus menyerahkan perangkat telepon satelit pada pilot Merpati di Bandara Cengkareng.

Pukul 08.00 perangkat diterima Rien Kuntari dan ia sukses mengoperasikannya. Dilli hancur lebur dan Rien Kuntari masih bisa tersenyum, karena pengiriman berita tetap lancar. Kompas sendiri waktu itu menggunakan nomor telepon dari Belanda, karena Mas August Parengkuan tidak berani mengambil resiko kalau memakai nomor  Indosat. 

(Tamat)

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [35] Modemisasi