Narasi Hitam

Sabtu, 9 Maret 2019 | 07:59 WIB
2
692
Narasi Hitam
http://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/news/2019/02/3b6ceffe53728fe61f674f3e4b27bdc4.jpg

Dalam kurun waktu kurang dari 40 hari, dimulai saat tulisan ini dimuat, perhelatan pesta demokrasi 5 tahunan akan berlangsung. Masing-masing paslon tengah menjalani strategi menjaring suara pemilih.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’aruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, melalui mesin partai masing-masing, bergerak menyisir setiap pelosok daerah dan provinsi guna meyakinkan calon pemilih berpihak kepada paslon yang diusungnya.

Pergerakan ini jelas terlihat masif dan atraktif dengan jargon dan berita berisi kelebihan-kelebihan  paslon yang diusungnya.

Ironisnya, cara-cara yang sebaiknya mengedepankan etika berpolitik secara jujur dan berintegritas telah tercederai oleh narasi ‘hitam’ yang sengaja dibangun untuk mendegradasi persepsi calon pemilih, salah satunya penyebaran berita-berita 'hoax' tentang isu-isu sosial, ideologi, dan agama.

Isu-isu ini masif dibicarakan di media online dan efektif menjaring sejumlah calon pemilih yang, bila dapat dikatakan, tidak kritis menyaring informasi yang diterimanya, layaknya menelan makanan tanpa perlu dikunyah terlebih dahulu.

Sejujurnya tidak mudah memang memilah antara informasi benar dan ‘hoax’  di tengah kecepatan akses informasi modern nan masif. Diperlukan usaha pembiasaan diri memeriksa kembali informasi yang diterima atau dibaca guna bertemu dengan fakta atau kebenaran sesungguhnya. Perlulah diketahui bahwa kecenderungan otak dalam menerima informasi bersifat netral atau tidak memihak.

Pada awalnya, otak menerima informasi sebagaimana informasi itu adanya. Bila informasi yang diterimanya terus menerus berisi kebohongan maka otak akan menyimpulkannya sebagai suatu kredo. Oleh karenanya, perlu adanya langkah lanjutan yang bernama analisa-kritis terhadap informasi yang diterima untuk meminimalisasi ketidakakuratan informasi tersebut.

Strategi ini tengah dimainkan dalam kontestasi pilpres oleh oposan saat ini sebagai senjata pembunuh massal yang mampu menghancurkan kultur bangsa Indonesia yang toleran.

Sejatinya, pesta demokrasi 5 tahunan ini haruslah berlangsung jujur dan berintegritas tanpa menimbulkan keresahan masyarakat yang sedang terpolarisasi secara signifikan akibat narasi ‘hitam’ yang dibangun untuk kepentingan suatu kelompok yang tidak bertujuan membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

***