Persoalan Lingkungan (3): Pemerintah Tak Mampu Kendalikan Pencemaran

Sabtu, 26 Januari 2019 | 14:41 WIB
0
701
Persoalan Lingkungan (3): Pemerintah Tak Mampu Kendalikan Pencemaran
Ketika Ratu Elizabeth

Suatu ketika Ratu Elizabeth bertemu dengan George Washington di Sungai Brantas. Pertemuan yang tidak direncanakan itu terjadi saat potongan uang kertas Pounsterling Inggris dan Dollar AS itu menjadi sampah di DAS Brantas beberapa waktu lalu.  

Catat, Indonesia bukan tempat sampah! Ucapan itu disampaikan Direktur Eksekutif ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation-Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) Prigi Arisandi terkait maraknya impor sampah plastik.

Setelah Cina dilarang mengimpor limbah plastik pada tahun 2018, Indonesia menjadi pengimpor sampah plastik terbesar kedua dari Inggris setelah Malaysia. Indonesia menjadi Negara terbesar ketiga yang meningkat penerimaan sampah plastik dari Inggris sekitar 15 ribu ton.

Untuk peningkatan ekspor pada 2018 dibandingkan pada 2017, Indonesia menjadi Negara kedua terbesar yang menerima ekspor pada periode Januari-April 2018.

Selain menerima sampah plastik dari Inggris, Indonesia juga tercatat menerima sampah kertas dan sampah plastik dari Amerika Serikat, bahkan pada 2018 jumlah ekspor sampah dari AS lebih dari dua kali lipat dibanding 2017 menjadi sekitar 552 tibu ton.

Kondisi ini diyakini akan semakin meningkat jika izin impor plastik yang saat ini sedang dimintakan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Dari pantauan Ecoton, pada umumnya plastik yang diimpor itu “disembunyikan” dalam bale limbah kertas yang diimpor untuk kebutuhan bahan baku industri kertas di Jatim dari 4 juta ton/hari kebutuhan bahan baku kertas.

Dari kebutuhan itu, kertas bekas lokal hanya mampu memenuhi 2,5 juta ton/hari sedangkan 1,5 juta ton/hari harus disuplai melalui impor dari Inggris, AS, New Zealand, Irlandia, Australia, Italia, dan Kanada.

Sampah Plastik

Sungai Brantas selama ini sudah terkontaminasi mikroplastik, serpihan plastik yang berukuran lebih kecil dari 4,8 mm. Misalnya, mikroplastik yang ditemukan dalam air limbah PT Mekabox International yang diambil pada November 2018.

Mikroplastik salah satunya bersumber dari plastik (tas kresek, sedotan, botol minuman, dan bahan plastik lain) yang lebur menjadi remahan/serpihan oleh proses alam atau produksi. Jenis mikroplastik yang ditemukan berupa filament (lembaran), fragment, dan fibre atau benang.

Menurut Prigi Arisandi, pada Juli 2018 Ecoton merilis hasil penelitian Andreas Agus KN yang menemukan 80 persen dari 103 ikan yang diambil di bagian hilir Sungai Brantas ditemukan mikroplastik dalam lambungnya.

“Ecoton melakukan penyelidikan lebih lanjut di air Sungai Brantas bagian hilir di Kali Surabaya pada 20-21 Oktober 2018 yang menemukan mikroplastik dalam airnya,” ungkap Prigi Arisandi kepada Pepnews.com.

Ecoton dalam penelitian terbaru (pengambilan sample dilakukan Nopember 2018) yang belum resmi dirilis menemukan bahwa effluent atau air buangan yang berasal dari outlet pabrik kertas mengandung mikroplastik dalam bentuk fiber, film, dan fragmen serta makroplastik.

Effluent industri yang diambil sampelnya adalah PT Suparma, PT Surabaya Mekabox, PT Adiprima Suraprinta, PT Pakerin, PT Mount Dream Indonesia, PT Eratama Megasurya, dan PT Mekabox International.

“Indonesia sedang menghadapi stigma buruk sebagai negara penyumbang sampah terbesar kedua setelah Cina,” ujar Prigi Arisandi. Pemerintah melalui KLHK tidak mampu mengendalikan dan tidak mampu mengelola sampah.

“Terutama sampah plastik sehingga banyak problem di level propinsi, kota/kabupaten yang tidak tuntas tertangani, mendatangkan sampah plastik impor tentu akan semakin membebani KLHK dalam pengelolaannya,” lanjutnya.

Industri-industri kertas yang ada di Jatim selama ini menggunakan bahan baku kertas bekas dari AS, Uni Eropa, Inggris, Australia, dan New Zealand, namun sampah kertas yang diimpor tidak semuanya berupa kertas, tapi juga bercampur dengan sampah plastik.

Bahkan, ada yang hingga 60% sampah yang diimpor berisi plastik. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari Departemen Perindustrian dan Bea Cukai, maka perlu ada evaluasi pada kedua kementerian ini karena dampak lingkungannya yang luar biasa merusak lingkungan, berupa pencemaran air, polusi udara, dan pencemaran tanah.

Keputusan Menteri Perindustrian untuk membuka pintu impor sangat tidak relevan terhadap upaya pengurangan sampah plastik yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Sehingga ini membuktikan tidak ada koordinasi antara departemen dalam upaya pengendalian sampah plastik atau bisa dikatakan tidak becus,” tegas Prigi Arisandi.

Indonesia bukan tempat buangan sampah AS,  Inggris, dan Australia. Temuan ecoton Industri kertas seperti PT pakerin, PT Mekabox International, PT Eratama Megasurya, PT Adiprima Suraprinta dan PT Ekamas Fortuna menghasilkan sampah plastik.

Sampah plastik tersebut seperti sachet-sachet, pembungkus, botol plastik merk dari AS, Inggris, Uni Eropa, New Zealand, Italia dan Australia. Serpihan plastik pembungkus ini sebagian besar dibakar untuk bahan bakar pabrik gula, pabrik tahu, pabrik krupuk, dan pembakaran batu bata.

“Juga untuk pembakaran gamping, sebagian dibuang disungai atau dibiarkan teronggok di lahan bantaran, sehingga pembakaran ini menimbulkan polusi udara jenis dioxin. Keberadaan sampah impor ini jelas merusak lingkungan,” tegas Prigi Arisandi. 

Untuk itu, kata Prigi Arisandi, Ecoton mendesak agar Pemerintah:

Pertama, Menolak impor sampah plastik dan membatasi impor sampah kertas bekas yang ternyata di dalam sampah kertas juga terdapat beragam jenis sampah rumah tangga.

Kedua, Penegakan hukum terhadap pelanggaran ijin impor,  temuan ecoton menunjukkan kebocoran di Bea Cukai Tanjung Perak yang tidak melakukan kontrol terhadap jenis/item sampah yang masuk, plastik sampah impor saat ini belum mendapatkan izin masuk tapi faktanya membanjiri Jatim.

Ketiga, Pemberian sanksi kepada industri pengolah sampah yang membuang limbah cairnya ke Sungai  Brantas yang terbukti menimbulkan pencemaran air seperti PT Suparma,  PT Adiprima Suraprinta,  PT Pakerin,  PT Surabaya Mekabox.

Keempat, Potensi korupsi pada Kementerian Perindustrian yang memberikan izin impor bahan baku namun tidak melakukan pengawasan.

Kelima, Pemulihan kualitas lingkungan akibat dampak industri daur-ulang kertas dan plastik berupa kontaminasi lahan, air Kali Brantas yang terkontaminasi mikroplastik dan udara tercemar dioxin.

“Pemerintah Jokowi tidak mampu melakukan pengendalian pencemaran akibat aktivitas industri daur-ulang sampah,” sindir Prigi Arisandi. Pihak Ecoton menilai, “Pemerintah ceroboh apalagi rencana membuka impor plastik akan menambah beban kerusakan lingkungan.”

(Bersambung)

***