Mungkin ini karena masyarakat kita memang bersifat feudal. Yang berada di hierarki atas jadi gila hormat.
Bertahun – tahun yang lalu, di saat pelajaran agama, saya pernah menggugat statement guru agama saya. Saya tahu persis bahwa saya benar, dan saya mampu menunjukkan ayatnya di Alkitab. Ini bukan tentang doktrin tapi sekedar pengetahuan Alkitab saja, sesuatu yang saya cukup menguasai.
Reaksi dari guru agama saya, sangat tidak suka dengan pertanyaan saya. Wajah beliau langsung berubah, beliau memarahi saya, dan malah tidak membahas pertanyaan saya.
Rupanya, pertanyaan saya dianggap sebagai serangan atas kewibawaan beliau sebagai guru. Sesuatu yang sangat kontras dengan di Belgia, di mana guru SD pun akan mengakui kalau tidak tahu sesuatu di hadapan anak – anak kecil yang jadi muridnya.
Saya juga ingat, pertama kali memulai study S3. Hal pertama yang ditekankan oleh Professor saya ialah bahwa Beliau TIDAK lebih pintar dari saya, TIDAK lebih tahu dari saya, biarpun Beliau sudah putih rambutnya, dan punya reputasi yang baik di dunia akademis selama bertahun – tahun. “Kezia, kamu harus tahu bahwa saya tidak lebih tahu dari kamu. Kemungkinan, sayalah yang akan belajar banyak dari kamu”.
Dan rupanya, statement tersebut bukanlah omong kosong. Dalam beberapa kali event publik - akademis, terbukti bahwa Professor saya tidak tahu beberapa isu. Yang menunjukkan bahwa Professor saya ini pendapatnya keliru, misalnya salah satu kolega saya se lab riset atau pernah juga mahasiswa random yang kebetulan hadir di acara tersebut. Beliau menanggapi hal – hal tersebut dengan senyuman, dan berkata, “Terima kasih untuk argumennya, salah satu yang membuat saya senang pada acara – acara publik semacam ini, ialah karena saya bisa belajar banyak”.
Padahal statement rekan saya itu cukup sadis. Kurlebnya “anda ini tidak menguasai materi yang anda paparkan… bla bla bla..”. Tampaknya omongan sadis itu tidak dianggap sebagai serangan terhadap kewibawaan sebagai Professor.
Oleh sebab itu, statement salah satu cawapres yang bilang “anda kan Professor, mestinya anda tahu ini atau itu” adalah statement yang SALAH!K ata siapa profesor pasti tahu segala hal?
Sebaliknya, seorang tua yang juga Professor pun tidak perlu ngamuk dan ngambek ketika di depan umum ditunjukkan kalau dia kurang menguasai suatu materi. Biasa saja.
Agak repot kalau hal itu dianggap serangan dan ancaman atas kewibawaan yang bersangkutan. Apalagi kalau itu memang bukan bidang ilmunya langsung.
Mungkin ini karena Masyarakat kita memang bersifat feudal. Yang berada di hierarki atas jadi gila hormat.
Contoh lain, Saya mulai riset S3, usia saya sudah di atas 30 tahun. Ada banyak temuan – temuan dalam riset saya yang menjungkirbalikkan konsep yang dipercayai masyarakat umum. Tapi ketika saya menyampaikan hal tersebut, misal di medsos, orang – orang dari generasi yang lebih tua dari saya beberapa kali ga terima (kalau apa yang saya sampaikan bertentangan dengan tokoh politik pujaannya), lalu saya dibocil-bocilin.. dikata-katain… yang belum lahir lah… pasti ga tahu inilah atau ga tahu itulah… tambah dijawab tambah panjang.
Di WA group alumni juga sama, ketika seorang Professor Indonesia diingatkan bahwa statemennya tidak benar, maka profesor tersebut bawa-bawa posisinya yang profesor itu untuk membungkam orang yang lebih muda yang mengingatkan itu.
Entah ya, saya pribadi lebih suka dengan masyarakat yang egaliter. Dan hal itu saya terapkan ketika menjadi dosen. Saya tidak menuntut orang yang lebih muda dari saya untuk munduk – munduk all the time. Saya menyadari, orang – orang yang lebih muda itu bisa banget punya pemikiran yang bagus atau pengetahuan yang lebih luas dari saya. Pun, tidak ada pertanyaan yang harus dianggap receh biarpun yang nanya orang muda.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews