Hidup Seutuhnya

Tak ada yang perlu dikejar dengan membabi buta. Tak ada yang bisa dilekati. Santai saja. Semua ini hanya sementara.

Rabu, 20 April 2022 | 07:07 WIB
0
140
Hidup Seutuhnya
Ilustrasi hidup seutuhnya (Foto: rumahfilsafat.com)

Hampir jam 8 malam. Hujan mendadak tiba. Dari pelan, secara perlahan, ia menjadi keras. Suara orang berteriak-teriak di rumah ibadah terdekat terdengar keras.

Beberapa teman berkumpul di depan rumah. Ada yang merokok. Ada yang membawa cemilan. Saya duduk dari dalam rumah, mengamati mereka.

Udara hari ini terasa panas. Ada rasa pengap mengambang. Saya kembali memperhatikan napas saya. Perut naik, perut turun, ada udara keluar masuk dari hidung.

Tangan bersentuhan dengan keyboard komputer. Halus, itu sensasi yang terasa. Tubuh bersandar di kursi. Pantat menyentuh empuknya lapisan kursi.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara melalui hidung.

Ada hening di batin. Ada tenang di hati. Pikiran bersih dari konsep. Yang ada hanya kesadaran murni di sini dan saat ini.

Jam dinding berdetak. Tek. Tek. Tek. Tak ada jeda. Tak ada istirahat.

Suara hujan menyentuh atap. Brrrrr. Deras. Perlahan, ia menjadi pelan. Kini, hanya gerimis yang tersisa.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara keluar masuk hidung.

Badan terasa gerah. Keinginan untuk mandi tumbuh. Namun, cucian piring menumpuk. Ada gelisah datang.

Mandi dulu, atau mencuci piring dulu? Gelisah datang. Keraguan datang. Sebelumnya, mereka tak ada.

Kemalasan muncul. Ah, cuci piring bisa besok saja, kan tak banyak. Mandi juga tak mendesak. Tak ada yang terganggu dengan bau badan.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara keluar masuk hidung.

Kesadaran masuk. Kursi bergerak. Komputer ditinggalkan. Tangan sibuk mencuci piring, sampai bersih.

Handuk diambil. Masuk kamar mandi. 10 menit kemudian, badan bersih dan wangi. Yang perlu dilakukan telah selesai dilakukan.

Keraguan sudah lenyap. Kemalasan sudah pergi. Mereka hanya tamu sementara. Datang, menetap sebentar, lalu pergi tanpa jejak.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara keluar masuk hidung.

Ponsel berbunyi. Ada notifikasi masuk. Beberapa teman dan keluarga mengontak. Pelan-pelan, saya ambil ponsel, dan membalas pesan satu per satu.

Ada yang hendak berkunjung besok. Ada yang mengajak olahraga pagi. Ada yang mengajak malam ini juga ke Senayan. Sudah mandi. Hujan juga. Ini ditunda dulu.

Beberapa email masuk. Tak ada yang penting. Semua hanya info dan iklan. Lihat sebentar, lalu hapus.

Duduk kembali. Menghadap komputer. Melanjutkan menulis. Batin kembali tenang. Pikiran kembali bersih.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara keluar masuk hidung.

Inilah hidup. Semua dikerjakan dengan kesadaran. Sesering mungkin, kembali bersama napas. Ini menjamin konsentrasi dan ketenangan.

Saya menyebutnya batin satu arah. Tradisi spiritual Asia menyebutnya sebagai meditasi. Ada yang menyebutnya sebagai Samadhi. Nama tak penting. Yang jelas, ia menyegarkan.

Ketika cemas muncul, sadari. Kembali bersama napas. Ketika gembira muncul, sadari. Kembali bersama napas.

Batin kita seperti kamar kosong. Ia terbuka untuk semua. Ia tidak pilih kasih. Ia seluas jagat semesta itu sendiri.

Ada perasaan datang. Ada pikiran datang. Ada emosi datang. Mereka menetap sebentar, lalu pergi tanpa jejak.

Amati semua itu. Sadari semua itu. Tak ada yang lolos dari kesadaran. Semua berada di dalam kamar kosong kesadaran yang seluas semesta.

Tak ada yang perlu dikejar dengan membabi buta. Tak ada yang bisa dilekati. Santai saja. Semua ini hanya sementara.

Napas masuk. Napas keluar. Perut naik. Perut turun. Ada udara keluar masuk hidung.

***