Sebagai yang ber-KTP Islam, saya sampaikan "Selamat Natal dan Tahun Baru." Sampai jumpa di tahun depan. Mugi Gusti tansah mberkahi. Rahayu ingkang sami pinanggih.
Apa yang saya lakukan malam-malam di akhir tahun, ialah dengan khidmad mendengarkan dua lagu (cover) dari Alip Ba Ta. 'O, Holy Night' yang dipopulerkan Mariah Carey, dan 'Jingle Bell Rock' yang ketika saya belum lahir dipopulerkan Bobby Helms. Para bule di daratan Eropa dan Amerika pun, tersihir oleh kehebatan sopir forkclift itu.
Dengan segala hormat untuk master fingers style ini. Dia bener-bener tanpa batas. Borderless. Beyond. Jika Gus Dur ngendika inti dari agama adalah kemanusiaan, sebagaimana demikian Mahatma Gandhi berkata, juga Dalai Lama ke-14 yang bestari; Maka Alip Ba Ta meyakinkan saya, musik atau apapun keindahan seni, ialah jembatan kemanusiaan yang subtil.
Nada-nada yang dimunculkan dari jemari Alip Ba Ta, melupakan saya pada banyak hal memalukan kemanusiaan dan kemaluan saya. Tidak ada caci-maki di situ, selain apresiasi atas ketulusan, persaudaraan dan kedamaian. Dengan gitarnya, Alip Ba Ta tak banyak bicara, karena ia bagian dari kasih yang mengujud. Tak perlu jubir untuk itu. Atau buzzer. Atau orang bayaran lainnya.
Dalai Lama mungkin benar, bahwa era kepemimpinan politik dan agama telah berakhir. Karena kepemimpinan tersebut tak memadai lagi pada abad ke-21. Demokrasi dan politik, bukan lagi sebuah kegagahan, ketika ia hanya melahirkan para pengutuk. Sama persis dengan mereka yang membuta atas nama agama, sembari merontokkan sendiri sendi-sendinya.
Tentu yang dikatakan Dalai Lama dalam konteks negrinya. Meski untuk Indonesia terasa relevan, setidaknya sebagai sindiran. Manakala demokrasi dengan ideologi politiknya, tetiba sama dan sebangun dengan agama. Menjadi makin tajam terbelah dalam dua mata pisau.
Padal, melihat Jokowi, juga Ahok, saya merasa diyakinkan, demikianlah kepemimpinan ke depan. Meski keduanya masih merupakan benda asing, bagi negara yang masih ribet dengan teori-teori demokrasi yang tak berkesudahan. Dan terus saja ngotot dengan kepentingan masing-masing.
Maafkan, kadang saya membayangkan antara Alip Ba Ta dan Jokowi tak jauh beda. Orang-orang yang naif dengan apa yang dipilihnya sebagai pekerjaan, untuk tidak mengatakan tugas. Tapi mungkin Alip Ba Ta lebih teguh, tanpa kompromi dalam diamnya. Sekalipun tentu kita juga mesti tahu, yang dihadapi Jokowi bukan hanya senar gitar. Atau segelas kopi. Atau sebatang rokok yang masih nyala, diselipkan di leher gitar.
Barangkali masih panjang, persepsi dan perspektif kita tentang kepemimpinan. Yang belum jua beranjak, dari sejak Ken Arok, hingga Mataram Baru kini. Masih selalu hanya berada dalam tarikan claiming dan bullying. Mutlak-mutlakan. Padal, Bung Karno pernah sesorah soal frasa 'gotong-royong' yang orisinal milik bangsa Nusantara. Tapi mana. Bung? Ayo bangun, dan jelaskan!
Tentu saja pengganti Jokowi pasti ada. Pengganti Ahok juga pasti ada. Kelak, suatu ketika. Sekiranya yang kek gituan tak dibunuhi oleh mereka yang masih mimpi di lumut analog. Sementara, kayak puisi Afrizal Malna, tentang abad yang berlari, sebagaimana ujar Dalai Lama, yang percaya kepemimpinan bukan lagi reinkarnasi, melainkan dipilih.
Pada soal dipilih itulah, kerja-kerja demokrasi politik kita masih kayak bakul di pasar, "Dipili, dipili, dipiliiii,..." Memilih karena dibujuk. Bahkan masih juga karena solidaritas korps, pesona-pesona primordial.
"O night divine. A thrill of hope the weary world rejoices... " bisik Mariah Carey di antara dawai gitar Alip Ba Ta. Atau dentingan Alip yang meneriakkan kegembiraan tulus, "Mix and a-mingle in the jinglin' feet. That's the jingle bell.That's the jingle bell. That's the jingle bell rock...!"
Sebagai yang ber-KTP Islam, saya sampaikan "Selamat Natal dan Tahun Baru." Sampai jumpa di tahun depan. Mugi Gusti tansah mberkahi. Rahayu ingkang sami pinanggih.
Sunardian Wirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews