Di Dalam Holy Night Alip Ba Ta

Sebagai yang ber-KTP Islam, saya sampaikan "Selamat Natal dan Tahun Baru." Sampai jumpa di tahun depan. Mugi Gusti tansah mberkahi. Rahayu ingkang sami pinanggih.

Jumat, 24 Desember 2021 | 09:37 WIB
0
181
Di Dalam Holy Night Alip Ba Ta
Ilustrasi malam (Foto: ruralrevival.co)

Apa yang saya lakukan malam-malam di akhir tahun, ialah dengan khidmad mendengarkan dua lagu (cover) dari Alip Ba Ta. 'O, Holy Night' yang dipopulerkan Mariah Carey, dan 'Jingle Bell Rock' yang ketika saya belum lahir dipopulerkan Bobby Helms. Para bule di daratan Eropa dan Amerika pun, tersihir oleh kehebatan sopir forkclift itu.

Dengan segala hormat untuk master fingers style ini. Dia bener-bener tanpa batas. Borderless. Beyond. Jika Gus Dur ngendika inti dari agama adalah kemanusiaan, sebagaimana demikian Mahatma Gandhi berkata, juga Dalai Lama ke-14 yang bestari; Maka Alip Ba Ta meyakinkan saya, musik atau apapun keindahan seni, ialah jembatan kemanusiaan yang subtil.

Nada-nada yang dimunculkan dari jemari Alip Ba Ta, melupakan saya pada banyak hal memalukan kemanusiaan dan kemaluan saya. Tidak ada caci-maki di situ, selain apresiasi atas ketulusan, persaudaraan dan kedamaian. Dengan gitarnya, Alip Ba Ta tak banyak bicara, karena ia bagian dari kasih yang mengujud. Tak perlu jubir untuk itu. Atau buzzer. Atau orang bayaran lainnya.

Dalai Lama mungkin benar, bahwa era kepemimpinan politik dan agama telah berakhir. Karena kepemimpinan tersebut tak memadai lagi pada abad ke-21. Demokrasi dan politik, bukan lagi sebuah kegagahan, ketika ia hanya melahirkan para pengutuk. Sama persis dengan mereka yang membuta atas nama agama, sembari merontokkan sendiri sendi-sendinya.

Tentu yang dikatakan Dalai Lama dalam konteks negrinya. Meski untuk Indonesia terasa relevan, setidaknya sebagai sindiran. Manakala demokrasi dengan ideologi politiknya, tetiba sama dan sebangun dengan agama. Menjadi makin tajam terbelah dalam dua mata pisau.

Padal, melihat Jokowi, juga Ahok, saya merasa diyakinkan, demikianlah kepemimpinan ke depan. Meski keduanya masih merupakan benda asing, bagi negara yang masih ribet dengan teori-teori demokrasi yang tak berkesudahan. Dan terus saja ngotot dengan kepentingan masing-masing.

Maafkan, kadang saya membayangkan antara Alip Ba Ta dan Jokowi tak jauh beda. Orang-orang yang naif dengan apa yang dipilihnya sebagai pekerjaan, untuk tidak mengatakan tugas. Tapi mungkin Alip Ba Ta lebih teguh, tanpa kompromi dalam diamnya. Sekalipun tentu kita juga mesti tahu, yang dihadapi Jokowi bukan hanya senar gitar. Atau segelas kopi. Atau sebatang rokok yang masih nyala, diselipkan di leher gitar.

Barangkali masih panjang, persepsi dan perspektif kita tentang kepemimpinan. Yang belum jua beranjak, dari sejak Ken Arok, hingga Mataram Baru kini. Masih selalu hanya berada dalam tarikan claiming dan bullying. Mutlak-mutlakan. Padal, Bung Karno pernah sesorah soal frasa 'gotong-royong' yang orisinal milik bangsa Nusantara. Tapi mana. Bung? Ayo bangun, dan jelaskan!

Tentu saja pengganti Jokowi pasti ada. Pengganti Ahok juga pasti ada. Kelak, suatu ketika. Sekiranya yang kek gituan tak dibunuhi oleh mereka yang masih mimpi di lumut analog. Sementara, kayak puisi Afrizal Malna, tentang abad yang berlari, sebagaimana ujar Dalai Lama, yang percaya kepemimpinan bukan lagi reinkarnasi, melainkan dipilih.

Pada soal dipilih itulah, kerja-kerja demokrasi politik kita masih kayak bakul di pasar, "Dipili, dipili, dipiliiii,..." Memilih karena dibujuk. Bahkan masih juga karena solidaritas korps, pesona-pesona primordial.

"O night divine. A thrill of hope the weary world rejoices... " bisik Mariah Carey di antara dawai gitar Alip Ba Ta. Atau dentingan Alip yang meneriakkan kegembiraan tulus, "Mix and a-mingle in the jinglin' feet. That's the jingle bell.That's the jingle bell. That's the jingle bell rock...!"

Sebagai yang ber-KTP Islam, saya sampaikan "Selamat Natal dan Tahun Baru." Sampai jumpa di tahun depan. Mugi Gusti tansah mberkahi. Rahayu ingkang sami pinanggih.

Sunardian Wirodono