Seratus Persen

Memang, zaman telah berubah, tuntutannya pun berubah. Tetapi menjadi sungguh Katolik dan sungguh Indonesia, adalah perutusan utama yang tidak bisa ditawar lagi.

Rabu, 25 Agustus 2021 | 06:43 WIB
0
208
Seratus Persen
Ignatius Kardinal Suharyo (Foto: Kompas.com)

I

Beberapa waktu lalu, lewat WA, saya bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa  kepada Bapak Kardinal—Ignatius Kardinal Suharyo:

 “Sugeng siang, Bapak Kardinal. Nyuwun pangapunten…bade nyuwun prikso. Kala emben, nalika khotbah wonten ing Misa Tahbisan Uskup Sibolga, Bapak Kardinal ngajak umat sesarengan ngidungaken kidungan Rayuan Pulau Kelapa. Kenging menopo? Matur nuwun.” (Selamat siang, Bapak Kardinal. Mohon maaf, ngrepoti…mau bertanya. Kemarin, ketika khotbah dalam Misa Tahbisan Uskup Sibolga, Bapak Kardinal mengajak umat untuk bersama-sama menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Mengapa? Terima kasih).

Tak lama kemudian, Bapak Kardinal membalas WA saya, dan menggunakan bahasa Jawa juga: “Sugeng siang, Mas. Mergi wonten penjelasan bab lambangipun Bpk Uskup, werni merah putih negesaken bilih wilayahipun, Keuskupan Sibolga, dados bagian NKRI. Lha, kesempatan kangge kula ngajak umat kangge merawat cinta tanah air. BD.” (Selamat siang, Mas. Dalam lambang Bapak Uskup, warna merah putih, menegaskan bahwa wilayah Keuskupan Sibolga adalah bagian dari NKRI. Inilah kesempatan bagi saya untuk mengajak umat bersama-sama merawat rasa cinta tanah air. Berkah Dalem.”

Ketika itu, dalam video pendek saya melihat Bapak Kardinal menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan suara lantang: Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa/….

Tak pelak lagi Gereja Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, tempat pentahbisan uskup baru Keusukupan Sibolga, Mgr Fransiskus TS Sinaga, ramai sekaligus mengharukan, dan membanggakan. Lagu Rayuan Pulau Kelapa adalah karya Ismail Marzuki (1914-1958), anak Betawi.

II

“Cinta tanah air.” Itu kata kuncinya, seperti dikatakan Kardinal Suharyo. Enam puluh sembilan tahun silam, Romo Kanjeng Soegiyapranata, uskup pertama  Keuskupan Agung Semarang merumuskan “cinta tanah air” itu menjadi sebuah slogan, semboyan yang hingga kini masih sangat relevan.

Pada saat memberikan sambutan pada Kongres I WKRI di Solo tahun 1952, Romo Kanjeng memperkenalkan semboyan “Jadilah Katolik 100 persen dan sekaligus 100 % nasionalis.” Katanya, “Jika kita benar­-benar Katolik sejati sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100% Katolik.”

Kata Romo Kanjeng, “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100 % patriotik sebab kita juga merasa 100 % Katolik.  Malahan menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati (G Budi Subanar, 2005)

Itulah rumusan Romo Kanjeng tentang identitas kekatolikan yang bertemu dengan identitas nasional, Indonesia. Rumusan itu, “100 % Katolik, 100 % nasionalis” menegaskan bagaimana kekatolikan di Indonesia dipahami.

Bagi Romo Kanjeng, kata G Budi Subanar (2012), katolisitas tidak boleh menggerus nasionalitas. Kekatolikan harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari­-hari dalam suatu interaksi kebangsaan. Orang Katolik Indonesia harus berguna tidak hanya bagi  Gerejanya, tetapi juga bagi bangsa dan negaranya. Bahkan, orang Katolik baru berguna bagi Gerejanya bila berguna bagi bangsa dan negaranya.

Mereka—umat Katolik—harus memiliki keberanian yang tangguh untuk turut mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Romo Kanjeng juga menegaskan perihal kewajiban umat Katolik untuk mencintai Gereja Kudus dan kewajiban untuk mencintai negara dengan sepenuh hati, dengan mengingatkan akan ajaran Yesus: “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (lih. Mark. 12:17).

Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katolik, justru  karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah, miskin, tersingkir dan difabel.(Bdk GS 1, Mat 25: 40). Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang.

Karena itu, bekerja sama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama adalah sebuah keniscayaan. Sebab, politik Katolik adalah perjuangan bagi kesejahteraan bersama, bonum commune (Mgr Ignatius Suharyo, 2009).

III

Itulah tantangan bagi umat Katolik Indonesia. Sebenarnya, sudah sedari awal sejarah republik, umat Katolik selalu ditantang oleh tuntutan besar sebagai warga negara. Bukankah bagi bangsa Indonesia, “Tanah Terjanji” adalah negara dan bangsa  yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Karena itu, merawat cinta tanah air adalah sangat penting.

Tetapi, bagaimana kita “merawat cinta tanah air”, merawat “Tanah Terjanji”, di tengah banjirnya arus-arus kecil di dalam kesempitan sektoral yang lebih mementingkan kekamian bahkan keakuan, bukan lagi kekitaan, di ruang bersama, ruang publik? Artinya kepentingan kelompok, kepentingan golongan dinomorsatukan, bukan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara.

Kita menyaksikan di tengah masa prihatin yang begitu lama karena pandemi Covid-19,  maraknya ujaran kebencian, kebohongan publik, mencari keuntungan diri di tengah penderitaan orang lain, dan mengejar popularitas. Itu semua merupakan tanda dangkalnya paham dan penghayatan hidup keagamaan, dan  keimanan, lemahnya ketaatan pada hukum, dan tergerusnya rasa kebangsaan serta watak mulia bangsa.

Banyak contoh yang diberikan oleh para tokoh Katolik di masa lalu, tentang bagaimana “cinta tanah air” dan “merawatnya”. Praktiknya macam-macam. Misalnya yang dilakukan oleh, Mgr Soegijapranoto, IJ Kasimo, Ign Slamet Rijadi (TNI-AD), Agustinus Adisutjipto (TNI-AU), Yosafat Soedarso (TNI-AL), Karel Satsui Tubu (Polri), dan lain-lainnya.

I.J. Kasimo, misalnya, adalah seseorang yang mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat pada kolonialisme menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia. Ia telah berjuang sejak menjadi anggota Volksraad dengan gagasan yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Pada masa revolusi kemerdekaan, ia menjadi menteri yang mengupayakan swasembada pangan ketika hubungan dengan dunia luar terputus. Dalam persidangan konstituante ia memperjuangkan Pancasila agar tetap menjadi dasar negara (Asvi Warman Adam, 2012).

Benih-benih cinta tanah air, patriotisme, nasionalisme yang tumbuh pada diri antara lain Romo Kanjeng Soegiyaprana, dan IJ Kasimo ditaburkan oleh Romo van Lith dan Romo van Driessche, dua misionaris dari Belanda di Muntilan. Romo Driessche, misalnya kata G Budi Subanar (2003), mengartikan kata “ibu bapa” (perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah) dalam arti luas. “Ibu bapa”  berarti mencakup bumi, tanah air  yang memberi kehidupan. Dengan ini sekaligus ditanamkan rasa cinta tanah air, patriotisme.

Memang, zaman telah berubah, tuntutannya pun berubah. Tetapi menjadi sungguh Katolik dan sungguh Indonesia, adalah perutusan utama yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab kata Mateus “…supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di  Surga.” Dengan demikian, Gereja Indonesia, dapat seratus persen terus tumbuh dan berkembang selaras panggilannya di Bumi Pertiwi ini sebagai pelayan kasih bagi sesama manusia; untuk melakukan sesuatu bagi kebaikan bersama.

***