Kolam teknologi telah mengalienasi atau mengasingkan setiap orang dari dirinya sendiri, sesamanya, alamnya dan lingkungan di mana ia berdomisili. Jika saya berkaca dari sudut pandang Karl Marx.
Krisis terbesar zaman digital adalah kehilangan akal sehat (Common Sense) yang melanda setiap orang. Termasuk mereka yang mengangungkan bidang Teologi.
Penyebab dari krisis identitas adalah kehilangan kepercayaan di ruang publik. Akibatnya banyak jalan yang harus dilalui oleh nabi-nabi palsu untuk menarik kembali massa yang sudah mulai meninggalkan mereka.
Faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpercayaan massa terhadap nabi palsu?
Pertama; Cara hidup seorang nabi sudah melenceng dari ardas (arah dasar) iman Teologi itu sendiri.
Kedua; Tidak ada kebenaran di luar dirinya
• Penyebab pertama berkaitan erat dengan tupoksi (tugas dan fungsi pokok) seorang nabi itu adalah melayani. Bukan mengurusi kamar politik. Memang filsuf Plato pernah mengajarkan kepada kita bahwa kita semua berhak untuk mengganggu pemimpin di dalam ruang publik.
Tujuan kita ikut ambil bagian dalam urusan politik itu harus sesuai dengan waktunya. Karena segala sesuatu yang ada di bumi ini ada waktunya. Di mana ada waktu kita dilahirkan, dan berakhir pada kematian. Di antara kelahiran dan kematian ada pilihan.
Seorang nabi bertugas untuk merangkul semua orang, tanpa memandang latar belakang apa pun. Anehnya, di negara kita, mimbar dijadikan sebagai ajang propaganda urusan duniawi.
Nilai-nilai dasar Teologi itu berkaitan dengan cinta universal. Universal berarti setiap orang berhak diperlakukan sama dalam bidang apa pun. Bukan sebaliknya seorang nabi berperan sebagai provokator dalam menggalang dukungan hanya untuk memuaskan dahaganya.
Penyebab kedua berkaitan erat dengan pengetahuan tentang diri sendiri. Mengetahui diri berarti mengetahui kelebihan dan kekurangan orang lain.
Nabi-nabi di republik ini kebanyakan hidup dalam dunia gua. Mereka mengira di luar gua tidak ada kebaikan.
Fanatik untuk sesuatu yang tak pernah kelihatan adalah kesalahan terbesar di era digital. Sementara, yang kelihatan tak dirangkul, disayangi dan diperlakukan sebagai seorang manusia yang utuh. Aneh tapi nyata dalam keseharian kita.
Di manakah letak common sense nabi-nabi palsu zaman digital?
Entahlah, saya pun tidak tahu letaknya. Rasanya absurd, ketika seorang nabi mencari sesuatu yang tak pernah kelihatan. Jika filsuf eksistensialisme Alber Camus masih hidup, ia akan menamakan nabi-nabi palsu sebagai orang yang termasuk bunuh diri filosofikal. Artinya, separuh hidup mereka dihabiskan untuk mencari sesuatu yang tidak pernah kelihatan.
Teologi itu adalah urusan privat setiap orang dengan Sang Pencipta. Justru yang perlu kita hidupi adalah nilai-nilai Teologi itu sendiri.
Teologi itu bukan melulu bicara tentang Sang pencipta. Namun lebih daripada itu adalah etika dan norma untuk menjalani kehidupan bersama di tengah budaya dan kepercayaan lain.
Apa boleh buat, jika aktor-aktor Teologi menodai hakekat Teologi itu sendiri! Inilah kehilangan common sense nabi palsu di tengah kolam teknologi.
Kolam teknologi telah mengalienasi atau mengasingkan setiap orang dari dirinya sendiri, sesamanya, alamnya dan lingkungan di mana ia berdomisili. Jika saya berkaca dari sudut pandang Karl Marx.
Kemarin kita merayakan Hari Pancasila. Pertanyaan reflektif untuk kita semua, apa itu Pancasila?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu setiap orang memiliki pendapatnya tersendiri. Yang terpenting kita melestarikan nilai-nilai luhur dari para Founder Fathers bangsa tercinta yang sangat toleran dalam memperjuangkan kesetaraan, keadilan, kebebasan berpendapat, beribadah sesuai iman kepercayaannya dengan bebas dan bertanggung jawab.
Jangan sampai hanya karena ambisi dan kehilangan akal sehat (Common Sense) nabi palsu di republik ini, memicu konflik berdarah seperti di Timur Tengah. Untuk itu, setiap orang harus berpegang teguh pada semangat Bhineka Tunggal Ika.
Timor, 2/6/2021
Frederikus Suni, Generasi perbatasan RI-Timor Leste
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews