Bagi Sukarno yang revolusioner, tak ada kamus kembali ke masa lampau. Pemahaman kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.
“Sayang sekali, sebab umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidak selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Al-Quran dan Sunnah itu. Dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap,” demikian Sukarno (1901 – 1970) dalam salah satu pemikirannya.
Sukarno menganggap konflik sektarian yang terjadi, karena orang-orang tidak mampu memahami hal tersebut. Sehingga ada beberapa orang merasa memikul kewajiban sebagai penjaga sunnah, mudah tersinggung dengan pendapat orang lain, begitu pun sebaliknya.
Sukarno bukanlah orang yang terlalu tekstual dalam menilai alquran dan alhadis. Ia berusaha mengontekstualisasikan dengan realitas kehidupan di masanya. Namun ia juga sangat meyakini perlu memaknai kembali ayat-ayat alquran dan hadis-hadis yang diucapkan pada abad ketujuh Masehi dengan realitas kehidupan masa kini.
Mengubah ‘bunyi’ ayat-ayat alquran, kemudian mengubah maknanya? Bukan begitu Mbambang. Ini lebih pada konteks tafsir alias penerjemahannya. Bagi Sukarno, masyarakat selalu berubah, berevolusi. Karena itu perlu dilakukan kontekstualisasi ajaran agama.
Konflik sektarian saat ini rawan sekali terjadi. Masing-masing mengklaim pendapat dan kelompoknya paling benar dalam memahami. Sehingga tak ayal banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Sehingga ada vonis diluar pengadilan, yang sering diteriakkan.
Sukarno mengakses pemikiran-pemikiran kaum pembaharu Islam, terutama dari Mesir. Karena itu ia selalu mengrikitik keras tradisi taqlid yang berkembang di kalangan kaum bermazhab sebagai penyebab utama kejumudan dan kemunduran islam.
Pembeda antara kaum modernis Islam Indonesia yang berkembang pada saat Bung Karno, sang proklamator itu sama sekali tak tertarik dengan pembersihan dari segala takhayul dan bid’ah. Ia dengan semangat melancarkan kritik sekeras kritiknya terhadap kaum bermazhab, terhadap ketertutupan penafsiran Al-Qur’an, hadis, dan idealisasi masa lalu (zaman nabi dan empat khalifah penggantinya).
Hal ini mirip seperti kritik modern terhadap serangan orang Arab yang tetap menggunakan masa lalu.
Dalam buku Bung Karno dan kehidupan Berfikir dalam Islam (Sholihin Salam), Sukarno menyatakan bahwa “Islam harus mengejar ketertinggalan seribu tahun, bukan kembali ke masa lampau, bukan kembali ke zaman khalifah”.
Dari konteks ini terlihat dan tampak Bung Karno menangkap Islam sebagai semangat, bukan Islamnya itu sendiri. Pemahaman Bung Karno kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, tidak sama dengan kaum modernis Islam.
Bagi Sukarno yang revolusioner, tak ada kamus kembali ke masa lampau. Pemahaman kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Juga bukan dengan kembali “ke zaman nabi dan empat khalifah penggantinya”. Sukarno lebih menafsir Islam sebagai semangat dan jiwa pembangunan kualitas kemanusiaan.
“Islam harus mengejar ketertinggalan 1000 tahun, bukan kembali ke masa lampau, bukan kembali ke zaman khilafah,” tulis Bung Karno yang sering disembunyikan sebagai salah satu pemikir Islam dari Indonesia. |
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews