Bung Karno, Bukan Kembali ke Zaman Khilafah

Bagi Sukarno yang revolusioner, tak ada kamus kembali ke masa lampau. Pemahaman kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Rabu, 7 April 2021 | 06:48 WIB
0
210
Bung Karno, Bukan Kembali ke Zaman Khilafah
Soekarno (Foto: tribunnews.com)com)

 “Sayang sekali, sebab umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidak selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Al-Quran dan Sunnah itu. Dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap,” demikian Sukarno (1901 – 1970) dalam salah satu pemikirannya.

Sukarno menganggap konflik sektarian yang terjadi, karena orang-orang tidak mampu memahami hal tersebut. Sehingga ada beberapa orang merasa memikul kewajiban sebagai penjaga sunnah, mudah tersinggung dengan pendapat orang lain, begitu pun sebaliknya.

Sukarno bukanlah orang yang terlalu tekstual dalam menilai alquran dan alhadis. Ia berusaha mengontekstualisasikan dengan realitas kehidupan di masanya. Namun ia juga sangat meyakini perlu memaknai kembali ayat-ayat alquran dan hadis-hadis yang diucapkan pada abad ketujuh Masehi dengan realitas kehidupan masa kini. 

Mengubah ‘bunyi’ ayat-ayat alquran, kemudian mengubah maknanya? Bukan begitu Mbambang. Ini lebih pada konteks tafsir alias penerjemahannya. Bagi Sukarno, masyarakat selalu berubah, berevolusi. Karena itu perlu dilakukan kontekstualisasi ajaran agama.

Konflik sektarian saat ini rawan sekali terjadi. Masing-masing mengklaim pendapat dan kelompoknya paling benar dalam memahami. Sehingga tak ayal banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Sehingga ada vonis diluar pengadilan, yang sering diteriakkan. 

Sukarno mengakses pemikiran-pemikiran kaum pembaharu Islam, terutama dari Mesir. Karena itu ia selalu mengrikitik keras tradisi taqlid yang berkembang di kalangan kaum bermazhab sebagai penyebab utama kejumudan dan kemunduran islam.

Pembeda antara kaum modernis Islam Indonesia yang berkembang pada saat Bung Karno, sang proklamator itu sama sekali tak tertarik dengan pembersihan dari segala takhayul dan bid’ah. Ia dengan semangat melancarkan kritik sekeras kritiknya terhadap kaum bermazhab, terhadap ketertutupan penafsiran Al-Qur’an, hadis, dan idealisasi masa lalu (zaman nabi dan empat khalifah penggantinya).

Hal ini mirip seperti kritik modern terhadap serangan orang Arab yang tetap menggunakan masa lalu.

Dalam buku Bung Karno dan kehidupan Berfikir dalam Islam (Sholihin Salam), Sukarno menyatakan bahwa “Islam harus mengejar ketertinggalan seribu tahun, bukan kembali ke masa lampau, bukan kembali ke zaman khalifah”.

Dari konteks ini terlihat dan tampak Bung Karno menangkap Islam sebagai semangat, bukan Islamnya itu sendiri. Pemahaman Bung Karno kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, tidak sama dengan kaum modernis Islam. 

Bagi Sukarno yang revolusioner, tak ada kamus kembali ke masa lampau. Pemahaman kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Juga bukan dengan kembali “ke zaman nabi dan empat khalifah penggantinya”. Sukarno lebih menafsir Islam sebagai semangat dan jiwa pembangunan kualitas kemanusiaan.

“Islam harus mengejar ketertinggalan 1000 tahun, bukan kembali ke masa lampau, bukan kembali ke zaman khilafah,” tulis Bung Karno yang sering disembunyikan sebagai salah satu pemikir Islam dari Indonesia. |

@sunardianwirodono

***