Seberapa Indahkah Dunia?

Cinta dan harapan saya rasa ini adalah dua contoh tentang sesuatu yang ada di dalam diri yang akan sangat mempengaruhi cara manusia memandang dunia.

Rabu, 3 Juni 2020 | 12:50 WIB
0
265
Seberapa Indahkah Dunia?
ilustrasi pixabay

Mata bisa jadi adalah benda terindah yang dihasilkan oleh alam yang buta. Demikian kalimat pembuka yang saya kutip dari sebuah artikel Feature National Geographic Indonesia berjudul ‘Melihat Cahaya’ yang tayang pada februari tahun ini. 

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca sebuah kisah dari sebuah buku berjudul ‘kecerdasan emosi dan spiritual’ yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian, kurang lebih begini ceritanya.

Ada seorang ayah dan anak yang menjadi tawanan perang, Mereka di kurung dalam sebuah bilik kumuh yang telah berlubang lubang, tiap hari satu persatu dari tawanan tersebut dieksekusi mati satu demi satu.Karena cukup lama dalam tahanan, tak pelak hal itu mulai menimbulkan rasa takut dan cemas pada diri si anak. 

Sang ayah mulai melihat gelagat kecemasan pada diri anaknya pun tak tinggal diam.Ini adalah sebuah permainan, kata sang ayah meyakinkan anaknya. Kamu lihat Tank yang ada disana? tanya si ayah sembari menunjuk ke arah Tank dan mengintip dari lubang pada bilik itu.

Si anak turut mengintip lalu merunduk tanda mengerti. Setiap orang yang dibawa keluar dari tempat ini berarti terpilih sebagai juara karena keberanian mereka, dan akan mendapatkan TANK itu, sang ayah menjelaskan. Si anak menunduk lalu tersenyum mengerti. Sontak semua rasa takutnya sirna.

Siapa sangka keesokan harinya si ayah tersebut di bawa keluar dari bilik tawanan. Si anak senang karena mengetahui bahwa si ayah terpilih sebagai juara dan berhak mendapatkan sebuah TANK. 

Sang ayah lesu, takut, lalu memeluk anaknya.Begitu diluar bilik sang ayah tak kuasa menahan takutnya, namun karena menyadari bahwa anaknya sedang melihatnya dari lubang di bilik, maka dia langsung membusungkan dadanya, menegapkan tubuhnya, lalu berjalan dengan hentakan kaki penuh semangat.

Tentu kita tahu bahwa cerita di atas hanyalah rekaan sang ayah untuk membuat anaknya tidak takut. Namun kita sebagai pembaca pasti tahu kemana sang ayah akan berakhir. 

Cara sang ayah menanamkan sebuah kisah pada diri sang anak ternyata mampu mengubah perasaan dan respon si anak terhadap peristiwa yang di alami dan di lihatnya. Bayangkan jika si ayah tidak berbohong pada si anak, tentu si anak akan menangis, menjerit, meronta ronta melihat ayahnya digiring keluar bilik. 

Namun dengan cerita yang di tanamkan si ayah, si anak dengan tersenyum dan hati gembira si anak melihat kepergian ayahnya dengan penuh suka cita. Horeee ayah saya juara, dapat TANK begitulah mungkin yang ada dalam pikiran si anak.

Kisah sederhana ini membuktikan bahwa apa yang kita percayai atau kita yakini akan mempengaruhi apa yang kita lihat, atau setidaknya mempengaruhi cara kita melihat sesuatu. 

Hal inilah yang ingin saya ceritakan dari sebuah lagu yang sangat populer berjudul ‘What A Wonderful World’.Lagu ini cukup banyak versinya, yang dinyanyikan oleh Louis Armstrong, Katie Melua dan berbagai penyanyi top lainya. 

Sangkin populernya lagu ini sampai ada yang mengatakan; Di generasi manapun anda lahir, kecuali anda tinggal dalam gua,pasti anda mengenal komposisi dan jazz klasik yang satu ini.

Kalau anda tak tahu berarti anda selama ini tinggal di gua haha.

I see trees of green, red roses, too
I see them bloom, for me and you
And I think to my self what a wonderful world

Kulihat pepohonan nan hijau, juga mawar mawar merah, kulihat itu semua bermekaran, untuku dan untuk mu, lalu kumerenung betapa indahnya dunia. 

Demikian bait pertama lagu tersebut.Siapa sih yang tak pernah melihat pohon yang hijau? Memang semua pohon hijau toh.Siapa yang tak pernah melihat mawar berwarna merah, saya rasa semua orang pernah melihatnya. Nggak ada yang spesial!

I see skies of blue, and clouds of white
The bright blessed day, the day sacred night
And I think to my self what a wonderfull world

Kulihat langit biru dan awan putih berarak, siang cerah penuh anugerah, malam gelap nan suci dan kumerenung, betapa indahnya dunia. 

Siapa perduli, langit memang biru awan ya memang putih, siapa perduli? biasa aja tuh tiada indah indahnya. Mungkin sebagian dari kita berpikir demikian.

Atas peristiwa sederhana seperti yang dikatakan dalam liriknya di atas, kok berani beraninya Bob Thiele dan George David Weiss menyimpulkan betapa indahnya dunia ini saat mereka menciptakan lagu tersebut.

Atau bagaimana mungkin Louis Armstrong dapat menghayati keindahan dunia hanya dengan menyanyikan lagu dengan lirik; awan, pohon, mawar, piuhh bukankah hal itu sesuatu yang amat biasa dipandang mata?

Sedikit sejarah, lagu ini diciptakan saat iklim politik dan kehidupan sehari hari di Amerika Serikat sedang keruh, penuh kebencian dan prasangka rasialisme. Lagu ini diciptakan dengan maksud mengembalikan harapan akan hidup yang lebih baik, harmonis, damai dan indah. 

Sang pencipta lagu sedang berkhayal akan sebuah dunia fantasi yang sempurna dimana hanya ada cinta disekeliling kita. Mari fokus pada dua hal: Kata merenung yang termaktub pada liriknya dan pekerjaan apakah merenung itu? Merenung adalah proses yang terjadi di dalam diri manusia.

Seperti kisah elang yang terbang begitu cepat dan kura kura yang sangat lambat jalanya. Si elang dapat sampai dimanapun dengan cepat namun dia melewatkan banyak hal, berbeda dengan kura kura yang lambat namun dapat mengamati dan menikmati dengan seksama hal hal disekelilingnya.

Warna warni pelangi begitu indah dilangit, juga di wajah wajah orang yang kian kemari, kulihat sesama teman berjabat tangan dan berkata bagaimana kabarmu?,mereka benar benar berkata aku cinta kamu. Kudengar bayi bayi menangis, kulihat mereka tumbuh, mereka akan belajar jauh lebih banyak dari pada yang aku tahu, dan kumerenung, betapa indahnya dunia, ya kumerenung betapa indahnya dunia…

Demikianlah lirik penutup lagu tersebut. Pohon, Mawar, pelangi, Tangisan bayi; semuanya sangat indah untuk orang yang sedang jatuh cinta, lalu bagaimana dengan orang yang sedang berduka cita? 

Saya rasa semua itu bukan hanya hal biasa, namun telah menjadi hal gelap karena bagi orang yang hatinya sedang kacau balau apapun terasa buruk, seolah dunia hancur di bombardir Alien.

Dari lagu ini kita dapat belajar bukan soal apa yang ada di luar diri, melainkan sesuatu yang ada di dalam diri manusia itulah yang membuat sesuatu terlihat indah. 

Sama seperti saat mata Bob Thiele dan George David Weiss melihat hal hal sederhana dalam kehidupan masyarakat Amerika kala itu, kalau kebencian, rasialisme dan prasangka hilang maka pohon, bunga, air, bayi, jabatan tangan apapun itu akan terasa indah asalkan saja ada cinta yang melingkupinya. 

Tak beda dengan sang anak dalam kisah di atas saat dia memandang ayahnya dengan harapan akan mendapatkan hadiah sebuah Tank karena berhasil menjadi juara. 

Cinta dan harapan saya rasa ini adalah dua contoh tentang sesuatu yang ada di dalam diri yang akan sangat mempengaruhi cara manusia memandang dunia.

Masihkah dunia ini indah ? Jika tidak mari kita cek hati kita masing masing.

Boleh setuju boleh tidak

penikmat yang bukan pakar.

***