Ketika Rumput Tetangga (Tidak) Terlihat Lebih Hijau

Barangkali sikap mengejek atau saling mencela negara lain ini justru mekanisme pertahanan diri untuk merasa lebih baik di tengah wabah.

Kamis, 21 Mei 2020 | 06:05 WIB
0
377
Ketika Rumput Tetangga (Tidak) Terlihat Lebih Hijau
Ilustrasi rumput tetangga (Foto: IDN Times)

Saya sering mendengar ungkapan “rumput tetangga lebih hijau”. Tetapi hal ini ternyata tidak selalu berlaku di tengah pandemi covid-19. Ada sih… tapi sering juga berlaku kebalikannya. Dan efeknya ternyata sesekali membuat gesekan antara satu sama lain.

Di mana–mana, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia kondisi TIDAK sedang baik–baik saja. Ini harus diakui dulu. Sedangkan sikap percaya bahwa penanganan covid-19 di tempat di mana dia tinggal sudah okay, tentu saja baik sekali. Akan tetapi sikap percaya diri ini menjadi menjengkelkan ketika malah difokuskan untuk mengejek atau mentertawai negara lainnya. Hal ini terjadi 2 arah, baik antara WNI yang tinggal di Indonesia maupun WNI yang tinggal di luar Indonesia.

Sangat dipahami ketika orang–orang yang tinggal di Indonesia jadi marah ketika ada WNI yang tinggal di luar negeri bilang di Indonesia sedang terjadi “genosida” karena penanganan wabah dianggap kurang serius. Padahal orang–orang yang tinggal di Indonesia, yang merasakan sendiri, tahu betul kalau kondisi tidak seburuk itu.

Baca Juga: Menghadapi Covid-19, Tribute kepada Presiden Jokowi

Sebaliknya, wajar juga ketika ada WNI yang tinggal di Italia protes karena kasus penjarahan yang terjadi sekali di Sicilia, digambarkan di medsos Indonesia, seakan–akan seluruh negeri Italia kacau gara–gara lockdown. Belum hoax yang beredar tentang konon orang–orang di Italia menyobek-nyobek uangnya. Yang mana kalau orang yang pernah berkunjung ke Italia, pasti tahu kalau penampakan kota di mana uang dibuang–buang itu BUKAN kota Italia.

Atau kasus lain tentang Amerika Serikat. Iya betul kalau saat ini pusat wabah sedang berada di Amerika. Tapi kalau posting sesuatu dengan narasi mengejek, padahal tidak tahu kondisi asli di sana seperti apa, apa dasar orang–orang di sana berpendirian demikian, maka jangan kaget kalau tiba – tiba ditegur oleh WNI yang tinggal di Amerika.

Strategi tiap negara dalam mengatasi wabah ini beda–beda. Termasuk juga dalam konsep dan system pencatatan korban. Ada yang jujur sampai over reported dan pemerintahnya tampil “gloomy” all the time, supaya rakyat memandang serius wabah yang ada. Tapi ada juga negara yang focus menyampaikan “berita positif”, meski ada laporan WNI di sana sampai memohon–mohon dipulangkan ke Indonesia, karena telpon rumah sakit tidak ditangani.

Jadi harus hati–hati membandingkan kondisi tiap negara, dan tidak elok juga mencela negara lain sebagai lebih buruk daripada negara tempat dia tinggal.

Dalam bayangan saya, sepertinya WNI di luar negeri ada yang melihat Indonesia dalam kondisi kritis, calon jadi pusat wabah baru. Sebaliknya yang tinggal di Indonesia ada yang membayangkan di luar negeri situasinya horror sekali. Maut ada di jalan–jalan, orang bisa tiba–tiba ndlosor dan meninggal atau dirampok karena orang kelaparan.

Padahal, biarpun ada PSBB ada lockdown, yang menjalani sendiri tahu, kondisi tidak separah itu. Saya sendiri, karena info dari Pemerintah cukup detail, meski angka korban tinggi tapi saya tahu, kalau saya sakit, masih ada tersedia banyak bed di rumah sakit di negeri ini untuk merawat saya.

Barangkali sikap mengejek atau saling mencela negara lain ini justru mekanisme pertahanan diri untuk merasa lebih baik di tengah wabah. Di dalam hatinya, sebagian orang sebetulnya merasa insecure, merasa sangat ketakutan akan dampak wabah terhadap hidupnya. Sehingga supaya tidak terlalu merasa buruk, mencari kenyamanan dengan mentertawai kondisi negara lain.

Rumput tetangga terlihat kering semua, padahal rumput di halaman sendiri berwarna kuning kecoklatan juga.

***