Tak Bisa Pindah

Bagi yang tidak setuju, lemparan tudingannya sangat aneka, meski gampang ditebak. Sampai pun menuding Jokowi memindah ibukota berdasar wangsit.

Kamis, 29 Agustus 2019 | 21:58 WIB
0
310
Tak Bisa Pindah
Ilustrasi batu (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Pindah itu berat. Baik bagi Fadli maupun Tengkuzul, dan manusia sejenisnya itu. Apalagi jika ngomong kemelekatan atau memory collective. Maka tak ada mantra lain kecuali ngajogrog di sini, sampai mati.

Perubahan memang hanya milik pemberani. Bagi penganut kemelekatan, apalagi di sana terdapat comfortable zone bagi dirinya, pindah itu buerat suekali. Pindah dari buruk ke baik. Dari korupsi ke amanah. Dari males ke kerja-kerja-kerja.

Dengan keyakinan parlemen berasal dari kata parle (artinya bicara), Fadli lebih suka bicara-bicara-bicara. DPR adalah lembaga negara yang paling tak meyakinkan sebagai perwakilan rakyat. Mereka justeru menjadi ambtenar baru dengan mentalitas korup. Tidak semua? Tentu. Namun reputasi DPR, di mana ia salah satu ketuanya, memang hanya pandai bicara. Target 50 hingga 70 RUU, tak lebih dari 10 biji dalam 10 tahun.

Pindah ibukota, yang paling mulus, hanya terjadi di jaman Perang Kemerdekaan, ketika Ibukota Negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta (1946-1949). Begitu juga sebaliknya, dari Yogyakarta ke Jakarta. Hanya karena kesepakatan bersama.

Tetapi sekarang, betapa sulitnya ‘hanya’ kesepakatan bersama itu. Yang sudah nanem investasi gede-gedean di Jakarta, pasti pusing membayangkan bisnisnya jeblok. Belum lagi kaum demontrans, yang konon kabarnya lebih dari 13 juta di Jakarta. Kalau mau demo ke Istana Presiden, repot jika mesti ke Kalimantan. Bukan lagi cuma uang bensin dan nasbung, tapi tiket pesawat atau kapal api pula! Yang terbiasa dengan ekonomi proyek, nangis mellow membayangkan lalu-lintas duit di Jakarta turun drastis. Makanya mereka meradang.

Sementara di Ibukota baru, di mana gedung fasilitas umum terpisah dari pemukiman, tidak strategis untuk demo bakar-bakaran. Belum pula jika kota baru itu ditata dengan teknologi digital. Sebuah smart city yang futuristic, yang akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang bawa bom molotov, pedang, botol wisky atau kitab suci.

Bagi yang tidak setuju, lemparan tudingannya sangat aneka, meski gampang ditebak. Sampai pun menuding Jokowi memindah ibukota berdasar wangsit. Bekas Dirut PLN Dahlan Iskan yang konon nggak mau nulis politik pun, ketahuan sakit hatinya, dengan menyindir Jokowi tak peduli kesulitan teknis para menteri untuk gagasan besarnya.

Tapi, tentu, yang paling konyol; keberatan warga Jakarta, yang tak mau pindah ke Kalimantan. Lho, emangnya pindah ibukota disertai kepindahan warga Jakarta? Mungkin itu datang dari 58% pemilih Anies Baswedan, yang juga sama-sama baper ketika Ibukota pindah. Mereka tak mau tahu, mengapa New York, Bonn, Naples, Venice, Dresden, Perth, Palermo, Turin, Heidelberg, Parma, Rio de Janeiro, Kuala Lumpur, tetap menjadi pesona dunia, justeru karena sejarah atau memori collective-nya.

Tapi mungkin, sebab paling utama, kita masing-masing lebih suka berbicara atas kepentingan sendiri dan kelompok kepentingannya. Tak terlatih untuk melihat lebih jauh, dengan proyeksi dan hitung-hitungan masa depan. Apalagi kalau preferensi yang dipakai adalah kebiasaan-kebiasaan orba Soeharto. Bangsa yang tak memiliki proyeksi. Mengaku priyayi, bukan pekerja, bermental broker.

Yang paling tragis itu, jaman berubah, cara pandang kita tidak. Moralitas diam-diam berubah, tapi cara berfikir tidak.

***