Bagi yang tidak setuju, lemparan tudingannya sangat aneka, meski gampang ditebak. Sampai pun menuding Jokowi memindah ibukota berdasar wangsit.
Pindah itu berat. Baik bagi Fadli maupun Tengkuzul, dan manusia sejenisnya itu. Apalagi jika ngomong kemelekatan atau memory collective. Maka tak ada mantra lain kecuali ngajogrog di sini, sampai mati.
Perubahan memang hanya milik pemberani. Bagi penganut kemelekatan, apalagi di sana terdapat comfortable zone bagi dirinya, pindah itu buerat suekali. Pindah dari buruk ke baik. Dari korupsi ke amanah. Dari males ke kerja-kerja-kerja.
Dengan keyakinan parlemen berasal dari kata parle (artinya bicara), Fadli lebih suka bicara-bicara-bicara. DPR adalah lembaga negara yang paling tak meyakinkan sebagai perwakilan rakyat. Mereka justeru menjadi ambtenar baru dengan mentalitas korup. Tidak semua? Tentu. Namun reputasi DPR, di mana ia salah satu ketuanya, memang hanya pandai bicara. Target 50 hingga 70 RUU, tak lebih dari 10 biji dalam 10 tahun.
Pindah ibukota, yang paling mulus, hanya terjadi di jaman Perang Kemerdekaan, ketika Ibukota Negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta (1946-1949). Begitu juga sebaliknya, dari Yogyakarta ke Jakarta. Hanya karena kesepakatan bersama.
Tetapi sekarang, betapa sulitnya ‘hanya’ kesepakatan bersama itu. Yang sudah nanem investasi gede-gedean di Jakarta, pasti pusing membayangkan bisnisnya jeblok. Belum lagi kaum demontrans, yang konon kabarnya lebih dari 13 juta di Jakarta. Kalau mau demo ke Istana Presiden, repot jika mesti ke Kalimantan. Bukan lagi cuma uang bensin dan nasbung, tapi tiket pesawat atau kapal api pula! Yang terbiasa dengan ekonomi proyek, nangis mellow membayangkan lalu-lintas duit di Jakarta turun drastis. Makanya mereka meradang.
Sementara di Ibukota baru, di mana gedung fasilitas umum terpisah dari pemukiman, tidak strategis untuk demo bakar-bakaran. Belum pula jika kota baru itu ditata dengan teknologi digital. Sebuah smart city yang futuristic, yang akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang bawa bom molotov, pedang, botol wisky atau kitab suci.
Bagi yang tidak setuju, lemparan tudingannya sangat aneka, meski gampang ditebak. Sampai pun menuding Jokowi memindah ibukota berdasar wangsit. Bekas Dirut PLN Dahlan Iskan yang konon nggak mau nulis politik pun, ketahuan sakit hatinya, dengan menyindir Jokowi tak peduli kesulitan teknis para menteri untuk gagasan besarnya.
Tapi, tentu, yang paling konyol; keberatan warga Jakarta, yang tak mau pindah ke Kalimantan. Lho, emangnya pindah ibukota disertai kepindahan warga Jakarta? Mungkin itu datang dari 58% pemilih Anies Baswedan, yang juga sama-sama baper ketika Ibukota pindah. Mereka tak mau tahu, mengapa New York, Bonn, Naples, Venice, Dresden, Perth, Palermo, Turin, Heidelberg, Parma, Rio de Janeiro, Kuala Lumpur, tetap menjadi pesona dunia, justeru karena sejarah atau memori collective-nya.
Tapi mungkin, sebab paling utama, kita masing-masing lebih suka berbicara atas kepentingan sendiri dan kelompok kepentingannya. Tak terlatih untuk melihat lebih jauh, dengan proyeksi dan hitung-hitungan masa depan. Apalagi kalau preferensi yang dipakai adalah kebiasaan-kebiasaan orba Soeharto. Bangsa yang tak memiliki proyeksi. Mengaku priyayi, bukan pekerja, bermental broker.
Yang paling tragis itu, jaman berubah, cara pandang kita tidak. Moralitas diam-diam berubah, tapi cara berfikir tidak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews