Pojok Perpustakaan Perguruan Tinggi, Ruang Alternatif yang Membangun Literasi Kritis dan Humanis

Senin, 2 Juni 2025 | 14:08 WIB
0
1
Pojok Perpustakaan Perguruan Tinggi, Ruang Alternatif yang Membangun Literasi Kritis dan Humanis
Hakekat perjalanan hidub

Di era transformasi digital dan mobilitas informasi yang sangat cepat, tantangan terbesar perguruan tinggi bukan lagi sekadar menyediakan akses terhadap pengetahuan, tetapi juga bagaimana menciptakan ruang-ruang yang mampu membentuk kebiasaan literasi yang sehat, mendalam, dan relevan dengan kebutuhan mahasiswa masa kini. Dalam konteks ini, Pojok Perpustakaan di lingkungan kampus hadir sebagai salah satu inovasi yang patut diapresiasi sebuah ruang kecil yang sarat makna, yang membuka kemungkinan besar dalam menghidupkan kembali budaya membaca dan berpikir kritis.

Reinterpretasi Fungsi Perpustakaan
Secara historis, perpustakaan perguruan tinggi dibangun sebagai institusi pengetahuan yang berfokus pada kelengkapan sumber referensi akademik. Namun, dalam praktiknya, tidak semua mahasiswa merasa dekat dengan perpustakaan. Banyak yang merasa ruang itu terlalu formal, eksklusif, dan hanya relevan saat menjelang ujian atau saat menyusun skripsi. Hal ini menciptakan jarak antara mahasiswa dengan literasi akademik.

Dalam perspektif ini, Pojok Perpustakaan muncul sebagai pendekatan baru dalam merekonstruksi relasi antara mahasiswa dan perpustakaan. Dengan nuansa yang lebih santai, terbuka, dan inklusif, pojok ini berfungsi sebagai jembatan antara dunia akademik yang formal dan kebutuhan emosional serta sosial mahasiswa sebagai manusia pembelajar.

Ruang Inklusif untuk Semua
Yang menarik dari Pojok Perpustakaan adalah sifatnya yang inklusif. Tidak hanya ditujukan untuk mahasiswa dengan minat akademik tinggi, tetapi juga mereka yang memiliki minat membaca populer, karya sastra, buku pengembangan diri, hingga literatur budaya. Dengan demikian, pojok ini menjadi ruang yang merayakan keberagaman cara belajar dan pendekatan berpikir.

Pojok ini juga dapat menjadi tempat interaksi sosial yang sehat—bukan hanya ruang hening, tetapi tempat diskusi ringan, sesi baca bersama, atau kegiatan literasi kreatif seperti bedah buku dan pelatihan menulis. Dalam konteks ini, pojok perpustakaan berperan sebagai katalisator budaya akademik yang lebih dialogis dan kolaboratif.

Penguatan Literasi Kritis dan Emosional
Dari sudut pandang psikopedagogi, Pojok Perpustakaan mendukung pengembangan literasi kritis dan literasi emosional mahasiswa. Di tengah tekanan akademik yang tinggi, mahasiswa memerlukan ruang yang memberi kenyamanan tanpa kehilangan nuansa intelektual. Buku-buku yang dipilih secara tematik dan kontekstual—misalnya terkait isu sosial, keberagaman, atau lingkungan hidup—dapat merangsang kesadaran sosial mahasiswa dan memperluas horizon berpikir mereka di luar batas disiplin ilmu formal.

Lebih dari itu, ruang ini juga memberi kesempatan untuk merenung, berefleksi, dan menyusun ulang gagasan. Ia menjadi tempat di mana mahasiswa belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai, tetapi untuk menjadi pribadi yang utuh, kritis, dan berdaya.

Tantangan dan Harapan
Namun, tentu saja keberadaan Pojok Perpustakaan tidak bisa dipisahkan dari tantangan. Tantangan pertama adalah bagaimana perguruan tinggi dapat merancang dan mengelola ruang ini secara serius—bukan sekadar ruang estetis yang hanya bagus di foto, melainkan ruang yang benar-benar hidup dan fungsional. Koleksi buku harus dikurasi dengan baik, desain interior perlu dirancang dengan memperhatikan kenyamanan dan aksesibilitas, serta program-program literasi harus dirancang secara berkala dan terintegrasi dengan aktivitas akademik mahasiswa.

Kedua, dukungan dari semua pihak sangat penting. Dosen, pustakawan, mahasiswa, dan bahkan lembaga kemahasiswaan perlu dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengembangan pojok perpustakaan. Tanpa kolaborasi tersebut, pojok ini hanya akan menjadi ruang kosong yang kehilangan makna.

Ruang Kecil, Visi Besar
Pada akhirnya, Pojok Perpustakaan di Perguruan Tinggi bukan hanya tentang buku dan furnitur. Ia adalah representasi dari komitmen institusi pendidikan dalam menciptakan ekosistem literasi yang holistik—yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter, rasa ingin tahu, dan semangat pembelajaran sepanjang hayat.

Di tengah dinamika zaman yang semakin kompleks, ruang-ruang seperti ini menjadi sangat penting. Ia menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati tidak hanya dibangun dari ruang-ruang kuliah dan laboratorium, tetapi juga dari sudut-sudut kecil yang memberi ruang bagi manusia untuk membaca, berpikir, dan tumbuh dengan damai.