Saya 94 Tahun, di Kursi Roda, tapi Masih Bisa 'Munggah'

Kalau sudah masuk ke Ponpes itu, artinya sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada ajaran komunitas ekslusif mereka. Pimpinannya bebas untuk "mengawini" santri-satri yang disukainya,

Jumat, 8 Juli 2022 | 06:35 WIB
0
220
Saya 94 Tahun, di Kursi Roda, tapi Masih Bisa 'Munggah'
Kiai Mochtar, ayah terduga pencabulan terhadap santriwati Moch Subhi Azal Tsani (MSAT) yang sempat DPO dan kini sudah diciduk polisi (Foto: TVOnenews.com)

"Saya 94 Tahun, di Kursi Roda, tapi Masih Bisa 'Munggah'. Paham ya arti munggah/naik, 18++."

Demikian kata pimpinan Ponpes di satu ceramahnya, sambil sebelumnya mengumbar konflik keluarganya antara istri pertama dan keduanya, dengan nyebut istri pertama dan anak-anaknya sebagai 'mantan istri' dan 'mantan anak' (mantan anak?)

Haiya pantes kalau bapaknya bisa sampai segitunya dalam rangka melindungi anaknya yang DPO kasus kejahatan seksual, wong adab bapaknya saja seperti itu, doyan ngomong 'saru' pula..

Jadi kalau bapak dan anak ini menganggap kasus-kasus yang dilaporkan para korban, bukan sebagai kejahatan seksual, karena tarekat kepercayaan mereka seperti itu.

Kalau sudah masuk ke Ponpes itu, artinya sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada ajaran komunitas ekslusif mereka. Pimpinannya bebas untuk "mengawini" santri-satri yang disukainya,

Siapa saja yang melawan dawuh kyai, akan dikeluarkan dari komunitas dan diberi label "gerombolan". Mending kalau hanya sekedar dikeluarkan, ternyata sampai dihancurkan kehidupannya juga, fisik, mental, termasuk kehidupan ekonominya, dengan ancaman fisik, perundungan, hasutan, propaganda.

Jadi orang-orang pun tidak ada yang berani melawan karena takut nasib mereka akan seperti itu. Sampai ada orang tua korban, yang bukannya melindungi putrinya malah membela Kyainya. Karena takut.

Pola hubungan patronisasi di kehidupan masyarakat tradisional memang bisa dipahami, dia eksis dan masih ada sampai sekarang. Kita yang sudah hidup modern dalam alam demokrasi, dulunya juga lahir dan dibesarkan dalam budaya itu.

Saya juga cucu seorang Kyai, yang dulu menguasai seluruh tanah satu desa tempat tinggalnya. Penduduk yang tinggal di situ semua adalah rakyatnya (pembantu), yang bekerja untuk kakek saya. Dari mulai lahan rumah mereka, jalan umum, fasilitas publik, dll, semuanya merupakan wakaf dari keluarga kakek saya.

Jadi ada hubungan patron - klien di situ, dan menjadi pola umum dalam kehidupan masyarakat tradisional kita khususnya di Jawa.

Yang membedakan mungkin 'akhlak' dari masing-masing patron, mereka adalah pengayom dan pelindung rakyatnya atau sebaliknya seorang penindas dan pengeksploitasi, macam Kumpeni dan raja-raja jawa di jaman kolonial.

Tapi satu hal yang menjadi keheranan dan catatan saya, Pondok Pesantren adalah satu entitas pendidikan informal yang ijin operasionalnya ada di bawah kewenangan KEMENAG.

Ketika ada satu entitas pendidikan dikelola dengan pola sedemikian rupa, di mana kehadiran negara untuk melindungi orang-orang yang lemah, yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri?

Padahal kasus kejahatan seksual di dalam Ponpes ini sudah terendus sekian tahun.

Autopilot, seperti biasanya...

Apalagi ketika Menag sekarang datang dari kalangan ningrat Nahdliyin, lokasinya di Jombang pula, keterlaluan kalau tidak gercep buka mata.

Segera cabut ijinnya!

Heni Nuraini

***