Learning Lost dan Pembelajaran Jarak Jauh

Kita berharap Kemendikbud sebagai stake holder terdepan dalam pengembangan sistem pendidikan nasional lebih serius dan komitmen untuk mengembangkan sistem PJJ.

Jumat, 26 Februari 2021 | 09:36 WIB
0
483
Learning Lost dan Pembelajaran Jarak Jauh
Belajar jarak jauh (Foto: liputan6.com)

Hampir setahun pandemi covid-19 mengungkung kebebasan kita untuk berkumpul, termasuk untuk hadir dan berkumpul di sekolah. Pandemi ini tidak hanya mendisrupsi sektor ekonomi dan bisnis, tetapi semua sektor kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Termasuk sektor pendidikan.

Kebijakan pemerintah untuk belajar dari rumah (learning from home) untuk semua jenjang pendidikan berdampak pada kekhawatiran terjadinya “learning lost.” Akibat adanya hambatan peserta didik untuk memperoleh akses ke komputer dan internet, intensitas interaksi pembelajaran antara guru dan peserta didik berkurang, capaian belajar menurun.

Keadaan inilah yang dianggap paling mengganggu dari dampak pandemi terhadap sektor pendidikan. Ketidakadilan semakin meningkat, terutama bagi peserta didik dari kelompok kurang mampu untuk mendapatkan akses ke komputer dan jaringan internet, dan menghadirkan guru-guru berbakat untuk private learning di luar kelas. Jika keadaan ini dibiarkan tidak segera dicarikan solusi, ada potensi Indonesia akan kehilangan generasi emasnya (lost generation), dan mengancam bonus demografi. Kekhawatiran yang sama juga dialami di negeri Paman Sam (washingtonpost.com, 07/12/2020)

Keadaan learning lost/loss ini terlihat dari hasil survai Kemendikbud (13 November s.d. 17 Desember 2020) yang disampaikan di dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR RI (21/01/2021). Hasil survai atas persepsi para guru SD, SMP, SMA/SMP, dan Kejar Paket terhadap hasil asesmen diagnostik siswa mereka di sekolah.

Hasilnya menunjukkan 68% responden guru (dari total 11.306 responden) menyatakan bahwa lebih dari 50% siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama Belajar Dari Rumah (BDR). Untuk jenjang Pendidikan tinggi tidak ada laporan terkait learning lost di kalangan mahasiswa.

Siswa yang dipersepsi responden guru memenuhi standar kompetensi sebesar 79.4%. Artinya, diperkirakan ada 20.6% siswa inilah yang diduga mengalami learning lost paling besar dengan kebijakan BDR. Learning lost tertinggi terjadi pada siswa jenjang SMK (27,7%), SMP (23,5%), SMA (20.0%), Kejar Paket/PKBM (16,5%), dan jenjang SD (15.5%). Namun, anehnya, mayoritas (48.4%) responden guru yang disurvai menyatakan setuju dan merasa mampu mengajar secara optimal selama BDR.

Untuk memperoleh hasil evaluasi potensi learning lost lebih komprehensif dan nasional, Kemendikbud berencana menyelenggarakan Asesmen Nasional (AN) bulan September/Oktober 2021 mendatang.

Hasil survai di atas, didukung oleh temuan penelitian King (2020) bahwa sekitar 1.5 miliar (82.5%) peserta didik di seluruh penjuru dunia (156 negara) akan mengalami learning lost akibat BDR.

Simulasi skenario estimasi dampak penutupan sekolah akibat covid-19 di Indonesia yang dilakukan Bank Dunia pada perolehan rata-rata skor kemampuan membaca pada survei PISA, juga semakin meneguhkan potensi terjadinya learning lost ini. Pada skenario menengah, rata-rata siswa akan kehilangan 16 poin PISA dari estimasi positif sedangkan dari estimasi negatif siswa  bisa kehilangan 34-36 poin sebagai akibat dari penutupan sekolah / BDR.

Untuk mengatasi fenomena learning lost ini, sejumlah ikhtiar dilakukan oleh kemendikbud, seperti mengembangkan Kurikulum Darurat (emergency curriculum), Merdeka Belajar, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), penyesuaian pembelajaran tatap muka sesuai dengan zonasi pandemi (kemdikbud.go.id, 07/08/2020).

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Pro dan Kontra

Booming PJJ di masa pandemi pun mendapat sorotan kritis dari sejumlah pakar, pengamat pendidikan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Bahkan, Mas Nadiem menjustifikasi bahwa “PJJ tidak efektif”, dan memiliki dampak negatif dan permanen. PJJ mengakibatkan ancaman putus sekolah, penurunan capaian belajar, dan risiko dampak psikologis (kekerasan anak, kelelahan, stress, dll.) karena kurangnya interaksi dengan yang lain.

Sebagai sesuatu yang baru diterapkan di masa pandemi, tentu saja tak dapat dinafikan ada kendala dalam PJJ. Diantaranya adalah terkait dengan masalah kemampuan dan kesiapan guru, orang tua/masyarakat, dan peserta didik itu sendiri. Ketidaktersediaan dan ketidakmerataan akses perangkat dan jaringan internet juga menambah runyam persoalan.

Stigma bahwa PJJ tidak efektif, merusak karakter, dll. tidak semuanya benar. Apalagi, penyelenggaraan PJJ selama ini dilakukan secara mendadak, tanpa persiapan, dan dilakukan dalam situasi darurat pembelajaran tatap muka (PTM). Apa yang dilakukan selama ini, bukanlah PJJ yang sesuai dengan konsep dan pedagogi yang diakui dan dipraktikkan di kalangan pakar dan penyelenggara PJJ di Indonesia dan dunia.

"Apakah pendidikan daring efektif atau tidak, jawabannya harus jujur, memang tidak efektif. Karena ketika melakukan sesuatu yang sifatnya darurat tentu ada ketidakefektifan," ujar Dede Yusuf Wakil Ketua Komisi X DPR-RI (29/10/2020).

Menyalahkan PJJ sebagai penyebab terjadinya learning lost juga salah alamat. Seperti kata pengamat pendidikan, Indra Charismiadji (29/1/2021) ”PJJ bukan akar masalah dari terjadinya learning lost  atau kehilangan kesempatan belajar. Tetapi lebih pada mutu pendidikan kita yang memang buruk. Bahkan, sesungguhnya, learning lost di Indonesia itu sudah terjadi jauh sebelum pandemi.”

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Menguatkan Trilogi Pendidikan

Selama pandemi belum berakhir, PJJ tetap akan menjadi prioritas utama dalam pembelajaran. Hanya PJJ yang mampu mengurangi resiko penularan Covid-19 karena kontak fisik antara guru maupun siswa berkurang dan/atau tidak ada sama sekali. Konstitusi juga membolehkan penyelenggaraan PJJ untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional kita.

Yang perlu dilakukan agar PJJ bisa efektif adalah memperluas dan meningkatkan kapasitas dan ketersediaan akses perangkat dan jaringan internet secara merata. Tak kalah penting, adalah bagaimana memperkuat kemampuan dan kesiapan guru, orang tua/masyarakat, dan peserta didik itu sendiri. Bagaimanapun, pendidikan itu sejatinya merupakan tanggung jawab bersama dari komponen Trilogi Pendidikan, yaitu sekolah/guru, guru, orang tua, dan masyarakat.

Jangan sampai terjadi, orang tua dan masyarakat lepas tangan, dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada sekolah atau guru. Walaupun, diakui atau tidak, disadari atau tidak, menjamurnya pengembangan pendidikan formal melalui pendirian sekolah-sekolah di era 1970an, telah menggeser, menggerus, bahkan ‘mengkooptasi’ peran guru dan masyarakat dalam proses pendidikan.  

Untuk mendukung penguatan tersebut, kementerian atau sekolah perlu mengokohkan kembali peran orang tua, dan masyarakat dalam konsep Trilogi Pendidikan. Selain itu, perlu dikembangkan beragam sumber dan media pembelajaran yang bisa digunakan tidak hanya oleh guru dan peserta didik, tetapi juga oleh orang tua dan masyarakat. Seperti Cetak, dalam bentuk Buku Paket untuk siswa, Buku Panduan untuk guru dan orang tua, dll.. Elektronik, dalam bentuk bahan ajar digital, program pembelajaran radio dan/atau televisi, atau Computer Assisted Instruction/CAI, dll. Terkoneksi, dalam bentuk penyiapan aplikasi pembelajaran (sinkronus atau a-sinkronus), dan bahan pengayaan berbasis internet, dll.

Penguatan peran orang tua dan masyarakat, didukung oleh penggunaan beragam media pembelajaran, juga dapat mengantisipasi kebosanan dan kesendirian peserta didik selama BDR. Pemikiran “Deschooling Society” (Masyarakat Tanpa Sekolah) Ivan Illich (1972) tentang “learning web” juga bisa digunakan. Metode ini memungkinkan peserta didik mencari, menemukan teman-sebaya yang cocok, dan membangun jaringan pertemanan berbasis internet (peer-matching).

Sesuai dengan definisi PJJ sebagai modus pembelajaran yang menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain, maka ketersediaan ketiga media tersebut menjadi sangat penting bagi peserta didik. Terutama bagi orang tua dan/atau masyarakat yang akan memberikan pendampingan selama BDR.

Bagaimanapun, kehadiran orang tua dan/atau masyarakat dalam proses BDR merupakan suatu keharusan bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar. Tanpa sumber dan media pembelajaran seperti itu, PJJ merupakan suatu kemustahilan. “Tidak ada PJJ jika tidak ada sumber dan media pembelajaran yang memadai.”

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Disrupsi Pendidikan

Sejatinya, penyelenggaraan PJJ tidak hanya terbatas pada masa pandemi saja, melainkan merupakan sebuah keniscayaan di era Revolusi Industri 4.0. (RI-4.0) yang kemudian melahirkan disrupsi pendidikan dalam hal produksi dan distribusi pendidikan  Ciri-ciri penting dari RI-4.0 adalah interkonektivitas, inovasi, otomasi, dan transfer informasi melalui teknologi informasi dan komunikasi Internet (Internet of Thing atau IoT).

Baca Juga: Belajar Jarak Jauh Bukanlah Oxymoron

Inovasi terpenting di era RI-4.0 adalah pengintegrasian teknologi siber ke dalam pembelajaran melalui rekayasa teknologi, yang dikenal sebagai “Learning Management System (LMS)." Yaitu sistem pengelolaan pembelajaran online/digital berbasis Internet. Di dalam LMS, guru dan peserta didik dapat melakukan proses pembelajaran; melakukan interaksi, komunikasi, transaksi, dan kolaborasi pembelajaran antarpeserta didik, antara peserta didik dengan guru, dan antara peserta didik dengan sumber dan media pembelajaran yang tersedia secara terbuka dan gratis.

Penerapan PJJ ini mungkin oleh sebagian kalangan dipandang sebagai “disruptive innovation,” sebuah inovasi yang bisa mengganggu keberadaan sistem pembelajaran “mainstream” yaitu pembelajaran tatap muka (PTM) yang sudah sangat lama dan menjadi kultur Pendidikan kita.

Inovasi disruptif seperti itu bukan hal baru, dan sejatinya merupakan keniscayaan historis. Untuk menghadapinya, penyelenggara PTM tidak perlu bersikap berlebihan, menolak keras kehadirannya.

Dalam berbagai bidang, ada banyak sekali contoh disruptive innovation di sektor produksi barang. Ensiklopedia cetak terdisrupsi oleh inovasi Wikipedia; mainframes terdisrupsi oleh inovasi minicomputers; minicomputers terdisrupsi oleh inovasi komputer pribadi (PC); floppy disk terdisrupsi oleh inovasi CD dan USB; CD & DVD terdisrupsi oleh terdisrupsi oleh inovasi digital dedia (i-Tunes, Amazone, dll.); cetak offset terdisrupsi oleh inovasi printer computer; penerbitan tradisional terdisrupsi oleh inovasi desktop publishing (PC); kuda atau kereta api terdisrupsi oleh inovasi mobil, pesawat udara; Ojek dan taksi manual terdisrupsi oleh inovasi Uber, Ojek Online (ojol); dll.

Melalui inovasi disrupsi dalam teknologi dan pedagogi pembelajaran ini, sekolah/guru diharapkan tidak lagi bertumpu pada keberadaan kelas reguler dan model-model pembelajaran konvensional berbasis tatap muka. Sistem pembelajaran secara bertahap perlu dikembangkan secara blended atau hybrid leaning, e-learning, online learning, digital learning, dan/atau virtual learning.

Guru/sekolah diharapkan tidak hanya memproduksi sumber dan media pembelajaran secara mandiri. Melainkan bisa dilakukan dengan membangun interkonektivitas dengan sekolah/guru lain berdasarkan prinsip “collaboration and resource sharing”. Sehingga memungkinkan cost effectiveness untuk menghasilkan capaian pembelajaran yang lebih optimal.

Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan perubahan mindset yang transformatif pada diri guru. Yaitu dari mindset yang menempatkan guru sebagai poros atau pusat sumber dan media pembelajaran menjadi mindset yang menempatkan setiap sumber dan media pembelajaran yang tersedia (cetak, digital dan/atau terkoneksi) terbuka bagi peserta didik untuk dipelajari. Dan fungsi utama guru/masyarakat di era RI-4.0 yang tak bisa diabaikan adalah melakukan pendampingan belajar dan pembentukan karakter peserta didik.

Akhirnya, kita berharap kemendikbud sebagai stake holder terdepan dalam pengembangan sistem pendidikan nasional lebih serius dan komitmen untuk mengembangkan sistem PJJ untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sehingga, PJJ tidak hanya tertulis dan menjadi dokumen bersejarah di dalam UU Sisdiknas, tanpa wujud yang nyata.

Karena sesungguhnya platform PJJ sudah dikembangkan pula untuk jenjang pendidioan dasar dan menengah di luar negeri. Di Indonesia pun, beberapa sekolah sudah menerapkan PJJ secara blended.

Semoga.

***