Kalau dia punya kekasih dan mereka saling mencintai, akan dibubarkan dengan segala cara. Yang laki-laki dikondisikan pacaran dengan perempuan lain, janda kaya raya kalau perlu.
Saya pikir, tulisan ini benar juga. Agak sulit menerima mereka untuk menjadi istri. Mereka independen, mereka tidak pandai merayu laki-laki, mereka tidak suka mengejar seorang pria untuk jadi suaminya. Apalagi kalau dia tahu, menikahnya diatur intel-intel jahat.
Bayangkan, kalau semua orang merasa punya hak mengatur kehidupan pribadinya dan termasuk mengatur pernikahannya: Siapa yang akan jadi suaminya, dimana nikahnya, agamanya apa, tidak boleh pakai gaun
pernikahan Indonesia, tidak boleh pakai adat istiadat dan budaya Indonesia, tidak boleh tidak pakai kumpul kebo. Mereka sendiri juga mending pernikahannya dan pernikahan anak-anaknya beres. Tapi mengurusi urusan pribadi orang lain nomor satu. Pantang lihat orang bahagia dalam pernikahannya penuh cinta.
Kalau dia punya kekasih dan mereka saling mencintai, akan dibubarkan dengan segala cara. Yang laki-laki dikondisikan pacaran dengan perempuan lain, janda kaya raya kalau perlu.
Demikian juga perempuan ini, dikondisikan pacaran dengan laki-laki jahat sakit jiwa, duda kaya raya kalau perlu. Dan kalau pun nanti, sekalipun cinta mereka kuat, kalau mereka akhirnya sudah menikah dengan bahagia pun, pasti intel-intel jahat tidak akan dapat diterima. Bakal dibikin bubar kalau perlu.
Lewat perceraian, atau salah satu dari mereka dimatikan lebih cepat. Perempuan ini dijadikan janda dengan cepat dengan usia pernikahan tidak lebih dari 10-15 tahun. Tidak akan ada pernikahan berusia 25 tahun atau 50 tahun untuk mereka. Pernikahannya akan sengaja dibuat tidak berumur panjang. Intel2 jahat tidak pernah terima lihat orang bahagia.
Memang, terlalu banyak kepentingan berbagai pihak malah bikin pernikahannya bubar. Cinta alami sepasang manusia akan mati sendiri oleh waktu karena dikondisikan demikian.
Mengundang kepedihan di hati. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Mending tidak usah menikah bukan?
Para perempuan lajang di tulisan ini juga mungkin tahu diri, mereka juga punya banyak kekurangan. Mereka tidak kaya, mungkin tidak dapat melahirkan anak sehat untuk suaminya, dan tidak mampu jadi istri yang baik. Tidak pandai menyenangkan suami dengan menyetrika, menyapu, ngepel, memasak tiap hari.
Apalagi laki-laki zaman sekarang, lebih banyak mikirnya daripada cintanya. Tidak serius dan berani mencoba. Cintanya cinta palsu. Pengorbanannya belum terlihat. Tapi celakanya, perempuan lajang di Indonesia biasanya dipandang sebelah mata, dianggap jomblo terkutuk, tukang goda suami orang. Jadi, perempuan lajang mungkin lebih baik tidak tinggal di Indonesia, karena secara sosial berat moral baginya dan bagi keluarganya.
Saya pikir, keputusan mereka untuk tidak menikah ini benar. Daripada memaksa diri menikah, terus suaminya dikondisikan untuk berkhianat, bercerai, punya anak "dibikin cacat", ya lebih baik sendiri. Bisa puas jalan-jalan ke Iran, Rusia, Israel, kemana saja keliling dunia. Kalau perlu ke bulan, kalau nasibnya kaya raya. Meski belum tentu juga bahagia menikmati hidup sendiri. Asal jangan ganggu suami orang.
Baca Juga: Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis
Kalau memang cinta tulus itu tidak ada untuknya, mengapa harus dikejar? Toh orang yang menikah juga tidak semua bahagia. Banyak juga pernikahan yang berakhir perceraian.
Seperti banyak juga pernikahan yang berumur panjang sampai diatas 50 tahun. Masalah tetap akan ada dalam hidup ini. Ini cuma soal bagaimana kita memandang hidup. Kalau orang yang kita cintai tidak mencintai kita, buat apa laki-laki/perempuan itu dinikahi? Cuma bikin esmosi jiwa.
Tapi kalau saya, kalaulah bisa, tentu akan memilih menikah karena cinta nan tulus. Dengan WNI kalau bisa, di Indonesia, pakai KTP Indonesia. Kalau bisa. Murah meriah asik. Bisa pakai kebaya cakep dan bikin senang almarhum ayah dan almarhum Ompung.
Bagaimana pendapat Anda?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews