Menikah Itu Bukan Tujuan Hidup, yang Penting Hidup Berarti

Kalau dia punya kekasih dan mereka saling mencintai, akan dibubarkan dengan segala cara. Yang laki-laki dikondisikan pacaran dengan perempuan lain, janda kaya raya kalau perlu.

Rabu, 7 Oktober 2020 | 06:37 WIB
0
296
Menikah Itu Bukan Tujuan Hidup,  yang Penting  Hidup Berarti
Ilustrasi menikah (Foto: ruangmom.com)

Saya pikir, tulisan ini benar juga. Agak sulit menerima mereka untuk menjadi istri. Mereka independen, mereka tidak pandai merayu laki-laki, mereka tidak suka mengejar seorang pria untuk jadi suaminya. Apalagi kalau dia tahu, menikahnya diatur intel-intel jahat.

Bayangkan, kalau semua orang merasa punya hak mengatur kehidupan pribadinya dan termasuk mengatur pernikahannya: Siapa yang akan jadi suaminya, dimana nikahnya, agamanya apa, tidak boleh pakai gaun

pernikahan Indonesia, tidak boleh pakai adat istiadat dan budaya Indonesia, tidak boleh tidak pakai kumpul kebo. Mereka sendiri juga mending pernikahannya dan pernikahan anak-anaknya beres. Tapi mengurusi urusan pribadi orang lain nomor satu. Pantang lihat orang bahagia dalam pernikahannya penuh cinta.

Kalau dia punya kekasih dan mereka saling mencintai, akan dibubarkan dengan segala cara. Yang laki-laki dikondisikan pacaran dengan perempuan lain, janda kaya raya kalau perlu.

Demikian juga perempuan ini, dikondisikan pacaran dengan laki-laki jahat sakit jiwa, duda kaya raya kalau perlu. Dan kalau pun nanti, sekalipun cinta mereka kuat, kalau mereka akhirnya sudah menikah dengan bahagia pun, pasti intel-intel jahat tidak akan dapat diterima. Bakal dibikin bubar kalau perlu.

Lewat perceraian, atau salah satu dari mereka dimatikan lebih cepat. Perempuan ini dijadikan janda dengan cepat dengan usia pernikahan tidak lebih dari 10-15 tahun. Tidak akan ada pernikahan berusia 25 tahun atau 50 tahun untuk mereka. Pernikahannya akan sengaja dibuat tidak berumur panjang. Intel2 jahat tidak pernah terima lihat orang bahagia.

Memang, terlalu banyak kepentingan berbagai pihak malah bikin pernikahannya bubar. Cinta alami sepasang manusia akan mati sendiri oleh waktu karena dikondisikan demikian.

Mengundang kepedihan di hati. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Mending tidak usah menikah bukan?

Para perempuan lajang di tulisan ini juga mungkin tahu diri, mereka juga punya banyak kekurangan. Mereka tidak kaya, mungkin tidak dapat melahirkan anak sehat untuk suaminya, dan tidak mampu jadi istri yang baik. Tidak pandai menyenangkan suami dengan menyetrika, menyapu, ngepel, memasak tiap hari.

Apalagi laki-laki zaman sekarang, lebih banyak mikirnya daripada cintanya. Tidak serius dan berani mencoba. Cintanya cinta palsu. Pengorbanannya belum terlihat. Tapi celakanya, perempuan lajang di Indonesia biasanya dipandang sebelah mata, dianggap jomblo terkutuk, tukang goda suami orang. Jadi, perempuan lajang mungkin lebih baik tidak tinggal di Indonesia, karena secara sosial berat moral baginya dan bagi keluarganya.

Saya pikir, keputusan mereka untuk tidak menikah ini benar. Daripada memaksa diri menikah, terus suaminya dikondisikan untuk berkhianat, bercerai, punya anak "dibikin cacat", ya lebih baik sendiri. Bisa puas jalan-jalan ke Iran, Rusia, Israel, kemana saja keliling dunia. Kalau perlu ke bulan, kalau nasibnya kaya raya. Meski belum tentu juga bahagia menikmati hidup sendiri. Asal jangan ganggu suami orang.

Baca Juga: Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis

Kalau memang cinta tulus itu tidak ada untuknya, mengapa harus dikejar? Toh orang yang menikah juga tidak semua bahagia. Banyak juga pernikahan yang berakhir perceraian.

Seperti banyak juga pernikahan yang berumur panjang sampai diatas 50 tahun. Masalah tetap akan ada dalam hidup ini. Ini cuma soal bagaimana kita memandang hidup. Kalau orang yang kita cintai tidak mencintai kita, buat apa laki-laki/perempuan itu dinikahi? Cuma bikin esmosi jiwa.

Tapi kalau saya, kalaulah bisa, tentu akan memilih menikah karena cinta nan tulus. Dengan WNI kalau bisa, di Indonesia, pakai KTP Indonesia. Kalau bisa. Murah meriah asik. Bisa pakai kebaya cakep dan bikin senang almarhum ayah dan almarhum Ompung.

Bagaimana pendapat Anda?

***