Apapun pilihannya, gunakan akal sehat dan nurani yang jernih untuk memutuskan. Jangan asal saja, apalagi mengikuti tradisi secara buta. Taruhannya terlalu besar.
Satu lagi sahabat saya bercerai. Kata-kata kasar diungkapkan oleh dua orang yang dulunya saling mencinta. Dendam masa lalu diangkat keluar, terurai dalam pukulan dan air mata. Anak, yang sama sekali tak bersalah, harus menjadi saksi, dan mendekap luka di hati.
Setiap ada undangan pernikahan, saya selalu kagum. Di jaman seperti ini, orang masih berani menikah? Saya sudah mencobanya, dan lolos darinya. Saya bercerai, tanpa anak.
Beberapa Data
Mari kita lihat data yang ada. Pada 2020, mungkin juga karena pandemi, jumlah perceraian meningkat di seluruh dunia. Indonesia pun juga terkena dampak. Di beberapa tempat, jumlah perceraian melonjak tajam.
Pada Juni 2020, Pengadilan Agama Bandung mengalami krisis. Lebih dari 1000 pasangan mengajukan perceraian. Jumlah ini melonjak tajam. Biasanya, mereka hanya menerima sekitar 700 pengajuan cerai. (Jakarta Post, 25 Agustus 2020)
Banyak dari pasangan yang mengajukan cerai menggunakan alasan ekonomi sebagai dasar perpisahan. Tidak ada lagi jaminan ekonomi keluarga. Suami tak lagi bisa memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini terjadi, karena pemerintah gagal menyediakan jaringan pengaman sosial bagi warganya yang terkena dampak krisis pandemik.
Karena banyaknya pengajuan cerai, para pekerja di Pengadilan Agama Bandung harus menutup kantor selama dua minggu. Hal serupa terjadi di Banten. Sekitar 2000 orang sudah mengajukan perceraian. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari biasanya.
Aceh dan Semarang juga mengalami lonjakan perceraian. Pada paruh tahun 2020, Pengadilan Agama Semarang sudah menerima 1586 pengajuan cerai. Lhokseumawe, Aceh, sudah menerima 315 pengajuan Cerai pada Juli 2020. Alasan yang diajukan serupa, yakni alasan ekonomi.
Walaupun bercerai, tetapi dorongan untuk punya anak tetap besar. Sampai September 2020, jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7,8 Miliar orang. Sumber daya yang digunakan untuk menopang gaya hidup mereka pun amat besar. Tak heran, masalah lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar dunia.
Beberapa Pertimbangan
Ada beberapa pertimbangan yang ingin saya ajukan. Pertama, di abad 21 ini, jangan menikah, hanya karena mengikuti tradisi. Jangan menikah, hanya karena paksaan orang tua, dan tekanan sosial dari lingkungan. Menikah haruslah keputusan yang dibuat dari akal sehat dan nurani yang jernih.
Semua orang perlu untuk merasakan cinta. Semua orang punya kebutuhan emosional dan seks. Namun, tak semua orang harus menikah. Gunakan akal sehat untuk memahami keadaan dunia sekarang ini, sebelum memutuskan untuk menikah.
Dua, keputusan punya anak juga haruslah dengan akal sehat. Jangan punya anak, hanya karena mengikuti tradisi. Jangan punya anak, hanya karena paksaan lingkungan. Tanpa pertimbangan akal sehat, orang akan punya anak, namun tak bisa merawat serta mendidiknya dengan baik. Anak tersebut akan menderita, dan menyusahkan masyarakat luas.
Pilihan adopsi juga terbuka. Banyak anak terlantar, dan membutuhkan keluarga. Jauh lebih masuk akal, dan menjawab nurani, jika kita mengadopsi anak yang membutuhkan. Ini pilihan yang sangat baik di masa sekarang ini.
Namun, sekali lagi perlu diingatkan, tak semua orang harus punya anak. Jangan mengikuti tradisi yang memaksa. Jangan mengikuti ajaran yang tak lagi sesuai jaman. Gunakan akal sehat dan hati nurani, sebelum memutuskan punya anak.
Tiga, menikah bukanlah jaminan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati tidak datang dari uang, kekuasaan ataupun hubungan dengan orang lain. Orang harus belajar menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri, sebelum menjalin hubungan, apalagi menikah. Jangan pernah berharap, bahwa pasangan yang akan memberikan kebahagiaan. Itu semua hanya akan berakhir pada penderitaan dan konflik.
Empat, anak bukanlah investasi orang tua. Jangan pernah berharap, mereka akan merawat kita, setelah kita tua nanti. Mereka bukan barang untuk dimiliki. Mereka adalah titipan kehidupan yang akan terbang mengembangkan sayapnya sendiri.
Mereka akan memiliki tantangannya sendiri. Mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri. Jika mereka ingin merawat kita, itu datang dari kebebasan mereka, bukan karena kewajiban moral. Ingat, mereka tak pernah minta untuk dilahirkan!!
Seorang Yogi asal Himalaya pernah berkata, hidup manusia itu singkat sekali. Itu bagaikan tetes air yang segera lenyap, ketika menyentuh sungai. Mengapa dibuat rumit dengan menikah dan punya anak? Di dunia dengan penduduk 7,8 Milliar, dan terus meningkat, pandangan ini memiliki kebenaran yang mendalam.
Namun, setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Ini juga berlaku untuk pernikahan dan punya anak. Apapun pilihannya, gunakan akal sehat dan nurani yang jernih untuk memutuskan. Jangan asal saja, apalagi mengikuti tradisi secara buta. Taruhannya terlalu besar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews