Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis

Apapun pilihannya, gunakan akal sehat dan nurani yang jernih untuk memutuskan. Jangan asal saja, apalagi mengikuti tradisi secara buta. Taruhannya terlalu besar.

Sabtu, 3 Oktober 2020 | 20:19 WIB
0
261
Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis
Ilustrasi bayi (Foto: pikiran-rakyat.com)

Satu lagi sahabat saya bercerai. Kata-kata kasar diungkapkan oleh dua orang yang dulunya saling mencinta. Dendam masa lalu diangkat keluar, terurai dalam pukulan dan air mata. Anak, yang sama sekali tak bersalah, harus menjadi saksi, dan mendekap luka di hati.

Setiap ada undangan pernikahan, saya selalu kagum. Di jaman seperti ini, orang masih berani menikah? Saya sudah mencobanya, dan lolos darinya. Saya bercerai, tanpa anak.

Beberapa Data

Mari kita lihat data yang ada. Pada 2020, mungkin juga karena pandemi, jumlah perceraian meningkat di seluruh dunia. Indonesia pun juga terkena dampak. Di beberapa tempat, jumlah perceraian melonjak tajam.

Pada Juni 2020, Pengadilan Agama Bandung mengalami krisis. Lebih dari 1000 pasangan mengajukan perceraian. Jumlah ini melonjak tajam. Biasanya, mereka hanya menerima sekitar 700 pengajuan cerai. (Jakarta Post, 25 Agustus 2020)

Banyak dari pasangan yang mengajukan cerai menggunakan alasan ekonomi sebagai dasar perpisahan. Tidak ada lagi jaminan ekonomi keluarga. Suami tak lagi bisa memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini terjadi, karena pemerintah gagal menyediakan jaringan pengaman sosial bagi warganya yang terkena dampak krisis pandemik.

Karena banyaknya pengajuan cerai, para pekerja di Pengadilan Agama Bandung harus menutup kantor selama dua minggu. Hal serupa terjadi di Banten. Sekitar 2000 orang sudah mengajukan perceraian. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari biasanya.

Aceh dan Semarang juga mengalami lonjakan perceraian. Pada paruh tahun 2020, Pengadilan Agama Semarang sudah menerima 1586 pengajuan cerai. Lhokseumawe, Aceh, sudah menerima 315 pengajuan Cerai pada Juli 2020. Alasan yang diajukan serupa, yakni alasan ekonomi.

Walaupun bercerai, tetapi dorongan untuk punya anak tetap besar. Sampai September 2020, jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7,8 Miliar orang. Sumber daya yang digunakan untuk menopang gaya hidup mereka pun amat besar. Tak heran, masalah lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah terbesar dunia.

Beberapa Pertimbangan

Ada beberapa pertimbangan yang ingin saya ajukan. Pertama, di abad 21 ini, jangan menikah, hanya karena mengikuti tradisi. Jangan menikah, hanya karena paksaan orang tua, dan tekanan sosial dari lingkungan. Menikah haruslah keputusan yang dibuat dari akal sehat dan nurani yang jernih.

Semua orang perlu untuk merasakan cinta. Semua orang punya kebutuhan emosional dan seks. Namun, tak semua orang harus menikah. Gunakan akal sehat untuk memahami keadaan dunia sekarang ini, sebelum memutuskan untuk menikah.

Dua, keputusan punya anak juga haruslah dengan akal sehat. Jangan punya anak, hanya karena mengikuti tradisi. Jangan punya anak, hanya karena paksaan lingkungan. Tanpa pertimbangan akal sehat, orang akan punya anak, namun tak bisa merawat serta mendidiknya dengan baik. Anak tersebut akan menderita, dan menyusahkan masyarakat luas.

Pilihan adopsi juga terbuka. Banyak anak terlantar, dan membutuhkan keluarga. Jauh lebih masuk akal, dan menjawab nurani, jika kita mengadopsi anak yang membutuhkan. Ini pilihan yang sangat baik di masa sekarang ini.

Namun, sekali lagi perlu diingatkan, tak semua orang harus punya anak. Jangan mengikuti tradisi yang memaksa. Jangan mengikuti ajaran yang tak lagi sesuai jaman. Gunakan akal sehat dan hati nurani, sebelum memutuskan punya anak.

Tiga, menikah bukanlah jaminan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati tidak datang dari uang, kekuasaan ataupun hubungan dengan orang lain. Orang harus belajar menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri, sebelum menjalin hubungan, apalagi menikah. Jangan pernah berharap, bahwa pasangan yang akan memberikan kebahagiaan. Itu semua hanya akan berakhir pada penderitaan dan konflik.

Empat, anak bukanlah investasi orang tua. Jangan pernah berharap, mereka akan merawat kita, setelah kita tua nanti. Mereka bukan barang untuk dimiliki. Mereka adalah titipan kehidupan yang akan terbang mengembangkan sayapnya sendiri.

Mereka akan memiliki tantangannya sendiri. Mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri. Jika mereka ingin merawat kita, itu datang dari kebebasan mereka, bukan karena kewajiban moral. Ingat, mereka tak pernah minta untuk dilahirkan!!

Seorang Yogi asal Himalaya pernah berkata, hidup manusia itu singkat sekali. Itu bagaikan tetes air yang segera lenyap, ketika menyentuh sungai. Mengapa dibuat rumit dengan menikah dan punya anak? Di dunia dengan penduduk 7,8 Milliar, dan terus meningkat, pandangan ini memiliki kebenaran yang mendalam.

Namun, setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Ini juga berlaku untuk pernikahan dan punya anak. Apapun pilihannya, gunakan akal sehat dan nurani yang jernih untuk memutuskan. Jangan asal saja, apalagi mengikuti tradisi secara buta. Taruhannya terlalu besar.

***