Kita bodoh, karena kita terus diperbodoh. Kita sama sekali belum merdeka. Sebagai bangsa, kemampuan kita untuk bernalar sehat, berpikir logis, kritis serta memiliki kejernihan nurani amatlah rendah.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang. Namun, sampai detik tulisan ini dibuat, kita masih saja membeli garam dari negara lain. Padahal, laut di Indonesia jauh lebih luas dari daratan yang ada. Ini salah satu kebodohan kita.
Garis pantai kita sepanjang 54.716 km. Dengan garis pantai seluas itu, dengan mudah bangsa kita membuat tambak garam yang amat besar. Hanya kehendak politik dan kompetensi yang dibutuhkan. Namun, setiap tahunnya, kita masih saja impor garam.
Sejak 2010-2020, rata-rata, kita membeli garam dari negara lain sebanyak 2,08 juta ton pertahunnya. Pada 2012-2013, impor garam sempat menurun. Namun, pada 2014, impor kembali meningkat. Mengapa kita begitu bodoh, sehingga tetap mengimpor garam, walaupun memiliki kawasan laut dan garis pantai yang amat luas?
Meninggalkan Warisan Leluhur
Indonesia juga adalah bangsa yang spiritual. Beragam agama tumbuh dan berkembang di sini. Semua agama tersebut mengajarkan kedamaian dengan alam, dan lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, agama-agama asli Indonesia menawarkan jalan menuju pencerahan dan pembebasan. Ini merupakan pencapaian tertinggi manusia.
Namun, di abad 21, Indonesia masih juga keracunan agama asing. Agama tersebut menindas perempuan, dan merusak ketenangan hidup bersama. Agama tersebut membunuh budaya asli Indonesia, dan menyebarkan teror serta kekerasan. Mengapa kita bodoh, sehingga melupakan agama leluhur, dan mengambil agama asing yang sudah membusuk?
Memilih Partai Politik Rusak
Ada banyak orang cerdas di Indonesia. Mereka mendalami berbagai aliran pemikiran yang sangat hebat. Partai-partai politik pun mengacu pada pemikiran-pemikiran tersebut sebagai dasarnya. Namun, kenyataan tentu jauh dari ide.
Partai politik kita korup. Mereka mencuri uang rakyat. Mereka terkait dengan radikalisme agama. Mereka melakukan ketidakadilan di berbagai bidang.
Namun, kita tetap tertipu. Partai, yang jelas korup, tetap dipilih. Partai, yang jelas terhubung dengan radikalisme agama, tetap juga dipilih. Alhasil, pemerintahan kita cenderung tidak efisien, korup dan tidak adil. Mengapa kita buta dan bodoh?
Kehancuran Alam
Kerusakan alam, akibat ulah manusia, juga masih terus terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan masih terus terjadi. Pada 2020 lalu, luas hutan yang terbakar mencapai 296.942 HA. Ini memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Faktor alam juga ikut serta, seperti musim kemarau, walaupun jumlahnya amat kecil.
Pencemaran sungai juga masih marak terjadi. Salah satu yang paling jelas adalah Sungai Citarum. Ada 32 perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai. Mayoritas perusahaan itu bergerak di bidang makanan, kertas dan tekstil.
Kita diberkati dengan alam yang indah dan kaya. Namun, kita merusaknya, karena kerakusan dan kebodohan kita. Hutan dibabat. Gunung dihancurkan demi pertambangan. Mengapa kita begitu bodoh?
Mengapa Kita Bodoh?
Orang bodoh adalah orang yang tak mampu memahami keadaan. Akibatnya, berbagai peluang ia lewatkan. Sebaliknya, ia justru malah merusak keadaan dan peluang yang muncul di depan matanya. Inilah yang terjadi pada bangsa kita.
Kita bodoh, karena kita diperbodoh secara sistematik dan sistemik oleh negara. Pemerintah terus mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan yang memperbodoh. Pejabat pendidikan yang dipilih tak kompeten di bidangnya. Padahal, untuk menjadi maju, kita perlu rakyat yang mampu berpikir rasional, logis, kritis dan bernurani jernih.
Sementara, pendidikan kita tetap bermutu amat rendah. Hafalan buta menjadi cara mendidik. Kepatuhan buta juga menjadi keharusan. Rasionalitas, logika, sikap kritis, kreativitas dan nurani dihancurkan oleh sistem pendidikan (sekolah, orang tua dan masyarakat) yang membusuk.
Hafalan dan kepatuhan buta, sebenarnya, merupakan kurikulum pendidikan penjajah. Belanda menerapkannya untuk warga Indonesia di masa penjajahan. Namun, ketika merdeka, inti dari pendidikan penjajah ini tak juga diubah. Bahkan, ia dilestarikan, sehingga bangsa kita tetap bodoh dan miskin.
Pendidikan semacam ini juga menghasilkan budaya kemunafikan. Anak diajarkan jujur. Sementara, para pemimpin masyarakat (termasuk agama) mencuri dan membohongi rakyat. Anak diajarkan menahan nafsu. Sementara, para pemimpin agama memperkosa anak kecil.
Pendidikan penjajah juga membuat kita tak peka pada hak-hak asasi manusia. Manusia dianggap sumber daya yang bisa diperas untuk keuntungan ekonomi ataupun politik. Kelompok minoritas terus dipaksa menelan ketidakadilan. Bangsa yang terbelah dan bodoh akan selalu ketinggalan di dalam perkembangan peradaban dunia.
Kita bodoh, karena kita terus diperbodoh. Kita sama sekali belum merdeka. Sebagai bangsa, kemampuan kita untuk bernalar sehat, berpikir logis, kritis serta memiliki kejernihan nurani amatlah rendah.
Pertanyaan kecil pun muncul, mau sampai kapan?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews