Dokter Terawan diberi sanksi karena melanggar kode etik. Bukan karena melakukan pelanggaran hukum.
Dalam talkshow Hotman Paris bertopik kasus dokter Terawan beberapa hari yang lalu ada sesuatu yang mengemuka. Hotman Paris sesuai dengan background dia membangun sebuah narasi pertanyaan kepada sejumlah nara sumber sebagai berikut:
Apakah IDI sudah melakukan riset tentang terapi yang dilakukan oleh dr Terawan? Mohon dijawab "yes" or "no". Pertanyaan yang sulit dijawab oleh para nara sumber ini, kemudian dilanjutkan oleh Hotman dengan: Kalo IDI tidak pernah melakukan riset terkait, bagaimana mungkin IDI bisa mengatakan Terawan bersalah dalam melakukan terapi DSA itu. Dia lantas mengambil analogi tersangka pelaku pidana baru bisa dihukum kalo ada barang bukti yang sah.
Di sinilah ada kerancuan berpikir yang perlu diluruskan. Kita perlu membedakan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik. MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) sesuai dengan namanya bertugas mengawal kode etik para dokter dan "mengadili" pelanggaran kode etik.
Dari namanya kode etik kita sudah dapat memahami bahwa ini berkenaan dengan perilaku (conduct) dan bukan kejahatan medis (misalnya malpraktek). Dalam kejadian malpraktek memang dokter bisa dituntut secara hukum pidana dan perdata menurut UU Praktik Kedokteran no 29 thn 200
Harus kita bedakan antara pelanggaran etik dan pelanggaran hukum dari seorang doktek. Seorang dokter bisa dinyatakan melakukan pelanggaran etik tetapi tidak pelanggaran hukum. Keputusan pelanggaran etik juga tidak dapat dipakai sebagai alat bukti dalam pengadilan pidan
Jadi, kalo ada wacana di masyarakat "pasien-pasien dokter Terawan tidak ada yang meninggal atau cacat karena terapinya, malah senang bisa sembuh, kenapa dia divonis bersalah dan dipecat secara permanen?" ini perlu diluruskan pemahamannya. Dokter Terawan diberi sanksi karena melanggar kode etik. Bukan karena melakukan pelanggaran hukum.
Untuk sedikit memberi gambaran tentang pelanggaran kode etik berikut ini ada 28 kriteri
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien,
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang laya
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profes
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainn
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medis.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
Di antara 28 kriteria itu sedikitnya saya mencermati ada point 13, 14, 27, dan 28 yang kemungkinan dilanggar oleh dr Terawan. Terhadap pelanggaran kode etik memang ada sanksinya, mulai dari teguran, skorsing, diperintahkan utk sekolah lagi, dan dipecat permanen. Namun sebelum vonis dijatuhkan, dokter yang bersangkutan diundang untuk memberikan pembelaan dan klarifikasinya. Dalam pembelaan itu bisa saja hukuman diperingan atau dianulasi (dibatalkan)
Ada cerita yang menarik dari pak Dahlan Iskan waktu berdiskusi di TV tentang sanksi "mengiklankan diri dari dr Terawan". Dia berkata pernah diminta oleh seorang dokter untuk bersaksi pada sidang MKEK karena dituduh beriklan. Rupanya Dahlan Iskan membuat sebuah tulisan yang memuji kehebatan terapi dokter tersebut dan tentu saja berbau "endorsement".
Si dokter meminta kesaksian Dahlan Iskan untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut atas kemauan DI sendiri dan bukan atas pesanan atau sponsor dokter tersebut untuk iklan terselubung.
Jadi, yang merupakan masalah pokok di sini adalah apakah pelanggaran etik bisa diganjar dengan hukuman pemecatan seumur hidup? Hukuman pemecatan sebagai anggota IDI sangat berbeda dengann pemecatan organisasi profesi lainnya. Kalo seorang wartawan atau pengacara dipecat dari organisasi profesinya, dia masih tetap bisa menjalankan profesinya seprti biasa.
Tetapi pada IDI ada "kekuasaan" untuk mengeluarkan rekomendasi sebagai prasyarat untuk mengajukan Surat Izin Praktek (SIP). Tanpa rekomendasi itu, izin praktek tidak akan diperoleh. Jadi, dengan pemecatan permanen seorang dokter dari IDI, ini berarti dia tidak bisa berpraktek atau dengan kata lain "dimatikan mata pencaharian
Karenanya, saya setuju atas usulan beberapa pihak agar AD/ART IDI ditinjau ulang dan direvisi. Pasal yang mengakomodir anggota boleh dipecat secara permanen sebaiknya dihapuskan. Ini hukuman yang sangat sadis untuk sesuatu pelanggaran etik. Misalnya untuk kasus dr Terawan, mosok karena dia mengiklankan diri (dengan asumsi judgement MKEK benar), dia dihukum seumur hidup tidak boleh praktik.
28 butir kriteria pelanggaran etik di atas juga perlu ditinjau ulang karena sudah banyak yang tidak sesuai dengan dinamika kedokteran. Contohnya soal dokter dilarang beriklan. Kalo ada pasien yang bertestimoni di media sosial tentang kehebatan dokter yang merawatnya, apakah ini dianggap mengiklankan diri?
Kalo ada dokter yang memasukkan video tindakan medisnya di Youtube atau Instagram apakah ini juga dianggap mengiklankan diri?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews