Kalau peribahasa "tempat jin buang anak" bisa dipidanakan, bagaimana nasib peribahasa-peribahasa lain yang merupakan kekayaan budaya berbahasa kita
Alangkah riuh-rendahnya publik mempersoalkan metafora "jin buang anak".
Ada yang bertanya "mengapa jin kok buang anaknya? Apa dia gak sayang sama anaknya?". Untuk yang tidak paham diksi ini, perlu dijelaskan bahwa yang dibuang oleh jin itu bukan anaknya, melainkan anak manusia yang berhasil diculiknya.
Untuk lebih memberi pencerahan tentang hal ikhwal jin yang gemar menculik anak kecil saya sertakan posting screenshot bahasan tentang "wewe gombel" dan "genderuwo" di bawah ini.
Wewe gombel dan genderuwo adalah dua sejoli jin dalam mitos hantu di Indonesia. Wewe gombel yang berjender perempuan dan genderuwo yang berjender laki-laki termasuk hantu yang baik (dalam artian tidak menimbulkan penyakit atau kematian pd manusia).
Ciri khas keduanya adalah suka menculik anak kecil, khususnya anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya. Manakala orang tuanya panik mencari anaknya ke mana-mana, biasanya bocah ini diketemukan di tempat terpencil dakam keadaan selamat tapi linglung.Waktu saya kecil dulu juga sering ditakut-takuti orang tua bakal digondol genderuwo atawa wewe gombel kalo malam-malan masih sibuk bermain di luar rumah. Kebetulan di belakang rumah ada pohon beringin besar yang konon tempat bermukim jin ini.
Deskripsi sosok wewe gombel dan genderuwo persis seperti yang ditulis pada screenshot tadi.
Wewe gombel adalah jin perempuan yang merupakan jelmaan wanita yang bunuh diri karena suaminya selingkuh, genderuwo bersosok raksasa seperti monyet berbulu hitam kemerahan. Domisilinya di rumah kosong, di pohon yg rimbun, di bebatuan berair dsb.
Khususnya di Betawi, kepercayaan adanya jin yang hobi menculik anak kecil dan lalu dibuangnya di tempat-tempat yang sepi dan terpencil terekspresi pada metafora "jin buang anak".
Banyak wilayah pinggiran Jakarta yang dahulu kala mendapat predikat "tempat jin buang anak", seperti di Ancol, Depok dsb. Dan metafora ini sama sekali tidak bernuansa rasis, peyoratif atau merendahkan.
Baca Juga: Akhir Petualangan Edy Mulyadi KM 50, Kuntilanak, Gendruwo dan Meong
Oleh karenanya cukup mencengangkan bahwa perumpamaan "jin buang anak" ternyata membuat sejumlah orang marah dan murka. Mereka marah karena sukunya disamakan dengan jin.
Mereka marah karena wilayahnya disamakan dengan tempat tinggal para jin. Padahal secara kontekstual dan semantik kesimpulan itu keliru sama sekali.
Kalo peribahasa "tempat jin buang anak" bisa dipidanakan, bagaimana nasib peribahasa-peribahasa lain yang merupakan kekayaan budaya berbahasa kita?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews