Perdebatan Substantif vs Kepalsuan

Di era perdebatan, mari kita tandai siapa yang paling sering tergoda menggunakan keempat jenis argumen kepalsuan ini.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 19:01 WIB
0
385
Perdebatan Substantif vs Kepalsuan
Zaenal Arifin Mochtar (Foto: tribunnews.com)

Era keterbukaan bagi sebagian orang bisa jadi memusingkan. Banyak regulasi secara terbuka diperdebatkan. Lihat tayangan video yang saya sertakan dalam status kali ini yang menyajikan perdebatan terkait Revisi UU KPK antara Zaenal Arifin Mochtar dengan para anggota DPR, khususnya Masiton Pasaribu.

Namun, dari contoh perdebatan ini, ada hikmah dari keterbukaan. Seluruh aturan yang mengikat rakyat, dari UUD, UU, PP, Perpres, Permen dan lain lain, dapat dibahas dan dikritisi hingga pasal demi pasal. Bahkan, perdebatan dapat mengarah lebih tajam hingga membahas motif mengapa regulasi yang tertuang dalam pasal itu muncul.

Di tengah era perdebatan, ada baiknya kita belajar melihat jenis-jenis argumen yang sering kali disajikan dalam perdebatan agar kita tak terjebak dalam retorika. Argumen yang kuat biasanya adalah argumen yang mengedepankan rasionalitas yang didukung bukti meyakinkan dan dikemukakan secara sistematis dan logis. Selain itu, dalam berdebat, kejujuran dan sportifitas juga sangat penting. Argumen apapun yang diucapkan, perdebatan harus bermuara pada substansi, yaitu mendapatkan informasi atau pengetahuan yang benar, bukan pada emosi.

Memenangkan perdebatan memang tak mudah. Apalagi bila peserta debat tak dibekali penguasaan materi yang kuat, kemampuan logika yang baik dan landasan sikap sportif. Bila persyaratan itu tak dimiliki, maka peserta debat seringkali terpancing emosi. Saat emosi muncul, cara-cara kotor seringkali juga muncul, misalnya mencoba cari akal meruntuhkan kredibilitas lawan debat dengan mengungkap latar-belakang pribadi lawan, bukan lagi pada substansi debat.

Menurut Douglas Walton (1992, hal. 2-3), salah satu jenis perdebatan yang paling berbahaya dan seringkali merusak jalannya diskusi sehat adalah jenis perdebatan yang menggunakan argumen-argumen yang sebut "argumentum ad hominem." Saat argumen jenis ini digunakan dalam perdebatan, serangan yang bersifat pribadi terhadap lawan bicara dilakukan.

Menurut Fearside dan Holther (1959), argumen jenis ini adalah cara yang umum dan efektif dalam berdebat untuk memenangkan perdebatan, walaupun menjijikkan. “Tak ada argumen yang lebih mudah dilakukan tetapi sulit melawannya, daripada argumen membunuh karakter seseorang.”

Jenis argumen ini juga seringkali dilakukan dengan mengekspoitasi sentimen-sentimen primordial—suku, ras, agama, untuk menggiring massa agar menerima gagasannya tanpa berfikir panjang.

Menurut Engel (1976, hal. 114), argumen jenis ini dianggap keliru karena mengarahkan kita pada kesimpulan melalui nafsu dan emosi daripada akal sehat. Coba perhatikan, dalam video yang saya sertakan dalam status kali ini, adakah taktik jenis "argumentum ad hominem" dicoba dilakukan?

Selain argumen palsu jenis "argumentum ad hominem" ini, ada tiga jenis argumen kepalsuan lain yang menurut Douglas Walton perlu diperhatikan, yaitu:

Argumentum ad populum;

Ini jenis argumen yang disusun untuk menarik sentimen/emosi publik atau massa agar massa ikut tergiring mendukung kesimpulan argumen tersebut. Argumen jenis ini juga disebut sebagai argumen “penarik massa” (mob appeals).

Argumentum ad misericodiam;

Argumen ini dianggap palsu karena mengeksploitasi rasa belas kasihan dalam mencari dukungan. Strategi yang dikembangkan dalam argumen ini adalah mempengaruhi orang lain dengan cara membangkitkan simpati maupun rasa keharuan.

Argumentum ad baculum;

Argumen ini palsu karena mengarah pada suatu ancaman, atau paksaan, atau menimbulkan rasa takut agar orang lain mendukung kesimpulan argumen yang dikemukakannya. Argumen jenis ini biasanya dimunculkan bila bukti-bukti nyata untuk mendukung suatu argumen dianggap tidak mempan lagi, atau argumen rasional dianggap mengalami kegagalan.

Di era perdebatan, mari kita tandai siapa yang paling sering tergoda menggunakan keempat jenis argumen kepalsuan ini.

Demokrasi di Indonesia seringkali terancam justru karena para elit yang berdebat di depan layar kaca dan ditonton luas masyarakat, sering tergoda untuk melakukan kekeliruan ini. Mereka, sadar atau tidak, terlalu sering menggunakan argumen kepalsuan dalam berdebat!

***