Daya Humor Kita

Sebagaimana ketika agama justeru membuat intoleran, humor mestinya bisa menjalin toleransi atas keberbagaian dunia ini.

Minggu, 30 Juni 2019 | 13:16 WIB
0
542
Daya Humor Kita
Buku karya Denny Indrayana (Foto: Facebook)

“Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat,” demikian kutbah Gus Dur suatu ketika. Lho, jadi beda, lelucon dengan humor? Dalam KBBI kita tak mendapat pencerahan memuaskan, selain penjelasan bahwa humor berkait dengan sesuatu yang lucu, atau mengenai kelucuan.

Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia, juga belum dijelaskan secara gamblang apa itu humor, selain mengatakan sebagai sikap yang cenderung dilakukan untuk membangkitkan rasa gembira dan memicu gelak tawa. Istilah humor sendiri, agak ajaib, berasal dari istilah medis Latin Kuno, yang artinya ‘cairan tubuh’ yang diatur oleh (mengatur?) kesehatan dan emosi manusia.

Berarti binatang nggak punya? Entahlah. Belum pernah jadi binatang sih. Kalau Chairil Anwar, yang mendaku sebagai binatang jalang, mungkin tahu, bukan tempe.

Masih banyak salah kaprah mengenai humor. Bahkan, ketika saya menulis sesuatu yang serius dengan cara humor, pembaca bisa under-estimate dan menuding tidak serius. Humor di Indonesia, masih disamalevelkan dengan lelucon para pelawak, di televisi dan di panggung, yang sering hanya ngebully kecacatan objek penderita, atau kalau tidak lelucon seputar lendir.

Suatu ketika, tak sengaja bertemu Constantinus Teguh, mantan anggota 3T (trio lawak Yogya, bersama Eko Sutrisno HP dan Tri Sudarsono, yang sohor di tahun 1980-an dan pernah menjadi juara lawak nasional 1978). Dalam acara syawalan Komunitas Kembang Adas di BSMD Yogya, ia menyodok saya dengan pertanyaan: “Bisa tidak kita mendirikan lembaga kajian mengenai humor...?”

Saya langsung menjawab bisa, sepanjang merupakan kegiatan akademik, ilmiah. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi maksud saya terukur, proporsional dalam arti dibangun secara sistematis dengan paradigma dan parameter keilmuan. Karena humor adalah serius. Itu saya katakan karena Teguh kini adalah Mas Dosen, ngajar antropologi di kampus ternama Yogya.

Humor is reason gone mad, ujar Groucho Marx aktor komedi AS. Humor adalah alasan menjadi gila. Maksudnya? Karena humor memang bukan sekedar lelucon. Bahkan Aristoteles, sang filsuf turut ribet memikirkan dan menyimpulkan, “Rahasia dari humor adalah kejutan.” Atau seperti ujar Samuel Butler, sang penyair Inggris, “Humor dan ironi yang paling sempurna umumnya tidak disadari.”

Bagi Mark Twain, humor adalah berkah terbesar umat manusia. Bahkan, keeping an active mind has been vital to my survival, as has been maintaining a sense of humor, ujar Stephen Hawking, sang ahli fisika teoritis. Menjaga pikiran yang aktif sangat penting bagi keberlangsungan hidup saya, seperti menjaga rasa humor.

Kalau saya masih mau kampanye, bisa saja saya kutipkan tulisan Jim Rohn, yang kayaknya pas menggambarkan sosok Jokowi. Pengusaha Amerika Serikat itu menulis; “Tantangan kepemimpinan harus kuat, tapi tidak kasar; Bersikap baik, tapi tidak lemah; Jadilah berani, tapi bukan pengganggu; Bijaksana, tapi tidak malas; Bersikap rendah hati, tapi tidak malu; Bangga, tapi tidak sombong; Memiliki humor, tapi tanpa kebodohan.” Sayangnya, Pilpres sudah selesai, jadi saya tak ingin mengutip hal itu di sini.

Humor membuat pemiliknya melihat hal-hal yang orang lain tidak lihat sama sekali. “Dunia adalah milik mereka yang berangkat untuk menaklukkannya dengan penuh kepercayaan diri dan humor yang baik,” tulis Charles Dickens.

Dan bahkan, penulis yang lain, seperti William Somerset Maugham pun meyakini; You are not angry with people when you laugh at them. Humor teaches tolerance. Engkau tidak marah dengan orang lain ketika engkau menertawakan mereka. Humor mengajarkan toleransi.

Secara medis, bukan hanya psikologis, humor diklaim bagus buat kesehatan. Bisa meningkatkan daya ingat, selain membantu meredakan stres, bahkan menurunkan risiko penyakit jantung (Happify, Huffington Post). Penelitian menunjukkan humor secara umum adalah indikator dari kesehatan mental.

Maka jika politik kotor hanya puisi yang menyucinya, kayaknya harus dikoreksi. Sebagaimana ketika agama justeru membuat intoleran, humor mestinya bisa menjalin toleransi atas keberbagaian dunia ini. Apalagi di tengah formalisme dan conformisme yang menekan. Agama bukan hanya serius, dan agak anti humor, tetapi juga bahkan acap mengancam.

Bahkan, ada lho, yang kehilangan selera humor karena agama. Apalagi kalau kita berani menghumorkan agama. Kita akan kena kutukan neraka. Entahlah, apakah karena tak punya selera humor, atau selera humornya kurang tinggi. Atau kualitas beragamanya tidak bermutu?

Nggak usah dijawab. Lihat gambar di bawah ini. Adakah ini buku bermutu? Buku Hukum, atau Humor? |

Sunardian Wirodono

***