Asal Muasal Kompas [29] Koresponden

Akhirnya pada harian Kompas edisi 03 Januari 2011 lalu Pimpinan Redaksi Kompas, Rikard Bagun mengumumkan penutupan semua lembar daerah tersebut.

Sabtu, 23 November 2019 | 11:23 WIB
0
690
Asal Muasal Kompas [29] Koresponden
Ilustrasi reporter (Foto

Batal menjabat redaktur daerah, tidak begitu jadi pikiran saya karena saya melihat dari segi manfaatnya. Selama dua minggu mempelajari seluk beluk pengelolaan wartawan Kompas di daerah, membuat saya kaya pengetahuan tentang mereka. Dalam waktu yang pendek itu saya bisa merunut bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari redaksi Kompas.

Sebagai koran berskala nasional, Kompas tentunya harus memiliki wartawan di banyak daerah. Ketika baru terbit, kebutuhan itu tidak begitu terasa apalagi hubungan dengan daerah sangat susah dilakukan. Yang dilakukan hanyalah minta kepada para penulis di luar Jakarta menyampaikan gagasannya dalam bentuk naskah opini. Bahannya boleh gagasan sendiri atau terkadang mendapat pesanan dari pimpinan redaksi. Kalaupun ada peristiwa yang terjadi di daerah, Kompas mengambil dari LKBN Antara, KNI,  atau PAB. Maklum korannya pun masih terbit 4 (empat) halaman dan peredarannya pun masih terbatas.

Pada tahun 1968 mulai muncul koreponden yang berasal dari para aktivis gereja di beberapa daerah. Mereka melaporkan apa yang terjadi di daerahnya dan untuk itu mereka dapat imbalan. Salah seorang yang diangkat menjadi koresponden pada tahun itu adalah Max Margono yang pada tahun 2002 lalu pensiun.

Koresponden sebagai salah satu kelompok kerja tetap di Kompas baru digunakan setelah tahun 1970. Hal ini seiring dengan kemajuan Kompas yang saat itu bisa terbit 8-12 halaman. Ketika itu berita-berita dari daerah dihimpun dalam satu kelompok berita bertajuk Daerah Sekilas.

Ketika Kompas memiliki percetakan sendiri pada tahun 1972, tirasnya pun makin banyak dan peredarannya meluas termasuk ke daerah-daerah. Dengan situasi seperti itu, berita daerah menjadi mutlak ada sehingga  koresponden pun menjadi kebutuhan mendesak. Berita-berita dari daerah pun semakin banyak dimuat, institusinya pun dibuat dengan menunjuk wartawan yang khusus menangani berita dari daerah (Redaktur Daerah). Redaktur Daerah yang pertama dijabat August Parengkuan.

Dalam perkembangannya, apalagi setelah pemerintah tidak ikut campur dalam penerbitan pers, koresponden bagi Kompas menjadi ujung tombak penyebaran ke daerah-daerah. Jika Kompas ingin terus memperluas wilayah edarnya maka faktor kedekatan dengan pembacanya (proximity) harus dipenuhi dengan menghadirkan berita di daerah-daerah. Akhirnya urusan berita daerah jadi berkembang sehingga jumlah korespondennya pun bertambah terus.

**

Pada mulanya, koresponden Kompas hanya mendapat imbalan jika beritanya dimuat. Max Margono selaku koresponden Kompas yang pertama menuliskan kisahnya sebagai berikut.

“Mas kalau ke Jakarta, mampir ke Pintu Besar Selatan ya,” kata Pak Jakob pada saya di sela-sela pertemuan ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) di Surabaya tahun 1968. Maksudnya mampir ke Redaksi Kompas. Tawaran  bagus, ya disambut bagus.  Begitu  ke Jakarta pada 1 Oktober 1968 saya  ke kantor Redaksi Kompas, bertemu Pak Jakob.  Omong-omong kurang lebih satu setengah jam, pulang sudah berpredikat koresponden lengkap dengan kartu pers Kompas berwarna hitam/hijau  tiga lipatan. 

Tetapi ya itu... dapatnya uang hanya kalau tulisan dimuat. Kalau tidak ada tulisan yang dimuat,  ya tetap saja bisa makan. Entah bagaimana caranya, pokoknya halal. Dulu solidaritas antarteman terasa  sangat kuat dan hangat.  Tahun 1968,  kalau berita/tulisan dimuat  empat kali saja, bisa hidup dengan dua anak dan satu istri dalam satu minggu.

Pernah suatu hari, berita muntaber di Madura dimuat tanpa inisial, mungkin redaktur di Jakarta lupa.  Akibatnya, ya nggak dapat honor. Anehnya semangat untuk protes kok nggak ada. Tidak tahu kena apa begitu. Bisa jadi karena kalau sedang kesulitan, toh bisa pinjam uang ke  CV Bidas, Agen Kompas di Surabaya.

Pada tahun 1974 saya diangkat menjadi koresponden tetap, Kortap istilahnya. Saat itu rasanya jadi lega, hidup tak terlalu tergantung pada ada-tidaknya inisial. Kompas memberi honor tetap Rp15.000 sebulan, plus 50 persen  honor berita yang dimuat. Selain itu Kortap mendapatkan sepeda motor inventaris, penggantian biaya dokter dan obat (dengan plafon tertentu). Waktu itu boleh dibilang lebih dari lumayan, apalagi kalau banyak berita yang dimuat, wartawan yang sudah berstatus karyawan pun bisa kalah penghasilannya.

Enam tahun kemudian, tahun 1980, pimpinan berbaik hati mengubah status saya dari karyawan 50 persen  (kortap) menjadi karyawan seratus persen (kartap). Mungkin ada yang bilang, waduh kok  lama amat, 12 tahun baru bisa menjadi karyawan tetap. Tidak usah bilang waduh… itulah yang terjadi. Di mana salahnya? Tidak ada yang salah. 

Yang pasti, status karyawan tetap membuat mutu hidup lebih baik. Dengan status karyawan tetap mulai 01 Oktober 1980 tersebut  saya pun berhak  mendapatkan tempat tinggal layak, uang sekolah anak, uang kesehatan,  cuti tahunan, dan cuti besar lengkap dengan uang cutinya. Ikutan selanjutnya: sepeda motor ganti tiga kali,  mobil ganti tiga kali, dan yang terakhir uang pensiun untuk hidup layak sampai sekarang. Lantas bagaimana menerjemahkan waktu 12 tahun sebelum menjadi karyawan tetap?

Ya diterima saja itu sebagai masa belajar calon wartawan Kompas. Jika mulai tahun 2000 calon wartawan harus mengikuti pendidikan selama setahun dan bisa didrop di tengah pendidikan, maka para koresponden ketika itu harus mengikuti masa pendidikan yang panjang. Itu bisa dimaklumi karena pendidikannya langsung di lapangan, bukan intensif sebagaimana calon wartawan angkatan sekarang. Selain itu, latar belakang pendidikan dan proses penyaringannya tidak secanggih angkatan sekarang.

Ada catatan kecil yang pantas dinikmati juga. Pada tahun 1970-an, seorang wartawan Kompas menginap di rumah saya untuk menghemat biaya perusahaan. Dari tempat tinggal seluas 24 meter persegi  itu yang tersisa  tinggal amben (tempat tidur dari bambu) di dekat kompor.  Ya di situlah ia tidur. Begitu juga dengan seorang teman lain yang menginap di Istana Kelinci itu, ia lebih suka tidur di lantai ruang tamu yang luasnya dua kali empat meter. Dan itu terjadi biasa saja, mungkin karena sama-sama merasa masih berjuang.

**

Seiring dengan kemajuan perusahaan, mereka yang telah lama membantu Kompas sebagai koresponden mendapatkan perbaikan status.  Pada tahun 1972, Kompas membagi koresponden menjadi tiga kelompok: calon koresponden, koresponden lepas, dan koresponden tetap. 

Calon Koresponden dan Koresponden Lepas secara hukum tidak terikat dengan lembaga Kompas. Artinya mereka boleh menjadi karyawan lembaga lain (koran lain) atau menjadi koresponden itu hanya sambilan saja. Itulah sebabnya kepada mereka hanya diberikan honor berita yang dimuat. Untuk Koresponden Lepas, diberikan tambahan bantuan biaya transpor.

Saat itu status tertinggi bagi koresponden adalah Koresponden Tetap (Kortap). Kelompok ini secara hukum terikat dengan Kompas. Mereka tidak boleh lagi merangkap pekerjaan, apalagi pekerjaan yang sama (wartawan) di media lain. Saat itu para koresponden harus memilih: menjadi koresponden tetap Kompas atau kerja di tempat lain. Beberapa di antaranya memilih tetap menjadi dosen atau bekerja di media lain yang dinilainya lebih menjanjikan masa depan.

Dengan status Koresponden Tetap ini, yang bersangkutan mendapatkan honor tetap (bulanan) dari Kompas, sementara untuk menghargai kinerjanya, mereka tetap mendapatkan honor untuk setiap berita yang dimuat. Besarnya 50% dari besar jumlah honor biasa. Dalam perkembangannya, secara bertahap mereka mendapatkan beberapa fasilitas misalnya penggantian obat/dokter, uang transpor, biaya kirim berita, dan sebagainya.

Pada tahun 1999, status koresponden tetap disetarakan dengan karyawan. Masa kerja mereka dihitung sejak diangkat menjadi koresponden tetap. Mereka mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan karyawan di kantor Pusat, termasuk hak mendapatkan pensiun.  Sejak itu mereka adalah wartawan Kompas yang ditempatkan di daerah. Dan sejak itu pula status ketiga kelompok koresponden di atas  dihilangkan. Kompas merekrut wartawannya untuk di daerah, dengan kualifikasi yang sama dengan wartawan di kantor Pusat.  Bertugas di daerah bahkan menjadi bagian dari jenjang karir yang harus diikuti semua wartawan Kompas.

Untuk mengkoordinasi para koresponden di daerah-daerah, Kompas menunjuk koordinator di setiap provinsi atau wilayah potensial yang dalam perkembangan terakhir disebut sebagai kepala biro. Terakhir Kompas membagi dalam sembilan biro : Jatim, Jateng, DIY, Jabar, Kalimantan, Sulawesi/Indonesia Timur, Bali/ NTB/NTT, Sumbagut, dan Sumbagsel.

Semua kantor biro di atas bernaung dalam Desk Nusantara sehingga pada bulan Mei  2004 desk tersebut memiliki wartawan paling banyak, 97 orang. Jadi wartawan di daerah dikoordinasi langsung oleh para kepala biro, dan semua biro dikoordinasi Desk Nusantara.

Di beberapa kota –karena alasan demi kecepatan– hubungan kerja wartawan di daerah langsung ditangani Desk Nusantara di Jakarta. Apalagi untuk penugasan-penugasan yang bersifat urgent, biasanya wartawan di daerah dikomando langsung oleh Kepala Desk Nusantara. Tentu saja pada akhirnya kepala biro juga  diberitahu.

Penugasan wartawan di daerah merupakan bagian dari perjalanan jenjang karir di Kompas. Kenapa begitu, karena bertugas di daerah akan menempa keprofesionalan seorang wartawan. Bertugas di daerah berarti meliput apa saja yang terjadi di daerah, ia akan menjadikan seorang wartawan generalis –tahu apa saja. Dengan demikian jika suatu saat ditarik ke kantor Pusat, ia sudah memiliki pengalaman dan dasar pengetahuan yang luas.

Perkembangan status koresponden Kompas di luar negeri tak beda dengan di dalam negeri. Pada awalnya mereka adalah orang yang karena minatnya dan secara sukarela  menyebarluaskan informasi ke Tanah Air atau memanfaatkan  pekerjaan di media lain. Kompas pernah memiliki koreponden di Jerman, Belanda, Amerika, Australia, Bangkok, Manila, Kairo, Tokyo, dan beberapa negara lain.

Dalam suatu masa Kompas pernah menempatkan koresponden tetap (wartawan Kompas yang ditempatkan di luar negeri) di New York (Threes Nio/alm  dan Witdarmono), Tokyo (Witdarmono). Kompas juga pernah memiliki wartawan yang ditempatkan di Kairo (Mustafa Abdurrahman) dan Hongkong (Rene L. Pattirajawane). Para koreponden ini tergabung dalam koordinasi Desk Internasional karena berita/tulisan mereka berkait dengan masalah internasional, walaupun dalam penugasan bisa saja menyangkut desk-desk lain misalnya olahraga, ekonomi, iptek, kebudayaan, dan sebagainya.

**

Ketika pada tahun 2002 Kompas menerbitkan lembar  tambahan di beberapa daerah, direkrutlah wartawan baru di daerah yang bersangkutan. Bersama wartawan daerah yang mantan koreponden, mereka mengelola lembar daerahnya yang bisa sampai 12 halaman.

Langkah menerbitkan lembar daerah sebenarnya diawali pada tahun 2000. Ketika itu oplah Kompas di Jawa Timur merosot terus, pasar dikuasai Jawa Pos. Penerbitan Harian Surya yang bernaung di bawah Kelompok Pers Daerah (Persda) KKG di Surabaya, tidak membendung saingan tapi malah memerosotkan oplah Kompas sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut untuk Jatim Kompas menerbitkan dua halaman  lembar Jatim menggantikan halaman Metro dan Nusantara terbitan nasional.

Ketika dinilai kurang mujarab, halaman daerah Jatim ditambah menjadi empat halaman dan dicetak tersendiri tanpa mengurangi halaman edisi nasional. Ini berarti jika edisi nasional terbit 40 halaman maka di Jawa Timur ditambah empat halaman menjadi 44 halaman.

Pada HUT ke-38 Kompas, tanggal  28 Juni 2003, jumlah halaman edisi Jawa Timur ditingkatkan menjadi 12 halaman. Ini berarti jika edisi nasional terbit 40 halaman maka Kompas di Jawa Timur terbit 52 halaman tanpa tambahan harga. Pemenuhan kebutuhan akan informasi Jawa Timur nampaknya memang ditunggu. Pada bulan Juni 2004 oplah Kompas di Jawa Timur yang semula sekitar 15.000 mencapai 29.000 eksemplar. Kiat memenuhi kebutuhan akan kecepatan dan kedekatan informasi bagi pembaca  dengan CJJ dan penerbitan edisi daerah, menjadi pola yang dikembangkan Kompas.

Pada tanggal 01 Maret 2004 Kompas menerbitkan edisi Jateng/Jogja sebanyak delapan halaman dengan memanfaatkan percetakan di Bawen. Pada HUT ke 39, tanggal 28 Juni 2004 edisi Jateng/Jogya dipecah, DIY dibuatkan edisi sendiri, masing-masing delapan halaman.

Pada saat yang sama diterbitkan dua halaman khusus untuk Jawa Barat dengan pola yang sama ketika Jatim dan Jateng/Jogya memulai edisi daerahnya. Penerbitan dua halaman yang “dicangkokkan” pada edisi nasional ini  merupakan langkah awal menuju penerbitan edisi lokal yang mandiri (hidup dari iklannya sendiri). Bisa dibayangkan berapa banyak wartawan daerah yang direkrut untuk menggarap lembar-lembar daerah tersebut.

Manajemen berharap, lembar daerah bisa menghidupi sendiri dari iklan di daerahnya. Namun nyatanya harapan itu tidak kesampaian, padahal untuk menerbitkan 12 halaman koran dengan oplah 10.000 eksemplar, biaya produksi setahun tak kurang dari Rp5 milyar! Tentunya kali ini sudah jauh-jauh hari diantisipasi. 

Akhirnya pada harian Kompas edisi 03 Januari 2011 lalu Pimpinan Redaksi Kompas, Rikard Bagun mengumumkan penutupan semua lembar daerah tersebut. 

“Putusan yang diambil dengan menggunakan momentum datangnya Tahun Baru 2011 itu dapatlah dikatakan sebagai gerakan sirkuler untuk mengembalikan posisi Kompas sebagai koran nasional tanpa lembar daerah dan sisipan khusus. Wajah dan rupa Kompas menjadi satu di mana-mana, dan di mana-mana menjadi satu,”  begitu ia menulis dalam salah satu alinea pengantarnya.

Lalu bagaimana dengan wartawan daerah yang jumlahnya cukup banyak itu?

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [28] Kesejahteraan Wartawan