Asal Muasal Kompas [28] Kesejahteraan Wartawan

Pemberian fasilitas dari perusahaan memang selalu dikaitkan dengan kenyamanan bekerja yang bersangkutan.

Jumat, 1 November 2019 | 05:58 WIB
0
736
Asal Muasal Kompas [28] Kesejahteraan Wartawan
Ilustrasi orang lanjut usia baca koran (Foto: steemit.com)

Peningkatan status koresponden yang semula hanya dibayar jika beritanya dimuat menjadi karyawan tetap, merupakan salah satu upaya perusahaan untuk menghargai siapa saja yang ikut andil dalam usaha tersebut. Dan sejak awal berdiri, semangat untuk menghargai manusia memang sudah terpatrikan pada sikap dua perintis Kompas, Pak Ojong dan Pak Jakob.

Dalam tulisan-tulisan terdahulu sudah saya sampaikan bagaimana perusahaan memenuhi kebutuhan karyawannya hingga lengkap. Mulai dari pembagian beras, susu, payung, jas hujan, jam tangan, sepeda motor kemudian rumah, dan mobil. Pemberian fasilitas tersebut pada awalnya tidak berdasarkan aturan baku, siapa yang paling membutuhkan, itulah yang diberi terlebih dahulu. Ketentuan ada namun pelaksanaannya berdasarkan sikon saja. Sebuah pengalaman yang saat itu terasa menjengkelkan namun akhirnya saya sadari kebenarannya.

Pada tahun 1972 kantor Kompas pindah dari Jalan Pintu Besar Selatan ke Jalan Palmerah Selatan. Saya yang baru dua tahun bekerja memberanikan diri untuk meminjam uang guna membuat sebuah rumah di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dekat kantor. Alasannya, biar lebih dekat dengan kantor dan saya sudah punya tanah di daerah itu.

Sebelum disetujui, saya diminta membuat gambar rumah dan rincian kebutuhan dananya, berapa bata yang diperlukan, semen, kayu, dan sebagainya. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah bagi saya namun karena membutuhkan, saya pun membuatnya.

Seminggu kemudian datang karyawan bagian kontrol melihat lokasi tanah saya, menanyakan surat-surat tanah,  dan banyak lagi. Minggu berikutnya permohonan disetujui bahkan jumlah kreditnya ditambah karena mereka menghitung kebutuhan dana saya kurang jika diberikan kredit sesuai  permohonan. Di sini perusahaan sudah mengantisipasi, daripada nantinya bangunan terbengkalai dan mempengaruhi kinerja karyawan, mendingan ditangani sejak awal.

Pada tahun 1976 saya mendapat jatah rumah di Perumnas Depok. Pimpinan segera memanggil saya, menggugat kenapa saya ambil rumah Perumnas, kan sudah punya rumah di Kebon Jeruk yang lebih dekat? Sebaiknya jatah tersebut diberikan kepada teman lain yang belum punya rumah! Untunglah saat itu saya masih menyimpan surat penolakan IMB-nya karena tanah tersebut akan tergusur jalan raya.

Itu tadi sebuah realita untuk menggambarkan betapa “care” perusahaan terhadap karyawannya walau terkadang terasa “terlalu mengatur” napas karyawan. Dalam suatu masa perusahaan pernah mengatur penerimaan bonus dan gratifikasi dalam bulan berbeda, tidak bersamaan dengan gaji.  Jadi pada pertengahan bulan Maret keluar uang bonus, bulan Juni keluar gratifikasi, September bonus, Desember gratifikasi.

Beberapa karyawan mengusulkan, sebaiknya dijadikan satu agar bisa dimanfaatkan lebih maksimal. Apa jawab bagian personalia: Perusahaan takut, kalau dibayarkan sekaligus akan cepat habis!

“Lama-lama napas kita pun diatur perusahaan,” komentar seorang karyawan. Pada era tahun 2000an, bonus dan gratifikasi itu pun hilang, penerimaannya dijadikan satu pada bulan Desember. Jumlah karyawan yang semakin banyak membuat mereka mau tidak mau harus menyederhanakan cara.

Pemberian fasilitas dari perusahaan memang selalu dikaitkan dengan kenyamanan bekerja yang bersangkutan. Pembagian payung dan jas hujan, membuat karyawan tak punya alasan untuk terlambat datang dengan alasan hujan.  Demikian juga dengan pembagian jam tangan. Pemberian uang transpor untuk mencegah karyawan absen karena tak punya uang untuk naik angkot, pemberian fasilitas handphone membuat karyawan tak berkutik menghindari tugas.

Sebuah peristiwa tak terlupakan saya alami dengan fasilitas kantor ini. Pada suatu siang pada tahun 1978-an, sekitar pukul 10.00 hujan turun dengan derasnya. Saya dengan dua rekan wartawan, Oemar Samsuri dan Chrys Kelana, bertengger di Lambreta masing-masing yang parkir di selasar yang menghubungkan ruang redaksi dan bisnis. Kami mengobrol sambil menunggu hujan reda.

Tanpa kami ketahui Pak Jakob berjalan dari gedung sebelah mau ke redaksi. Ketika melewati kami, beliau mengguman cukup keras, “Memang enak jadi wartawan Kompas, kalau hujan nggak cari berita.” Kami pun berpandangan dan tanpa aba-aba ketiga sepeda motor distater bersamaan, melaju kencang menerjang lebatnya hujan.

Jas hujan dikasih, sepeda motor dikasih, bensin gratis, apalagi?

Ada sebuah cerita tertinggal tentang bagaimana almarhum Rustam Affandi ketika pertama kali mendapatkan jatah mobil pada tahun 1974. Ia menuliskan ceritanya begini:

Suatu sore saya naik Vespa ke kantor. Di tengah jalan turun hujan deras sekali. Percuma saja saya gunakan jas hujan karena air seperti dicurahkan dari langit sehingga menembus mantel dan membasahi seluruh pakaian. Percuma saja berteduh, pakaian toh sudah basah kuyup jadi saya terus meluncur dalam hujan deras. Ketika sampai di kantor, jam dinding menunjukkan angka enam, artinya saya tidak terlambat.

Di kantor sudah ada Mas Jakob. Ia berdiri di pintu dan ketika melihat saya masuk, ia tampak tertegun. Tanpa berbicara apa pun, ia hanya memandangi saya dan saya pun tanpa berkata masuk ruangan yang ternyata masih kosong. Pantas Mas Jakob nampak khawatir.

Saya segera masuk kamar gelap, tempat mencuci cetak film dan tanpa khawatir sedikit pun segera melepas seluruh pakaian yang melekat di badan. Saya peras semua pakaian itu, kemudian saya pakai lagi, baru kemudian masuk ruang kerja. Mas Jakob hanya melihat saja saya kedinginan. Kemudian saya lihat ia menelepon lalu mendekati meja kerja saya, “Sebentar lagi Swantoro datang,” katanya. Sementara itu di luar masih hujan deras.

Benar saja, Mas Swantoro datang, “Nih!” katanya sambil meletakkan kunci mobilnya di meja saya. Malam itu saya pulang mengendarai Fiat 1100 yang biasanya dipakai Mas Swan. Dan sejak itu saya tidak naik Vespa lagi, dan tentu saja hujan tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk mangkir atau terlambat datang.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [27] Perjalanan Menjadi Wartawan