Obrolan Damai: Andai PepNews Hadirkan Najwa Shihab

Jumat, 22 Februari 2019 | 20:21 WIB
7
557
Obrolan Damai: Andai PepNews Hadirkan Najwa Shihab
Suasana acara Deklarasi Damai, dengan pembicara Eli Salomo, Zulfikar Akbar, dan Pepih Nugraha sebagai penggagas acara - Gbr: Dok. PepNews

Jika media sosial hari ini adalah bagian suasana pemilu 2019 maka pemilu damai masih menjadi tugas sosial. Jadi tugas semua orang, supaya kalaupun Pemilu membuahkan hasil bagaimanapun, namun kedamaian tidak sampai hilang.

Sebagai perempuan, itu juga yang jadi kegelisahan tiap mengikuti perkembangan di media sosial, terutama yang berhubungan dengan Pilpres 2019. Masih banyak pengguna internet tidak ragu lagi saling hina, ancam atau menyebarkan berita yang belum diketahui kebenarannya.

Dapat dibilang, sangat minim sekali diskusi mengenai program, kinerja atau visi misi dari calon yang sebenarnya jauh lebih penting dari obrolan saling menjatuhkan.

"Memangnya salah kalo kita bantu aparat untuk wujudkan pemilu damai?", ujar Pepih Nugraha, pendiri PepNews pada Deklarasi Penulis Untuk Pemilu Damai 17 Februari lalu di hotel Santhika, Jakarta. Pada deklarasi tersebut, hadir juga sebagai pembicara Zulfikar Akbar dan Eli Salomoh.

Zulfikar Akbar adalah seorang penulis juga wartawan yang sempat tersandung kasus persekusi di internet atas kritik yang ia sampaikan kepada Ustad Abdul Somad pada akhir 2017 lalu. Ia membagikan materi tentang Freedom of Speech yang mengupas tentang batas-batas dari kebebasan menyatakan pendapat yang rasanya saat ini sudah terlalu banyak pengguna internet yang menabrak pembatas. Batas-batas tersebut diantaranya ujaran kebencian, ucapan cabul, ancaman, hasutan dan perkataan kasar. Tanggung jawab seorang warga negara dalam menyampaikan pendapat diatur dalam pasal 6 UU no. 9/1998.

Pembicara terakhir adalah Eli Salomo, seorang aktivis 98 yang memaparkan pandangannya tentang perjalanan bangsa Indonesia. Ia menyerukan bahwa pencapaian bangsa sejauh ini akan sia-sia jika terjadi perpecahan atau kekisruhan akibat tidak terciptanya pemilu damai.

Lebih kurang ada sekitar tiga jam pada hari itu, obrolan seputar fenomena politik, tren di tengah publik, sampai dengan bagaimana menciptakan damai dalam kondisi apa pun.

Kang Pepih banyak menyodorkan bagaimana melihat kekuatan penulis. Apa saja yang bisa dihasilkan penulis supaya persoalan kedamaian tidak sampai hilang walaupun suhu politik memang sudah membawa hawa panas ke mana-mana. Misalnya, bagaimana menyajikan sudut pandang-sudut pandang yang berbeda dari yang umum beredar di media sosial hingga kepenulisan.

"Saya menunggu teman-teman nantinya dapat menulis yang berbeda (dari umumnya orang yang selama ini menulis, di media sosial atau di mana saja)," salah satu pesan pendiri Kompasiana dan PepNews itu.

Memang, kalau menelaah lagi ke mana arah pesan Kang Pepih tersebut, kelihatannya lebih luas dari itu lagi. Namun memang ia mendorong keras, supaya penulis bisa menciptakan sesuatu yang tetap mengikuti apa yang sedang berkembang, namun cara menyajikannya mesti punya ciri tersendiri.

"Kami di media, saat saya di Kompas, persoalan apa yang ditulis dengan apa hubungan dengan sesuatu yang sedang jadi pembahasan publik menjadi satu keharusan," kata beliau, membagi cerita tentang pengalamannya di Harian Kompas. "Bahkan ada profesor yang opininya ditolak Kompas, karena isinya bagus, baru, menarik, tapi tidak punya korelasi atau 'cantolan peristiwa'."

Kang Pepih sempat bercerita, bahwa profesor tadi sempat protes keras, karena ia merasa sudah menulis dengan serius, ilmiah, dan baru, tapi kok bisa-bisa ditolak Kompas. "Tapi awak redaksi tegas-tegas saja bilang, tulisan Anda ini tidak ada cantolan peristiwa dengan apa yang sedang berkembang saat ini," katanya lagi.

Ada banyak sorotan menarik dari ketiga pembicara itu. Walaupun, saat mengobrol dengan suami, Zulfikar, yang kebetulan juga pembicara di sana, ia sempat berkali-kali bilang, seharusnya berbicara damai maka pembicaranya mesti ada dari wakil perempuan.

Sepulang dari acara itu, berkali-kali ia ngobrol, sorotannya hampir selalu tentang keseimbangan suara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, ketika berbicara damai sebaiknya tidak cuma menggali perspektif dari laki-laki, tetapi bagaimana juga bisa mengangkat sudut pandang dari perempuan. 

"Kamu juga seharusnya bisa berbicara banyak. Kalaupun bukan jadi pembicara di depan, tapi saat diskusi coba deh sampaikan apa yang menjadi harapan perempuan," katanya. Saya pikir-pikir, ada benarnya juga, sebaiknya perempuan memang bisa bicara dan bersuara lebih banyak, lebih-lebih soal damai.

Semoga saja nanti-nanti Kang Pepih yang empunya PepNews bisa bikin acara sejenis lagi, tentang kepenulisan, tentang dunia perempuan, tentang damai, tapi memunculkan pembicara dari kaum perempuan. Siapa tahu, Kang Pepih suatu hari nanti mau mengajak, misalnya nih, Najwa Shihab bicara di depan penulis perempuan. Terbayang, pasti wow banget rasanya.

Bukan semata-mata karena Najwa adalah orang terkenal, perempuan terkenal, tapi karena dia juga hari ini jadi bagian kebanggaan perempuan. Kelebihannya sebagai perempuan ada kemungkinan besar dapat ditularkan kepada lebih banyak perempuan. Semoga saja, ya.

***