“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
Saya beruntung bisa menyaksikan siaran langsung di KompasTV saat sis Grace Natalie berpidato menentang poligami. Jadi saya bisa melihat mimik, ekspresi saat dia bicara. Bukan cuma itu, saya juga bisa melihat seting ruang.
Grace berdiri di podium tengah. Kanan kirinya di atas dan bawah ada meja panjang dengan kursi tentu saja (mungkin) tempat para pengurus teras PSI duduk. Pemandangan yang tidak umum untuk pernyataan politik parpol dalam negeri. Kalau di luar negeri kayanya pernah lihat model kaya gini. Entahlah partai apa.
Awalnya saya menduga PSI hanya ingin merebut suara perempuan dengan “membeli” slot prime time di KompasTV. Tapi di ujung pidatonya, dengan semangat yang agak dipaksakan, Grace berteriak, "Jika kelak lolos di parlemen, langkah yang akan kami lakukan adalah memperjuangkan diberlakukannya larangan poligami bagi pejabat publik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta Aparatur Sipil Negara."
"Kami akan memperjuangkan revisi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang memperbolehkan poligami."
Grace niatnya sih mau membakar semangat kadernya untuk “memerangi” praktik poligami dengan gaya orator seperti Prabowo atau Seokarno. Tapi karena gayanya terbatas, teriakannya jadi malah mati gaya. Sambutan gemuruh tepuk tangan kadernya karena yang pidato ketua umum. Mau pakai gaya apa pun, tugas kader adalah memberi penghormatan dengan gemuruh tepuk tangan.
Dalam kesempatan itu, Grace memberi penghormatan kepada Gus Dur yang disebut sebagai tokoh monogami. Belum pernah saya mendengar ada yang memberi gelar Gus Dur seperti itu. Itu kan soal privat. Kalau merujuk tokoh monogami, Grace malah mempersempit tokoh panutan karismatik negeri ini. Misalnya, mana berani Grace mengagungkan Soekarno.
Tentu saja Grace juga tidak akan menjadikan Soeharto sebagai tokoh monogami. Padahal Soeharto bukan hanya dikenal sebagai monogami, dia juga berjasa membatasi praktik poligami melalui UU nomor 1 tahun 1974.
Walaupun dulu Soeharto sangat kuat ditambah Golkar plus PDI dan ABRI yang setuju pada UU itu menguasai mayoritas parlemen, PPP hanya menyisakan 94 dari 460 kursi, tapi protes umat Islam membuat rancangan UU itu molor. Padahal protes saat itu merupakan barang langka.
Melihat kondisi seperti itu, Buya Hamka mengeluarkan pernyataan, di antaranya mengatakan, “Inti Demokrasi yang memberi kesempatan luas bagi mayoritas, lalu si mayoritas memberikan peluang bagi minoritas, menjadi terbalik, si minoritas naik ke atas dan mayoritas dipersempit jalannya. Kalau mayoritas sadar akan haknya, lalu ia bersatu, maka diusahakanlah dengan berbagai jalan untuk memecahnya.”
“Dalam saat-saat golongan lain melihat kulit luar, kaum Muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, disaat itulah ditonjolkan orang suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, azas dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syariat agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali. “
Maka PPP terutama dimotori tokoh-tokoh NU, demi menolak RUU ini melakukan berbagai manuver-manuver yang berani di bawah kepemimpinan KH Bisri Syansuri saat itu. KH. Bisri Syansuri adalah besan dari KH Hasyim Asy’ari. Beliau mertua dari KH Wahid Hasyim.Ia dikenal sebagai ulama yang keras dalam hal fiqih.Ia adalah benteng fiqih Nadhlatul Ulama saat itu.
Beragam upaya dilakukan umat Islam untuk menyampaikan protes mereka, mulai dari menyurati pemerintah hingga aksi demonstrasi yang merebak hingga ke daerah.Protes mencapai puncaknya pada 27 September 1973, ketika Menteri Agama, Mukti Ali memberikan jawaban atas pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR atas RUU tersebut.
Ketika ia hampir selesai berpidato, Sekumpulan mahasiswa Muslim berteriak dan memegang spanduk-spanduk protes bertuliskan ‘RUU Perkawinan adalah konsep kafir’ serta ‘RUU Perkawinan adalah tidak bermoral.’Ada pula terdengar tangisan sambil berkata Allahu Akbar.
Menyadari situasi tak kondusif, Menteri Agama dan banyak anggota parlemen meninggalkan ruangan.Tak lama, sekitar 500 mahasiswa dan mahasiswi menduduki ruangan tersebut.
Singkat cerita, rezim Soeharto yang sangat kuat dipaksa berunding dengan para ulama melalui berbagai perundingan di luar gedung parlemen. Setelah dicapai kesepakatan, muncul masalah baru.
Mengetahui kompromi ini, pihak Kristen segera menyampaikan keberatannya.Tanggal 12 Desember 1973, Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) menyampaikan ‘Pokok-Pokok Pemikiran BPH DGI dan MAWI’. Melalui keberatan ini mereka menekankan, “…dalam pembahasan RUUP sekarang, kami khawatir adanya kecenderungan bahwa Negara tidak hanya menjamin kebebasan agama, tetapi juga menimbulkan kesan akan mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum agama, paling sedikit waktu perkawinan.” (Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan S Aritonang, Jakarta: BPK Gunung Mulia).
Terpaksa berunding lagi. Hingga akhirnya dicapai kesepakatan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 menjadi UU No. 1 tahun 1974
Dan sekarang ujug-ujug parpol yang belum tentu lolos ke parlemen, sok-sokan mau merevisi Undang- undang yang punya sejarah panjang itu. Kalau pun masuk parlemen, seberapa kekuatan mereka buat merevisi UU itu? Mustahil lah.
Sebenarnya ada 5 poin dari UU itu yang akan direvisi oleh parlemen yang sekarang, termasuk poin poligami telah masuk dalam prolegnas 2015-2019.
Tapi sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Apalagi sekarang sudah masuk tahun politik. Bisa jadi akan jadi pekerjaan awal parlemen priode berikutnya. Artinya, ada atau tidak ada PSI di parlemen, karena revisi UU itu sudah masuk prolegnas 2015-2019, ya tetap akan jadi prioritas pembahasan di parlemen. Tentu saja PSI sangat tahu soal itu.
Lalu kenapa dipidatokan seolah seperti pahlawan satu-satunya yang bisa merevisi UU itu? Mungkin karena negeri ini kekurangan pahlawan, dan memang sulit menjadi pahlawan, maka pahlawan jadi-jadian pun oke lah.
Untuk soal poligami, UU nomor I tahun 1974 adalah hasil kompromi jalan tengah. Membolehkan poligami dengan persyaratan yang ketat. Kalau sekarang ada yang mau kutak-katik lagi soal itu, sama dengan membuka kembali luka lama yang bisa jadi akan menjadi kotak Pandora, yang akan merembet kemana-mana.
Kalau ditanya kepada kaum perempuan muslimah, apakah mau dipoligami? Tentu saja tidak mau. Tapi kalau ditanya, apakah setuju kalau praktik poligami itu dihapuskan atau dilarang, atau lebih ekstrim dikutuk? Masih syukur kalau nggak kena tabok.
Poligami yang tertulis dalam Alqur’an surah Annisa ayat 3 bukan hanya diketahui oleh umat Islam, tapi umat lain juga tahu. Soal beda pendapat hukumnya, ada yang bilang sunah, ada yang bilang mubah, itu soal lain.
Belum ada yang berpendapat haram. Kita ambil yang berpendapat mubah atau boleh, salah satunya, Guntur Romli, caleg PSI. “Poligami itu tidak haram, tapi mubah (boleh) dengan syarat-syarat ketat, kalau syarat tak terpenuhi bisa dilarang,” kata GR.
Judul berita link di atas itu berbeda dengan maksud beritanya. Menolak dipoligami yang jadi argumen GR, berbeda dengan menolak praktik poligami.
Maka pertanyaan sederhananya, jika Tuhan membolehkan, kenapa manusia sebagai hamba Tuhan berani melarang? Apa bukan mengajari Tuhan namanya tuh?
16122018
Catatan:
Artikel ini juga menjawab tulisan Rikal Dikri di PepNews! yang ditayangkan sebelumnya.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews