Di Indonesia, tanaman ini cukup dikenal sebagai Eceng Gondok. Namun di negeri anak benua India, tanaman ini sekali dikenal dengan nama yang menakutkan, “Terror of Bengal”.
Mulanya penduduk lokal terkesima dengan keindahan bunganya yang bermekaran berwarna ungu dengan daun menyerupai lingkaran mengapung di atas permukaan air. Didatangkan dari Amazon Amerika, tanaman air ini dianggap menambah kecantikan alam dan kemudian dibiarkan tumbuh di perairan West Bengal.
Awal yang indah berakhir dengan bencana. Tanaman yang diberi nama Jal Kumbhi ini kemudian menjadi predator. Tumbuh dengan cepat, merambat memenuhi seluruh permukaan sungai dan danau. Habitat aslinya air tawar dan sulit tumbuh di perairan berkadar garam tinggi. Setiap hari, tanaman merambat ini tumbuh hingga 2-5 meter. Akibatnya ia menjadi gulma, tanaman perusak dan berkategori polutan.
Gulma air ini bisa menyebabkan air dana dan sungai mongering 8-kali lebih cepat dibanding kondisi biasa. Ia menyebabkan juga gangguan pada saluran irigasi, menurunkan daya bendungan, menghambat transportasi air dan paling teruk adalah membuat banyak ikan mati kehabisan napas. Selain itu, bangkai tanaman ini menyebabkan endapan yang cukup tinggi di dasar danau dan mempercepat pendangkalan.
Dengan aliran air yang terhambat oleh rimbunnya tanaman ini, ekosistem sekitar menjadi rusak. Lingkungan danau yang dipenuhi tanaman ini membuat Nyamuk dan hewan berbahaya lain hidup berkembang biak menyebarkan penyakit mematikan bagi manusia. Ia kemudian mendapat tambahan nama buruk lainnya “Blue Devil / Setan Biru” dan “Noxious Species / Mahluk Racun”.
Pernah pula suatu ketika pemerintah India mengerahkan 7000 serdadu militernya untuk “berperang” melawan Eceng Gondok di danau Ulsoor. Berhari-hari lamanya para serdadu itu membersihkan danau dan membebaskannya dari “jajahan” tumbuhan air ini. Tenaga, waktu dan biaya tak sedikit dihabiskan untuk “perang” melawan terror dari Bengal ini.
Dua tahun lalu, 2016 Uni Eropa mengeluarkan beleid untuk melarang perdagangan tumbuhan dalam bahasa Inggris sebagai “Water Hyacinth”. Di benua Afrika, tanaman ini konon sudah sangat mengganggu ekosistem sejak tahuh 1960an. Hampir semua danau dan sungai yang membelah benua Afrika disusupi teroris hijau ini.
Di Amerika Serikat, persoalan lingkungan yang dimunculkan oleh tanaman ini sudah jauh lebih dulu dikeluhkan masyarakat. Tahun 1910, pemerintah yang gusar dengan tanaman hama ini mengajukan rancangan konstitusi bernama American Hippo Bill.
Dalam rancangan ini, diusulkan untuk mengimpor Kuda Nil untuk memangsa tumbuhan air yang sudah mengganggu danau Louisiana dan Florida ini. Rancangan beleid ini sayangnya mentah karena selisih satu suara.
Lain di Bengal, lain pula Jakarta
Di bawah pemerintahan Anies Baswedan, Jakarta menitip harapan pada Eceng Gondok untuk membersihkan sungai yang kotor. Eceng Gondok yang sudah bertahun-tahun “diperangi” di seluruh benua, kini menjadi “sekutu” karib pemerintah Jakarta.
"Eceng gondok ini punya kemampuan menyerap polutan di air, polusi di air. Ini harus kita manfaatkan, tidak mesti untuk pembersih di sungai pakai zat kimia, bisa juga naturalisasi," ujar Wali Kota Jakarta Utara, Ali Maulana Hakim seperti dikutip pada website VIVA.coid, Jumat, 30 November 2018.
Padahal, di bulan November 2016 saat Ahok masih menjabat, sebanyak 90 meter kubik eceng gondok mesti dibersihkan dari Kali Mookevart Daan Mogot, Jakarta Barat. Puluhan petugas beserta satu unit eskavator spider dan 10 armada truk jenis tipar dikerahkan untuk pembersihan eceng gondok yang merusak ekosistem sungai ini.
Di tahun 2015, Ahok juga melakukan pembersihan waduk Pluit dari Eceng Gondok dan sampah lainnya. Beberapa saat sebelum turun, di 2017 Ahok juga pernah memerintahkan pembersihan Eceng Gondok dari TPU Kapuk Teko.
Kini, pemerintahan Anies Baswedan, yang nampaknya kewalahan dengan kotor dan bau busuk Kali Item, memikirkan Eceng Gondok sebagai solusi atas permasalahan itu. Seperti Walikota Jakarta Utara, ia dan aparatnya percaya bahwa tanaman hama ini bisa dimanfaatkan melawan kotor dan bau.
Jadi Eceng Gondok didatangkan Anies untuk mengatasi masalah. Apakah masalah kali yang hitam dan bau itu bisa teratasi tanpa masalah?
Sepertinya motto Pegadaian: Mengatasi Masalah tanpa Masalah itu tak bisa leluasa disematkan pula ke tanaman Eceng Gondok, yang juga dikenal sebagai “Terror of Bengal” ini.
Seperti dimuat oleh majalah Trubus, ahli Pengelolaan Sumberdaya Perairan dari IPB, Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc menyatakan bahwa Eceng Gondok diragukan bisa bertahan lama mengatasi kondisi air kali yang sudah terlalu berwarna hitam. Karenanya ia menyarankan untuk menambahkanb system aerasi yang cukup agar tanaman gulma ini bisa bertahan lama dan membantu perbaikan dekomposisi sungai.
Kalau habitatnya menjadi lebih leluasa, pertumbuhan pesat tanaman ini, bukan tidak mungkin malah akan menjadi terror baru untuk pemerintah Anies Baswedan di kemudian hari. Dan dengan itu masalah baru akan muncul seperti “perang” serdadu India melawan tanaman ini. Eceng Gondok ini lebih pantas disebut mengatasi masalah dengan masalah baru.
Lantas solusi lain apa yang ditawarkan? Kalau menjejak cara pikir Ahok menyelesaikan masalah waduk dan sungai di Jakarta, tak ada cara lain selain pengerukan dasar dan pesisir sungai agar bisa mengalir lancar jauh sampai ke muara Jakarta. Itu sudah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews