Orang Berduit Takut Covid, Orang Pas-pasan Takut Kelaparan

Anto dan orang-orang berduit memilih hidup dalam keisolasian sosial, karena takut terpapar Covid-19 yang bisa fatal akibatnya, mati.

Kamis, 22 Juli 2021 | 10:49 WIB
0
196
Orang Berduit Takut Covid, Orang Pas-pasan Takut Kelaparan
Rakyat kecil butuh bantuan selama pandemi (Foto: BBC.com)

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan kerusakan hebat di muka bumi ini. Mulai tatanan ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan, bahkan sampai psikologis manusia.

Pemerintah di berbagai negara membuat kebijakan yang mengarah kepada pengetatan interaksi. Mulai dari jarak fisik, jarak sosial, karantina, sampai isolasi yang terjangkit Covid-19.

Menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini, tidak semua orang memandang takut terhadap penyakit yang berbahaya ini. Ada yang takut bahkan sampai mengisolasi diri dari interaksi dengan manusia lain.

“Saya sekeluarga sudah lebih setahun ini memilih berdiam diri di rumah,” ujar Anto (57 tahun), salah seorang warga Jakarta Timur yang berstatus pensiunan BUMN dan punya rumah mentereng ini.

Dia mengaku bersama istri dan satu anaknya untuk tidak keluar rumah, sekalipun hanya belanja kebutuhan pokok ke toko sebelah. Dia memenuhi kebutuhan makan dan minumnya dibeli lewat online.

Bahkan begitu takutya terpapar virus, Anto juga memberhentikan perempuan pembantu rumah tangganya. Dia tidak mau berinteraksi dengan orang lain, selain keluarga intinya. Jadi urusan rumah dia tangani sendiri.

Dan, di Jakarta atau tempat lain banyak yang berlaku seperti Anto ini. Mereka memilih mengurung diri di rumah dan menjauh dari interaksi manusia.

Bagi orang-orang seperti ini, mengisolasi diri dari interaksi sosial bukan lah masalah, yang penting tidak terpapar, tetap sehat dan bisa bertahan hidup lebih lama.

Cara berlaku seperti Anto ini, kuncinya satu. Cadangan harta mereka sudah cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa bekerja keluar rumah atau berinteraksi sosial sekalipun.

Orang-orang berharta seperti ini wajar takut dengan pandemi Covid-19, apalagi sampai mati. Karena mereka punya kemampuan untuk bertahan menikmati hidup.

Bahkan untuk menyamankan hidup di rumahnya, aneka fasilitas hiburan seperti ruang karaoke, internet, sampai kolam renang segala tersedia.

Pendek kata, orang-orang seperti ini punya harta tak akan habis dimakan dalam jangka lama.

Berbeda halnya dengan prilaku sebagian anggota masyarakat yang tidak seberuntung Anto dalam menghadapi pandemi Covid-19 in. Mereka terkesan abai, karena masih juga berani berinteraksi ke sana-sini.

Mereka ke sana-sini bukan berarti abai, tapi mereka tidak punya pilihan baik dalam menghadapi wabah penyakit super menular ini.

Mereka maju kena mundur juga kena. Mereka memilih untuk keluar rumah dan berinteraksi secara sosial hanya untuk bertahan hidup meskipun berisiko terpapar penyakit.

Tetapi berdiam di rumah menghindari Covid-19 seperti Anto dan orang-orang berduit lainnya juga lebih buruk lagi. Mereka sekeluarga bisa mati kelaparan.

“Kalau saya kena Covid-19, karena harus mencari makan, saya ikhlas. Ini ikhtiar mempertahankan hidup juga,” kata Safii (41 tahun), yang sehari-hari berdagang sate keliling di Jakarta ini.

Bagi Safii, penyakit adalah cobaan yang mesti diobati. Jika diobati, dia akin akan sembuh.

“Seandainya gak sembuh dan meninggal, ya sudah ketentuan dari Allah mas,” katanya.

Safii dan banyak orang lainnya yang hidupnya pas-pasan dari hari ke hari, hidup di tengah pandemi Covid-19 adalah memilih yang buruk dari yang terburuk.

Jadi, kita juga tidak bisa menyalahkan manakala sebagian orang tak kuat bertahan hidup di rumah, karena mereka memang tidak punya cadangan hidup.

Dari cerita Anto dan Safii tadi, tentu seperti mewakili dua kelompok masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Anto dan orang-orang berduit memilih hidup dalam keisolasian sosial, karena takut terpapar Covid-19 yang bisa fatal akibatnya, mati.

Safii dan orang-orang yang hidupnya pas-pasan memilih tetap berinteraksi sosial dengan risiko terpapar Covid-19. Baginya,  mati kelaparan lebih menakutkan daripada mati karena ikhtiar. *

Krista Riyanto, Jurnalis dan Penulis

***