Hidup di tengah level tinggi, kini sebagian besar tak mampu memberikan sumbangsih memadai yang sesuai dengan kesempatan yang muncul dari lingkungannya dulu yang kondusif di Menteng.
Saya kebetulan dari kecil sampai awal SMA tinggal Jalan Cilosari, Cikini. Kawasan Cikini kendati berbeda kelurahan, tapi masih terbilang daerah Menteng juga. Jadi, kalau gak kenal dengan anak-anak Menteng, terutama daerah Cikini, pastilah tahu nama anak-anak lain di daerah itu. Apalagi jika orang tuanya pesohor, apakah pejabat, pengusaha atau profesional.
Dahulu daerah Menteng sebagian diberikan kepada para penjuang, para pejabat negara atau orang yang pernah berjasa kepada negara. Itulah sebabnya daerah Menteng dikenal sebagai daerah paling bergengsi dan prestisius bukan hanya di Jakarta, tapi juga di seantero Indonesia. Begitu kondangnya daerah Menteng, sampai-sampai banyak real estate menamakan bagian kawasan hunianya dengan kata “Menteng.”
Dari sanalah muncul sebutan “Anak Menteng” yang mengacu kepada kewibawaan daerah itu, baik dari sisi ekonomis, kekuasaan atau pengaruh. “Anak Menteng” pun dikenal sebagai anak yang bonafide, bergengsi. Sekolah di sekolah kelas wahid. Fasilitas pastilah lebih dari sekedar cukup. Jauh di atas rata-rata anak pada umumnya di Jakarta, apalagi dibandingkan dengan anak daerah.
Lingkungan “Anak Menteng” kalau gak intelektual, ya kalangan berkuasa dan atau beduit. Saya dapat menyebutkan satu persatu sebagian besar nama mereka.
Tapi setelah sekian puluh tahu kemudian, apa yang terjadi?
Jarang “Anak Menteng” yang bergelimpanhan fasilitas duku itu , kini mencapai sukses, diukur dari parameter sukses apapun: kekayaan, profil usaha, profesional, prestasi, olah rag dan atau kebudayaan dan sebagainya. Sebut saja parameter sukses apa sajalah boleh. Dihitung-hitung tak lebih dari sekitar 20 persen “Anak Menteng” yang sukses dengan parameter sukses apapun.
Pada masa Orde Baru memang ada lebih banyak rombongan “Anak Menteng” yang sukses. Hal ini terjadi lantaran tidak terkepas dari multiplaer efek dari kekuasaan Pak Harto waktu itu. Kala itu ada “Anak Menteng” yang pamor terangkat karena pengaruh “kewibawaan” dan “kekuasaan” Orde Baru, khususnya Pak Harto. Sesudah Pak Harto lengser keprabon, sebagaian “Anak Menteng” yang bersadar ke pengaruh Orde Baru pun surut pamornya. Hanya beberapa gelintir uang survive.
Kini sebagian “ Anak Menteng” itu sudah menjual rumah orang tuanya di Menteng dan terpinggirkan ke daerah-daerah menyangga ibukota, seperti Bekasi, Depok, Cibubur sampai ke Bogor. Jarang kita menemukan nama-nama mereka ada pusaran kekuasan pemerintahan, perbisnisan, atau prestasi lainnya. Kalau pun ada , cuma sebagai pengecualiaan yang masuk “kelompok 20 persen.” Selebihnya menjadi warga negara biasa yang tidak menonjol dan tidak berprestasi.
Apa artinya semua itu? Guyuran materi harta benda dan fasilitas serta kesempatan pendidikan yang luas, kurang memberikan makna, kalau tidak diiringi dengan pengajaran nilai-nilai kegigihan, kemandirian, visi-misi ke depan, kepedulian dan ketabahan. “Anak Menteng” bisa jadi contoh konkritnya.
Hidup di tengah level yang tinggi, kini sebagian besar tak mampu memberikan sumbangsih memadai yang sesuai dengan kesempatan yang muncul dari lingkungannya dulu yang kondusif di Menteng. Begitulah nasib “Menteng Kiwari”
Wina ARmada Sukardi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews