Perempuan Keren Menolak Berbagi Suami

Belakangan berkembang rumor maraknya pemimpin serta pengambil keputusan terhadap nasib perempuan terlibat praktik poligami.

Jumat, 23 Oktober 2020 | 07:39 WIB
0
587
Perempuan Keren Menolak Berbagi Suami
Ilustrasi poligami (Foto: modusaceh.com)

Perempuan pada umumnya menolak dipoligami, tak terkecuali perempuan muslim. Lantas mengapa sebagian kecil perempuan bersedia berbagi suami?

Alasan perempuan bersedia dipoligami tidak tunggal, sebagian kecil karena alasan keyakinan, atau poligami tidak dilarang dalam perspektif agama (islam) sebagaimana dilarangnya praktik poliandri.

Namun jika telisik, kesediaan perempuan berbagi suami umumnya karena keterpaksaan, pertimbangan kesulitan hidup atau ada juga karena berharap status sosial yang lebih baik.

Faktanya perempuan yang hidup mandiri serta berkecukupan umumnya menolak dipoligami. Sebaliknya umumnya mereka yang berstatus istri kedua atau istri siri bukan tipe perempuan relegius.

Beberapa riset serius menunjukkan rendahnya posisi tawar perempuan dari laki-laki secara ekonomi merupakan penyebab dominan alasan perempuan bersedia dimadu. Ada banyak kasus dimana perempuan rela dipoligami karena tidak punya pilihan secara ekonomi.

Bagaimana nasib anak-anak serta kehidupan pasca perceraian menjadi pertimbangan utama jika mereka dihadapkan pada pilihan bersedia dipoligami atau diceraikan. Tak jarang perempuan yang menolak dipoligami diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi dimana anak selalu jadi korban.

Jika dilacak, lagi-lagi praktik poligami ini berakar jauh dalam kultur patriarki. Pembagian kerja secara seksual yang menempatkan perempuan di sektor domestik, laki-laki di sektor publik terutama pekerjaan di luar rumah.

Dengan bekerja di sektor publik aksesibilitas laki-laki pada sektor ekonomi jauh lebih besar dibanding perempuan. Akibatnya penguasaan ekonomi termasuk pengalaman, skill serta pengembangan diri laki-laki jauh lebih baik dibanding perempuan.

Patriarki yang mengharuskan perempuan beraktivitas di sektor domestik termasuk mengontrol prilaku anak perempuan berimplikasi pada ketergantungan bahkan menjadi penyebab kekerasan perempuan di ranah domestik maupun publik.

Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dalam diskusi virtual bertajuk “Hak perempuan adalah Hak Konstitusional,” sepanjang 2016-2019 terdapat lebih dari 55 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang dilaporkan kepada pihak berwenang maupun ke Komnas perempuan.

Sementara menurut laporan TEMPO.CO, Komnas Perempuan mencatat terjadi kenaikan jumlah kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Sepanjang 2019, Komnas mencatat terjadi 2.341 kasus atau meningkat 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.

Menurut Mariana, kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang paling banyak terjadi adalah inses, yakni sebanyak 770. Menyusul kasus kekerasan seksual sebanyak 571 serta kekerasan fisik sebanyak 536 kasus. Dimana poligami berperan sebagai pemicu berbagai bentuk kekerasan perempuan dalam rumah tangga.

Selain kekerasan konvensional terhadap perempuan, Komnas Perempuan mencatat Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sepanjang tahun 2019. Rentannya perempuan terhadap kekerasan jenis ini mendorong Komnas Perempuan mengeluarkan rekomendasi untuk mencegah dan mengatasi lewat instrumen UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Belakangan berkembang rumor maraknya pemimpin serta pengambil keputusan terhadap nasib perempuan terlibat praktik poligami.

Menjelang Pilkada serentak 2020, penting bagi publik terutama perempuan memastikan calon pemimpin mereka terbebas dari praktik ini.

Sebab bagaimana mungkin berharap kebijakan yang berpihak pada perempuan lahir dari pemimpin dan pengambil keputusan yang berprilaku sebaliknya.

***