In Memoriam Rumah Proklamasi

Ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, ia dituduh terlibat. Hingga hubungannya dengan Soekarno memburuk. PSI dibubarkan tahun 1960, lalu dari tahun tahun 1962 Syahrir ditangkap.

Sabtu, 6 Juni 2020 | 19:06 WIB
0
376
In Memoriam Rumah Proklamasi

Kebanggaan saya terhadap Jakarta, salah satunya adalah saya pernah selama empat tahun tinggal di Asrama Pegangsaan Timur. Belakangan ketika sering melakukan riset sejarah tentang kota ini. Asrama legendaris ini, tak pernah punya nama yang jelas di masa lalu, bahkan dalam banyak tulisan kalah populer tinimbang asrama lain yang dianggap lebih bersejarah. Padahal asrama-asrama itu, sesungguh nyalah bukanlah asli asrama, hanya rumah biasa.

Atau seperti misal Asrama Menteng 31 yang dulunya adalah bekas Hotel Schompter. Asrama-asrama lainnya sengaja baru dibuat pemerintah pendudukan Jepang untuk "mengasuh" mahasiswa yang dididik untuk menjadi pendukungnya. Asrama PGT, anehnya tidak pernah dianggap penting sama sekali dalam proses memerdekakan Indonesia.

Padahal ia justru berada paling dekat (bahkan satu jalan) dengan tempat proklamasi dilakukan. Jika akhirnya asrama paling megah di Jakarta itu akhirnya lenyap (atau akhirnya dilenyapkan). Sangat terlambat saya sadar itu hanya mencontoh Rumah Proklamasi yang lebih lebih dulu dilakukan. Tak bersisa, sedikit pun...

Puluhan tahun saya, memendam pertanyaan kenapa bangunan paling bersejarah di negara ini. Akhirnya justru dirubuhkan justru oleh seorang yang disebut Bapak Proklamator itu sendiri. Hingga saya, menemukan salah satu tulisan pendek Peter Apollonius Rohi yang saya pikir cukup memberi penjelasan. Beliau adalah wartawan senior, yang di usia sepuhnya saat ini sedang menderita sakit tua dan terbaring di sebuah rumah sakit di Rangkasbitung. Segeralah pulih, Bapak Tua....

Di masa yang disebutnya Tavip (Tahun Vivere Pericoloso), tahun-tahun mencekam yang tak menentu. Tahun 1962, tiba-tiba Bung Karno mengajukan usulan untuk meruntuhkan Rumah Proklamasi. Semua orang mengajukan protes, tak kurang dari Henk Ngantung yang saat itu menjadi Walikota Jakarta (dulu Jakarta belumlah dianggap sebagai provinsi). Ketika menunjukkan keberatannya secara langsung, bukannya mereda BUng Karno balik marah dan menghardik. Konon begini ucapannya:

"Apakah kamu akan mempamerkan celana dalamku di situ?”

Ya, Rumah Proklamasi tiba-tiba jatuh harga secara privat di mata Putra Sang Fajar itu sebagai "celana dalam". Yang bisa ditafsirkan sebagai aib! Sesuatu yang disimpan, ditutup rapat sedemikian lama. Karena dianggap akan mempermalukannya di kelak kemudian hari. Saya menyimpulkan, ada tiga preseden buruk yang menderanya. Apa yang dianggapnya kemudian sebagai "kesalahan".

Pertama, asal-usul rumah tersebut. Ceritanya bermula, dari ketika Bung Karno baru pulang dari pembuangan di Bengkulu, Bung Karno bersama Bu Inggit dan para anak angkatnya, menetap sebentar di Palembang. Setelah dengan susah payah meninggalkan Palembang, sesampainya di Jakarta, ia bersama keluarga kecilnya ditempatkan di Hotel Des Indes. Adalah Achmad Soebardjo, yang mengusahakan rumah buat dirinya di Menteng.

Namun rupanya nyaris semua rumah yang dianggap "layak" telah ditempati pembesar Jepang. Sementara itu, Bung Karno juga mengajukan syarat yang tidak mudah, ia menginginkan rumah dengan halaman yang jembar yang bisa menampung para pendukungnya.

Lalu diketemukanlah sebuah rumah di Jl. Pegangsaan Timur milik orang keturunan Arab bernama Faradj bin Said Awad Martak.

Tokoh dibalik pemberian rumah itu adalah seorang Jepang bernama Hitoshi Shimizu, pegawai Sendenbu, divisi propaganda Jepang, Gunseikanbu yang saat itu menjadi penggerak Gerakan Tiga A. Ia meminta syarat agar Soekarno mau menjadi pemimpin PUTERA (Pusat TeTenaga Rakyat) dan ia menyetujuinya. Sebagai imbalan Jepang menyediakan sebuah rumah dan mobil untuk Bung Karno.

Permasalahannya tidak sesederhana itu, sebelum ditempati rumah tersebut telah di tinggali seorang perempuan Belanda, yang suaminya baru saja ditahan tentara Jepang. Mendengar permintaan Basri, sang nyonya rumah marah besar dan menolak untuk pindah, walau dijanjikan akan dipindahkan ke rumah yang lebih besar. Hitoshi jugalah yang kemudian melakukan upaya paksa memindahkannya.

Rumah ini simbol bahwa Soekarno adalah koloborator penjajah!

Kedua, tak lama setelah menempati rumah tersebut. Justru yang dilakukan adalah menceraikan Inggit Ganarsih. Perempuan yang selama ini mendampinginya dalam suka duka masa pembuangan baik di Ende maupun Bengkulu. Dariapadanya, ia "hanya" memperoleh dua anak angkat: Riwu Ga dan Kartika. Keduanya diminta untuk memilih untuk ikut "Bapak" atau "Ibu". Itu pun dengan meminta jasa mulut Bung Hatta, Kiyai Mas Mansyur, dan Ki Hadjar Dewantara.

Belakangan semua publik tahu alasan percearian keduanya, karena Soekarno sudah ngebet menikahi Fatmawati yang dikenalnya selama dI Bengkulu. Kelak di rumah ini pula Fatmawati, yang kemudian ditetapkan jadi pahlawan nasional karena ialah yang menjahit bendera pusaka. Walau kemudian juga terkena "karma" karena tidak hanya sekali ia dimadu oleh Soekarno, tapi nyaris enam kali.

Walau karena kesetiaannya, Inggit kemudian lebih dikenang sebagai istri teladan yang dikenang sepanjang zaman.

Ketiga, setelah Soekarno dan Hatta hijrah ke Yogyakarta, awal Januari 1946, “Rumah Proklamasi” dijadikan kantor Perdana Menteri Soetan Sjahrir. Disinilah, Sjahrir kerap memimpin rapat kabinetnya, serta menerima tamu. Ketiganya sempat disebut sebagai Tritunggal, dengan foto legendaris duduk di satu kursi rotan yang sama. Namun bahkan sebelum dwi tunggal itu berantakan, tri tunggal lebih dulu. Nasib Hatta yang juga banyak menentang kebijakan Soekarno, tidaklah seburuk Soetan Sjahrir. Sebagai orang kiri, yang kemudian mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang walaupun juga mendasarkan pada ajaran Marx-Engels. Namun sangat anti pada gaya Leninisme-Stalinisme. Ia sangat anti- kekerasan dan anti-Soviet.

Karena itulah ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, ia dituduh terlibat. Hingga hubungannya dengan Soekarno memburuk. PSI dibubarkan tahun 1960, lalu dari tahun tahun 1962 Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Sjahrir adalah cerita tragis perseteruan politik yang paling mengharukan sepanjang Indonesia masih ada.

Jas merah? Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Pret...

Lah yang mengajarkan itu, bahkan melakukannya! Apa pun pertimbangannya, itulah salah satu luka sejarah yang tak tersembuhkan. Boleh lah ia kemudian membangunkan monumen dan bangunan penting yang baru! Tapi kenyataan membuktikan ia jugalah yang melenyapkan "bangunan paling bersejarah" bagi bangsa ini. Pantas bahwa sepanjang masa sesudahnya bangsa ini selalu linglung dan canggung.

Lalu orang seperti biasa akan berujar pada perihal: Tidak ada manusia yang sempurna. Orang boleh salah asal tidak bohong. Timbanglah jumlah kebaikannya dibanding keburukannya.

Lalu semua jatuh lemah, serba salah, ngaku kalah....

NB: saya hanya percaya pada pamali abadi yang berkata "kuantar kau ke pintu gerbang, tapi kau tak kuajak masuk". Jangan suka kalau digoda dengan apapun yang namanya pintu gerbang, pilihlah yang tanpa pintu saja..

***