Sejarah yang Hilang; Warisan Ilmuwan, Pemikir dan Artis Muslim

Hari-hari saya selanjutnya ketika berhaji saya isi dengan membaca buku tersebut. Bahkan setibanya di Tanah Air saya masih melanjutkan membaca buku itu.

Jumat, 28 Februari 2020 | 21:12 WIB
0
292
Sejarah yang Hilang; Warisan Ilmuwan, Pemikir dan Artis Muslim
Al-Khwarizmi (Foto: Tirto.id)

Tahukah kita bahwa penemu algoritma ialah Mohamed al-Khwarizmi melalui karyanya "The Elements of the Algorithm"? Al-Khwarizmi hidup semasa khalifah al-Mamun di Bagdad, Irak, sekitar 832 M.

Tahukah kita bahwa peletak dasar-dasar teori optik ialah Ibnu al-Haytham yang berasal dari Irak utara yang hidup di akhir 900an M? Teori matematika dan teori optiknya kelak memungkinkan Galileo dan Copernicus memahami hubungan bumi dan benda planet lainnya. Galileo dan Copernicus kita kenal dengan teori heliosentris, bahwa matahari pusat alam semesta, untuk membantah teori geosentris, bahwa bumi pusat alam semesta.

Tahukah kita bahwa orang pertama yang melakukan percobaan terbang serupa burung ialah lelaki berusia 70 tahun bernama ibnu Firnas di Cordoba, Spanyol, pada 875 M? Ia berhasil terbang serupa burung dengan peralatan yang dibuatnya dalam satu percobaan tetapi tidak mulus dalam pendaratan sehingga terluka parah. Kelak percobaan nekat Firmas ditiru penemu lain di Barat hingga menjadi pesawat terbang kini.

Fakta-fakta sejarah itu saya baca di buku "Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientist, Thinkers and Artists" karangan Michael Hamilton Morgan. Dari judulnya buku ini membahas masa keemasan Islam yang terlupakan, ketika para ilmuwan, pemikir, dan seniman muslim menghasilkan berbagai karya yang menjadi dasar ilmu pengetahuan mutakhir dan seni kontemporer.

Morgan menulis buku ini dengan gaya bertutur. Dia mengawali setiap penemuan di masa keemasan Islam dengan menuturkan kondisi penemuan tersebut dewasa ini. Dia, misalnya, menceritakan seorang ahli IT asal India yang pernah bekerja di Amerika untuk mengawali pembahasan tentang al-Khwarizmi yang menemukan algoritma.

Saya mendapatkan buku tersebut ketika berhaji bersama istri dan ibu pada 2018. Mendapatkan buku tersebut penuh perjuangan. Saya membawa beberapa buku dan soft copy sejumlah artikel dari jurnal internasional untuk keperluan disertasi saya. Saya membaca buku dan jurnal tersebut serta menulis disertasi di sela-sela beribadah haji.

Saya juga membawa majalah the Economist dan Time, Tempo, Gatra, dan National Geographic yang saya beli di Bandara Soekarno-Hatta. Tapi baru 10 hari dari hampir sebulan masa berhaji, saya sudah kehabisan bacaan. Saya harus mencari bahan bacaan baru, pikir saya.

Ketika sarapan di hotel tempat saya menginap di Makkah, saya bertanya kepada staf hotel, apakah ada toko buku di Makkah yang menjual buku berbahasa Inggris. Ada, katanya. Saya memintanya menuliskan nama toko buku itu. Jarir Bookstore, tulisnya. Katanya, kalau mau ke sana naik saja taksi, semua sopir taksi tahu.

Seusai makan siang sehabis salat Jumat, saya bersama istri menumpang taksi menuju toko buku itu. Sekitar setengah jam kemudian kami sampai di sana. Tetapi, toko buku tutup. Saya lupa kalau itu hari Jumat, hari libur bagi Saudi Arabia. Kami ke Starbuck yang ada di sebelahnya dan mendapat informasi bahwa toko buka sehabis Asar.

Saya mencoba menunggu di Starbuck tetapi kata penjaganya toko akan tutup karena salat Asar dan buka kembali setekah Asar. Akhirnya kami menunggu di emperan toko di bawah suhu lebih dari 40 derajat Celsius dengan berbekal air mineral yang tersisa kurang dari setengah botol.

Azan Asar berkumandang. Banyak warga yang menuju masjid dekat situ untuk salat asar. Kami merasa beberapa di antaranya melihat kami, mungkin sambil bertanya dalam hati, kok kami nggak salat dan berkeliaran di tempat umum. Kami bahkan sempat khawatir jangan-jangan ada patroli mencari orang berkeliaran saat waktu salat. Kami sudah salat jumat/zuhur dan menjama' dan mangqasar dengan Asar. Bukankah kami musafir?

Sekitar pukul 16.00, toko buka. Kami orang pertama yang masuk ke toko yang mirip Gramedia di Indonesia. Koleksi buku berbahasa Inggris tidak sebanyak koleksi buku berbahasa Arab. Di situlah saya menemukan buku tersebut.

Saya juga membeli buku psikologi berbahasa Inggris pesanan anak saya yang kuliah mengambil jurusan psikologi. Hari-hari saya selanjutnya ketika berhaji saya isi dengan membaca buku tersebut. Bahkan setibanya di Tanah Air saya masih melanjutkan membaca buku itu.

Mendapatkan buku berbahasa Inggris di negara-negara bukan berbahasa Inggris memang tidak mudah. Ketika berkunjung ke Austria pada pertengahan 2019, saya tidak menemukan buku menarik yang berbahasa Inggris yang bisa saya beli di dua toko buku di Wina, ibu.kota negara berbahasa Jerman itu.

Di Jepang, negara yang termasuk paling sering saya kunjungi, saya tidak pernah membeli buku di sana karena saya tidak pernah menemukan toko buku yang menjual buku berbahasa Inggris. Bahkan di bandara-bandara di Jepang bisa dikatakan hampir tidak ada toko buku yang menjual buku berbahasa Inggris.

***