Adanya tindakan tegas atau represif berupa sanksi sangat diperlukan bagi masyarakat yang masih terus melanggar peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lantaran PSBB sendiri ditetapkan untuk mempersempit penyebaran pandemi Covid-19.
Usulan terkait tindakan tegas ini dilontarkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Munardo supaya PSBB yang diberlakukan dibeberapa daerah dapat berjalan secara efektif.
Burhanuddin memberi masukan supaya dilakukan tiga hari sosialisasi PSBB, tiga hari berikutnya preventif, dan tiga hari selanjutnya tepat dihari ketujuh represif.
Kebijakan tersebut memang patut diberlakukan dengan disiplin, lantaran masyarakat terus saja tidak mau tau dan masih berkeliaran di luar rumah. Bukankah dengan mempersempit penyebaran Covid-19 maka kasus baru akan segera menurun dan pandemi akan segera berlalu? Itulah skenario yang masih terus dilakukan dengan harapan wabah akan berakhir. Tidak ada jalan lain, kecuali terus berusaha sebaik mungkin untuk memerangi virus corona.
Selain itu, tindakan tegas juga perlu dilakukan mengingat masih banyaknya masyarakat yang bersikap abai dan tidak patuh. Bahkan, disebuah daerah masyarakatnya jauh lebih galak daripada petugas yang menertibkan untuk melakukan pembatasan. Tindakan tersebut seolah tidak menghormati aparat. Bukan apa-apa, tetapi PSBB sendiri adalah untuk kebaikan masyarakat.
Oleh karena itu, hal ini perlu ditindak tegas. Aparat kepolisian seharusnya setelah melakukan sosialiasi dan preventif juga melakukan tidak lanjut seperti pemberian sanksi jika masih saja tidak ada perubahan pada laku masyarakat.
Sejauh ini berdasarkan hasil rapat yang digelar oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) bahwa upaya yang dilakukan dalam menjalankan PSBB secara optimal adalah dengan tindakan persuasif dan edukasi terhadap masyarakat. Namun, upaya tersebut hanya menggerakkan sebagian masyarakat saja dan masih banyak yang melanggar dan abai.
Untuk itulah gerakan persuasif saja tidak cukup ampuh untuk menertibkan masyarakat dalam menjalankan PSBB.
Perlu adanya tindakan tegas atau sanksi agar kebijakan ini dapat benar-benar optimal. Karena apabila hanya imbauan, maka kedisiplinan masyarakat tidak akan ada peningkatan bahkan masyarakat yang awalnya disiplin kemungkinan bisa mengendur melihat tidak ada ketegasan.
Anggota DPR RI Komisi II Fraksi PDI Perjuangan Hugua juga menilai bahwa memang harus ada tindak tegas bagi pelanggar PSBB.
Hugua mengatakan berdasarkan pendapat para ilmuan Imperial College Covid-19 Response Team, diperlukan sekitar 18 bulan atau lebih untuk menemukan vaksin corona. Oleh sebab itu, perlu adanya program sistematis dan pendanaan yang cukup untuk mencegah wabah ini meluas sebelum vaksinnya berhasil ditemukan.
Program-program itu diantaranya mitigasi bencana yang dititik beratkan pada pelambatan penyebaran pandemi Covid-19 ini dengan mengurangi aktifitas petugas seperti adanya sosial distancing, di rumah saja, menjaga kebersihan dan memakai masker serta hal lain yang dilakukan selama tiga bulan penuh.
Selanjutnya adalah dengan suspensi bencana di mana ketika jumlah yang terinfeksi mulai mengalami penurunan, maka kegiatan difokuskan pada upaya-upaya untuk mengubah arah langkah wabah antara lain dengan memasifkan rapid test, mengefektifkan lockdown pada kawasan yang terinfeksi dan kegiatan lain yang diperlukan.
Hugua meminta kepada pada ahli hukum dan para elite politik supaya mengurangi silang pendapat publik. Tak terkecuali para pengkritik, supaya ditahan dulu sikapnya sehingga masa darurat pandemi ini berlalu.
Dalam mengoptimalkan segala kebijakan yang diberlakukan, kita perlu satu komando. Bersama-sama saling gotong royong dan bertindak serentak demi keselamatan bangsa Indonesia tercinta.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews