Bangsa yang Menikmati Ketertindasan

Orang berlomba untuk bekerja di perusahaan atau pemerintah asing. Mereka merasa nikmat hidup dan bekerja dengan gaji besar, walaupun mengorbankan kepentingan bangsa mereka sendiri.

Senin, 20 April 2020 | 06:50 WIB
0
313
Bangsa yang Menikmati Ketertindasan
Ilustrasi (Foto: okezone.com)

Bangsa  Indonesia telah merdeka selama 74 tahun. Dengan umur yang bisa dibilang tak lagi muda ini, kita perlu berhenti sejenak untuk melihat apa yang telah kita capai hingga saat ini.

Secara umum, bangsa kita memiliki beberapa tujuan dasar yang hendak dicapai, salah satunya adalah mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kecerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah pernyataan visi dan misi secara umum. Namun, jika dilihat lebih dalam, terutama sejarah bangsa Indonesia di awal kemerdekaan, visi dan misi luhur itu bukanlah kebenaran yang sesungguhnya.

Keberadaan bangsa Indonesia, secara faktual, memang sudah sejak awal bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, tetapi untuk mengabdi pada kepentingan bangsa-bangsa lainnya. Kepentingan inilah yang dulu diingatkan oleh  Bung Karno sebagai kepentingan neo-kolonialisme, yakni penjajahan dengan jenis baru.

Di dalam model penjajahan ini, sebuah bangsa memang diberikan kemerdekaan, namun secara faktual tetap hidup di dalam penjajahan. Ia ”dibiarkan merdeka” persis untuk diperas demi kepentingan bangsa-bangsa lainnya yang hidup dengan paradigma neokolonial semacam itu.

Para penguasa sering kali dijadikan sebagai kaki tangan negara-negara asing. Siapapun yang ingin menentang kepentingan asing itu, akan dilibas dengan garang. Aktivis-aktivis yang berjuang untuk kepentingan rakyat sering kali dikriminalisasi dengan paksa. Sedangkan politisi-politisi yang siap tunduk dan menjilat para penguasa asing justru dijadikan penguasa politik. Inilah kiranya yang sedang terjadi di Indonesia.

Bangsa yang tersesat

Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang tersesat, jika dibandingkan dengan visi dan misi yang sebenarnya, dan bukan apa yang dengan berbusa-busa dilontarkan pada pejabat politik kita.

Dalam  UU No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional,  arti dari pendidikan, adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keperluan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Hal itu sejalan dengan apa yang terkandum  dalam pembukaan UUD 1945,  bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa"  yang harapannya dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, maju, dan mandiri.

Tujuan pendidikan yang luhur, kini seakan berubah secara drastis. Pendidikan kita kini seakan  disempitkan dengan menciptakan tenaga kerja patuh yang siap dipakai untuk bekerja sebagai pegawai rendahan di berbagai institusi yang mengabdi pada perusahaan asing.

Hal itu seakan sesuai dengan kurikulum pendidikan yang selama ini menekankan penghafalan dari pada kreativitas, dan kepatuhan dari pada keberanian untuk mencari alternatif. Menteri pendidikan kita yang baru tampaknya pendukung besar visi dan misi pendidikan Indonesia yang sebenarnya ini.

Di bidang politik dan ekonomi, kita juga mengalami hal yang sama. Berbagai kebijakan politik dan ekonomi lebih menekankan pada pentingnya investasi modal asing.

Akibatnya, semua sumber daya, baik alam maupun sosial, dikelola oleh perusahaan asing. Perusahaan lokal dan rakyat pada umumnya hanya mendapat serpihan kecil keuntungan dari apa yang seharusnya mereka dapatkan.

Konsep budaya Indonesia pun disempitkan menjadi semata tarian, makanan ataupun pakaian daerah. Semua ini lalu dijual untuk kepentingan pariwisata, terutama pariwisata mancanegara yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis.

Jika dilihat sesuai dengan visi dan misi sebenarnya, maka pengembangan budaya Indonesia adalah sebuah upaya yang justru tak berbudaya. Apa yang bisa menjadi bahan jualan tetap berjalan, sementara budaya-budaya luhur, dalam bentuk nilai-nilai kehidupan yang mendalam, pelan-pelan tergerus dari generasi ke generasi.

Bangsa yang toleran pada kemunafikan

Kesan merdeka dan berdaulat tetap dipertahankan oleh pemerintah dan para politisi kita. Lagu Indonesia Raya masih kita nyanyikan dengan bangga. Slogan pancasila dan NKRI harga mati pun masih kita dengungkan. Sayangnya, semua itu adalah topeng yang menutupi hal sederhana, bahwa kita belum sepenuhnya merdeka.

Kita masih dijajah oleh berbagai kepentingan asing. Semua data dan statistik politik, ekonomi dan pendidikan menunjukkan hal tersebut. Kedaulatan adalah kata-kata kosong. Dalam arti ini, kita adalah bangsa yang belum merdeka sepenuhnya. Sebab kita belum bisa mewujudkan visi dan misi sebenarnya dari keberadaan bangsa Indonesia di dunia.

Noam Chomsky, seorang pemikir asal Amerika Serikat pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul How The World Works. Ia mendapatkan berbagai info yang bisa dipercaya, bahwa Asia Tenggara, terutama Indonesia, memang dirancang sebagai negara pengguna barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Sambil dilihat sebagai konsumen murni, Indonesia juga diperas kekayaan alam dan budayanya demi kepentingan negara-negara tersebut.

Proses penjajahan ini berlangsung lama dan halus, yakni melalui mekanisme hegemoni dan propaganda. Propaganda adalah penyebaran informasi salah yang diulang terus menerus, demi kepentingan segelitir kelompok tertentu, dan akhirnya dipercaya sebagai kebenaran oleh mayoritas orang yang tidak berpikir kritis.

Salah satu buah dari propaganda adalah hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, tetapi tidak dilihat sebagai penindasan, melainkan justru sebagai sesuatu yang normal, dan bahkan diinginkan.

Persis inilah yang kiranya terjadi di Indonesia dalam kaitan dengan penjajahan pihak-pihak asing. Orang berlomba untuk bekerja di perusahaan atau pemerintah asing. Mereka merasa nikmat hidup dan bekerja dengan gaji besar, walaupun mengorbankan kepentingan bangsa mereka sendiri.

Mereka ini adalah hasil dari sistem pendidikan, politik dan ekonomi Indonesia yang tersesat, yakni sistem-sistem yang merancang manusia-manusia untuk patuh dan bodoh, supaya mudah ditipu dan ditindas demi kepentingan asing. Karena begitu berhasil, orang-orang Indonesia justru menemukan kenikmatan di dalam penindasan yang mereka alami.

***