Kultum Tarawih [24] Tujuan Diutusnya Rasulullah

Dengan menunjukkan perilaku yang baik sebagai ittiba pada Rasulullah, maka pesan agama Islam akan menjadi rahmatan lil alamin akan tersampaikan dengan baik kepada seluruh alam.

Kamis, 21 Mei 2020 | 15:03 WIB
0
264
Kultum Tarawih [24] Tujuan Diutusnya Rasulullah
Ilustrasi rasul (Foto: islami.co)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita bisa sampai pada malam dua puluh empat. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Meneladani Rasulullah adalah hal yang harus kita lakukan. Ittiba pada Kanjeng Nabi, karena beliau adalah uswatun hasanah, sebaik-baik panutan. Namun, bagaimana caranya?

Meneladani/ittiba pada Gusti Kanjeng Rasul sering disalahartikan hanya dalam penampilan fisik. Kebanyakan dari kita menganggap berdandan dengan pakaian Arab seperti jubah dan surban itu sebagai bentuk ittiba. Seringkali kita merasa sudah cukup ittiba kita kepada Kanjeng Nabi dengan berpenampilan seperti beliau. 

Padahal jika ittiba adalah penampilan, maka Abu Jahal dan Abu Lahab juga mengenakan jubah dan surban. Sebab kedua jenis pakaian itu adalah pakaian yang menjadi budaya lokal di sana. Seandainya Rasulullah diturunkan di Jawa, mungkin beliau mengenakan blangkon, kain lurik, batik, atau bahkan beskap. Rasulullah mengenakan pakaian demikian karena beliau adalah orang Arab, dan dakwah beliau harus pertama-tama diterima oleh orang Arab dulu.

Ini mengapa Wali Sanga kemudian mengadakan tradisi mendoakan orang meninggal pada 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya, yang sebelumnya adalah tradisi lokal. Mereka berpenampilan dengan pakaian lokal Jawa, menggubah dakwah menggunakan wayang, dan menciptakan syair-syair dakwah dalam bahasa Jawa. Ini semata-mata agar pesan universal Islam tersampaikan.  

Sebenarnya ada yang lebih penting dari ittiba Rasulullah, yaitu pada meneladani perilaku beliau. Perilaku beliau-lah yang menjadi pembeda antara beliau dan orang-orang lain yang berpenampilan sama dengan beliau. Perilaku beliau adalah sebaik-baik contoh, uswatun hasanah.

Selain untuk menjadi rahmatan lil alamin, yang tertulis dalam Alquran, ada hadist yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak. Jelas sekali bahwa ber-ittiba pada Rasul itu yang paling penting adalah pada perilaku, pada akhlak beliau. Bukan sekadar penampilan.

Pernah dengar bagaimana beliau memaafkan penduduk Thaif yang sudah melempari batu saat beliau berdakwah? Pernah dengar bagaimana beliau dilempari kotoran unta oleh Abu Jahal, namun ketika Abu Jahal sakit beliau tetap menjenguk? Pernah dengar bagaimana beliau mempersaudarakan orang Mekah dan Madinah? Tentu masih ada banyak sekali riwayat-riwayat perilaku beliau yang baik. Meneladani kebaikan tersebut adalah bentuk ittiba pada Rasulullah.

Dengan menunjukkan perilaku yang baik sebagai ittiba pada Rasulullah, maka pesan agama Islam akan menjadi rahmatan lil alamin akan tersampaikan dengan baik kepada seluruh alam. Ini 'ultimate goal' diutusnya Rasulullah, yang harus kita capai dengan mencintai budaya lokal, dan ber-ittiba pada perilaku Rasulullah.

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***