Di dalam keheningan, ide berkembang. Kebijaksanaan dan welas asih bertumbuh. Tak ada buku yang perlu dibaca, dan tak ada sekolah yang harus ditempuh. Inilah kebijaksanaan alami .
Jika kamu mencintai aku, jangan ciptakan “aku”. Begitulah kata Ajahn Amaro, seorang Bikkhu Buddhis, ketika diminta berbicara soal cinta. Saya langsung menampilkan kutipan itu di beberapa media sosial pribadi. Beberapa teman langsung bertanya, apa artinya? Saya tergelitik untuk memberikan jawaban.
Ini adalah soal cinta. Tema abadi dalam hidup manusia yang menjadi inspirasi untuk sejuta lagu, film, buku maupun puisi. Siapa yang tak suka, ketika cinta datang berkunjung? Hati berbunga, dan hari terasa seperti bernyanyi, tanpa ujung.
Namun, tak jarang cinta berujung pada duka. Hati yang bernyanyi patah disiksa rasa kecewa. Beberapa melanjutkan hidup dalam nestapa. Tak sedikit pula yang putus harapan, dan memilih kematian sebagai teman.
Mekanisme Jatuh Cinta
Mengapa ini terjadi? Ini terjadi, karena ketika jatuh cinta, kita jatuh cinta pada sebuah gambaran. Kita jatuh cinta pada konsep tentang orang lain. Kita menciptakan “dia” di dalam kepala kita. Padahal, “ia” yang nyata pasti berbeda dengan “ia” yang kita bayangkan.
Kita jatuh cinta pada seorang “pribadi”. “Pribadi” adalah kumpulan cerita. Ia bukanlah kenyataan. Pribadi adalah ciptaan kita yang sedang melihat dan memikirkannya.
“Pribadi” adalah ilusi. “Dia” juga adalah ilusi. Ketika kita jatuh cinta pada pribadinya, maka kita jatuh cinta pada isi kepala kita sendiri. Tak heran, kita terjerumus dalam derita dan nestapa.
Realita
Segala hal berubah. Tidak ada yang tetap. Orang yang kita kenal dan sayangi pun juga berubah. Sifat dan bentuk fisik mereka pun terus berubah, seperti sungai yang tak berhenti mengalir.
Karena segalanya berubah, maka tak ada inti yang bisa dipahami. Tak ada inti yang bisa digenggam dengan erat. Tidak ada ciri pribadi yang bisa dibaca. Tidak ada sifat ataupun karakter yang tak berubah.
Karena segalanya berubah, dan tak ada inti, maka tak ada yang pasti. Upaya untuk memperoleh kepastian akan berakhir dengan kekerasan. Inilah penyakit para radikalis agama, maupun radikalis ideologi (Marxisme, Liberalisme, Fasisme dan sebagainya). Upaya untuk memastikan dan mengontrol kehidupan akan berakhir dengan kekerasan dan penderitaan.
Lalu Bagaimana?
Maka, kita perlu melihat dan memahami kenyataan sebagaimana adanya. Kita perlu hidup dengan kehidupan, bukan dengan pikiran-pikiran kita semata. Pikiran dan emosi lalu digunakan seperlunya, tidak secara berlebihan. Inilah kebijaksanaan tertinggi yang bisa diraih manusia.
Ketika cinta tiba, jangan membuat cerita tentangnya. Jangan menebak karakter orang yang kita berikan cinta. Jangan membuat asumsi apapun. Jangan membuat “dia” di dalam kepalamu.
Maka, cinta pun akan tumbuh dengan alami. Tidak ada gangguan pikiran dan emosi yang tak berguna. Yang tercinta akan selalu dilihat di dalam kenyataan disini dan saat ini. Cinta semacam ini telah menyentuh keabadian.
Keheningan dan Kreativitas
Ketika kita berhenti membuat cerita tentang kehidupan, kita akan menemukan keheningan. Bahkan, ketika sekitar kita gaduh, batin kita tetap hening dan damai. Kiranya rumus yang sama bisa diucapkan. “Jika kamu ingin kehidupan yang bahagia, jangan membuat cerita apapun tentang kehidupan.”
Di dalam keheningan, ide berkembang. Kebijaksanaan dan welas asih bertumbuh. Tak ada buku yang perlu dibaca, dan tak ada sekolah yang harus ditempuh. Inilah kebijaksanaan alami yang sejalan dengan hukum-hukum alam (Dharma).
Kreativitas pun mengalir deras. Dorongan untuk mencipta tampil ke depan. Kepedulian pada kehidupan tumbuh dengan sendirinya. Kita lalu menjadi hidup sepenuhnya, dengan segala api dan damai yang ada di dalamnya.
Ajahn Amaro kiranya tepat. Saya sudah mencobanya. Ketika saya tak membuat cerita tentang apapun, segalanya menjadi jelas dan jernih dengan sendirinya. Tak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripadanya. Anda tertarik mencoba?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews